Akibat tingkah laku kekanak-kanakan yang kerap dipertontonkan para politisi, benarkah masyarakat Indonesia dewasa ini mengalami krisis kepercayaan pada para pejabat?
Entah mengapa pertemuan di warung kopi selalu menemukan ceritanya sendiri. Berbagai kemelut dinamika sosial, ekonomi, budaya dan politik mampu disikapi dengan cara yang berbeda.
Hampir sama dengan cara kita melihat matahari terbenam di ufuk barat selepas mengkhatamkan Sepotong Senja untuk Pacarku dari Seno Gumira Ajidarma. Sehingga mampu membangun paradigma berbeda atau tidak terlalu mengaminkan argumentasi dari orang lain.
Di warung, kondisinya mencair dan terus mengalir tanpa putus bak kasih sayang ibu pada anaknya yang tidak bisa ditemukan mana batasnya. Sebuah persoalan mampu dibicarakan dengan santai sambil gegojekan.
Tanpa harus menyembunyikan muka tatkala tak suka dengan ragam pendapat yang menjelekan Anies Baswedan selama menjadi Gubernur DKI Jakarta, misalnya. Jelas tidak sama dengan lelaku di media sosial; melontarkan komentar dan bersembunyi di balik akun anonim.
Sentimen antar individu dari buntut keberbedaan pendapat bisa dianulir melalui sebatang lisong. Di warung kopi tingkat keegoisan manusia memang benar-benar diuji. Namun di sisi lain, obrolan warung kopi dapat pula membangun konstruksi kesepahaman untuk menilai sesuatu, lantas menjadi konsensus bersama.
Pemerintah gencar melakukