Kukira sudah empat tahun yang lalu lebih, tepatnya ketika aku pertama kali magang di media online di Jogja dan mendapat pelatihan di kantor pusatnya. Jangan membayangkan sebuah kantor sebesar gedung Tempo Media Grup di Palmerah, atau Kompas Gramedia, atau The Jakarta Post, atau setidaknya hampir seukuran itu. Tolong, jangan.
Kantor yang kuhuni selama sekitar satu minggu itu adalah sebuah rumah tua bercat merah muda yang hampir pudar. Itu adalah rumah seorang teman Direkturku yang tidak terpakai.
Rumah kecil yang kemudian difungsikan sebagai kantor itu hanya diisi oleh; ruang tamu sempit di mana seorang asisten perempuan duduk mengurus administrasi, ruang tamu yang kugunakan untuk tidur-tiduran dan ruang tengah yang difungsikan untuk aneka kegiatan harian.
Selain itu, dalam rumah itu juga terdapat satu ruang rapat yang aksesnya terbatas oleh Pimred dan Direktur, dan sebuah dapur yang kami gunakan sebagai laboratorium percobaan memasak.
Kamar mandi dan kamar-kamar kecil ada di belakang rumah tersebut. Belakangan kuketahui, hampir semua media online berkantor sederhana seperti itu. Jadi, jangan mengasihani kami.
Aku lupa bagaimana pastinya, tapi kukira itu berawal dari kebosananku menulis. Di ruang tengah multifungsi di mana kami lepas menyantap makan pagi yang kesiangan, aku melihat rak kecil bertumpuk buku di ujung ruangan.
Kebahagiaanku menamatkan satu buku membawaku pada pencarian buku lainnya. Sebagian koleksi buku di KoPi adalah milik pribadi dari penghuninya. Terbanyak kukira disumbang oleh Mz Ranang, ia adalah Pimred KoPi sekaligus penulis novel yang gemar menggoda perempuan.
Hidupnya barangkali diisi oleh petualangan-petualangan cinta dari satu patah hati ke patah hati yang lain, atau dari satu perempuan ke perempuan yang lain, atau entah dari mana, tapi yang jelas juga diisi oleh cerita-cerita menarik dalam novel.
Betul, ia pembaca yang kaffah.
Begitu menamatkan satu novel feminisme yang ditulis oleh Nawal El Saadawi, Mz Ranang tiba-tiba menghampiriku dengan menyodorkan dua buku. Satu adalah kumpulan cerita kompas dan satu lagi adalah novel terbaik karya John Steinbeck, setidaknya menurutku kala itu.
Laki-laki yang mengagumi Sartre sejak dalam tindakan itu mengantarku pada gerbang dunia sastra. Ia menceritakan sastrawan besar dunia sembari sesekali seperti menggoda. Dengan mengabaikan segala prasangka, aku tetap membawa buku itu untuk ditamatkan. Kubaca di sela istirahat selepas liputan.
Hampir saja aku berhasil membawa pulang novel itu andai aku punya lebih banyak waktu untuk berkemas. Tapi keretaku berangkat beberapa jam setelah kubeli tiketnya. Alhasil, aku melewatkan buku yang sudah kuincar itu.
Tapi rasa penasaran yang jauh membawaku menyelami Of Mice and Men, sampai akhirnya aku membelinya sendiri. Setelahnya kubawa buku itu kemana-mana seperti Al-kitab.
Anehnya, setiap orang yang tahu Steinbeck justru merekomendasikan novel lain, Dataran Tortilla. Mz Janoary, manusia pertama selain Mz Ranang yang kemudian menyebut Dataran Tortilla.
Meski tak terlalu bersemangat ketika membahas Steinbeck, dia bilang Dataran Tortilla adalah satu-satunya karya Steinbeck yang dia baca. Satu lagi, Mz Rizky, temanku lainnya berkata bahwa aku harus membaca Dataran Tortilla.
Jatuh cintaku pada Steinbeck setelah membaca Of Mice and Men dan Cannary Row membawaku berburu Dataran Tortilla, tapi sayang aku tak menemukannya di sela pencarianku di toko-toko buku.
Sampai di suatu siang di bulan Juli, ketika aku iseng melihat instastory milik teman-teman, tiba-tiba muncul buku lawas yang bertuliskan Tortilla Flat. Buku terbitan Penguin Book itu adalah cetakan pertama dari penerbit di tahun 1935. Bahkan di tahun tersebut, ayah dan ibuku belum lahir, apalagi aku.
Dengan segera, kupesan buku itu. Harta karun terbaik yang kudapatkan hanya dengan harga entah 40.000 entah 50.000 rupiah saja. “Kita lihat, sebaik apa buku ini?”
Tepat di tanggal 11 Juli aku menerima buku tua dengan sampul berwarna orange matang bergambar dua orang laki-laki, besar dan kecil, sedang berjalan menuju rumah (atau barangkali kandang).
Buku itu tampak begitu rapuh. Aku benar-benar harus berhati-hati saat memegangnya. Ini sungguhan. Berkat kecerobohanku, sampul depannya lepas satu minggu setelah buku itu kuterima.
Berkat kemampuan berbahasa inggris yang pas-pasan dan juga penelitian yang menyita hampir seluruh waktu hidupku, tsaah~, butuh waktu lama bagiku membaca buku itu.
Saban hari di halte sembari menunggu bus datang, atau saat sedang di atas bus, atau sesaat sebelum lampu kamar dimatikan Kakak, kubaca buku itu sambil tertawa, meringis, dan takjub.
Aku selalu dengan berat hati menutup buku dan meletakkan pembatas di tengah-tengah halaman ketika bus berhenti, atau ketika lampu kamar tiba-tiba mati. Kalian bisa bayangkan patah hati yang kurasakan setiap hari, tapi juga sekaligus membuatku semakin jatuh cinta, semakin penasaran. Lebih dalam.
Aku tak tahu bagaimana memulai menceritakan kekonyolan Dataran Tortilla. Novel itu sungguh-sungguh novel terbaik yang pernah kubaca, yang membuatku geleng-geleng sekaligus takjub. Jika ditanya soal apa novel itu? ia hanya kisah tentang sekumpulan gelandangan yang kemudian meninggali satu rumah warisan di kawasan bernama Dataran Tortilla.
Apa yang membuatnya luar biasa hebat sampai aku bersumpah dengan mengatakan ‘sungguh-sungguh’? Ini yang juga menjadi kelemahanku. Ya, aku sulit menceritakan kembali hingga orang mampu merasakan sensasi yang sama ketika aku membacanya. Sejujurnya, aku payah dalam menuliskan humor.
Syukurlah ada yang paham betapa bagusnya novel itu. Mz Rizky. Bapaknya Hayyin itu menjadi temanku ngobrol pertama kali perihal novel ini. Aku yakin, entah malam ini atau besok, dia akan menulis kisah tentang Dataran Tortilla juga wkwkwk
Dia pula yang mengirimiku sebuah situs blog yang memuat kisah para pengagum Dataran Tortilla —Anggurtorelliblogspot.com namanya.
Dan kami ingin membagi hal yang sama, serupa yang dilakukan penikmat-penikmat Dataran Tortilla sebelum kami di dalam blog tersebut.
Aku belajar untuk mengalirkan buku dari Mz Rizky. Tapi entah kenapa, aku tak ingin mengalirkan buku yang satu ini. Khusus yang satu ini. Aku diam-diam juga tidak ingin meminjamkannya, tapi jujur saja ini membingungkan.
Bagaimana aku akan meneruskan kekonyolan Steinbeck jika bahkan aku tak rela meminjamkannya? Tapi, barangkali semua cinta juga begitu, ingin memiliki tanpa mau membagi. Lantas bagaimana? Wkwkwk~
Kepada Zulva, teman SDku, aku pernah bercerita padanya mengenai Dataran Tortilla. Aku berjaga-jaga jika dia akan meminjam novel itu dengan mengatakan, “tapi aku tidak mau meminjamkan novel itu pada siapapun.” Temanku satu itu bahkan tak nampak tertarik dengan ceritaku.
Kemudian Ika, orang yang selalu percaya jika kubilang sebuah novel itu bagus. Ia juga dengan antusias segera berkata, “pinjaam.” Kepadanya juga aku berkata tak ingin meminjamkan yang satu itu. Barangkali aku akan berubah pikiran. Dia orang istiqomah dalam menamatkan buku. Tidak ada yang mubazir ketika meminjaminya buku. Selain membaca, dia perawat buku pinjaman yang baik.
Ada lagi Risal, temanku dalam komunitas yang sama. Ia mungkin tak tampak tertarik, tapi siapa bisa menduganya? Tiba-tiba dia beli buku itu sendiri. Percayalah, dia koleksi bukunya jauh lebih banyak dariku.
Lalu Okky, temanku yang rajin sekali membeli buku, sekaligus sumber buku. Kalian bisa meminjam bukunya tanpa mengembalikan. Itu yang sering kulakukan. Dia tak pernah menanyakan. Barangkali lupa, tapi seringkali mengikhlaskan asal dibaca. Koleksinya bertumpuk-tumpuk. Ketika kuceritakan soal Dataran Tortilla, dia menanggapi dengan baik. Baik. Itu saja. Kukira novel-novel seperti ini tak jadi minatnya.
Kukira, di dunia ini hanya Mz Rizky dan Mz Ranang, dan juga komplotan Anggur Torelli yang paham maksudku bahwa ini benar-benar novel yang wajib dibaca. Cerita sederhana dibalut humor yang klasik, yang benar-benar bertahan dari generasi ke generasi.
Siapa yang akan dengan santai membiarkan rumah yang disewakannya secara gratis terbakar jika bukan Danny, laki-laki bekas tentara yang begitu setia kawan. Atau siapa yang dengan cerdas mengalihkan kewajibannya membayar sewa rumah dengan merekrut satu per satu anggota rumah jika bukan Pilon.
Atau siapa juga yang mau tidur dengan beberapa anjing dengan meringkuk di kandang ayam jika bukan Pirate? Ya itulah, tapi bagaimana pun, menemukan teman untuk membagi kekonyolan Dataran Tortilla adalah perkara yang luar biasa.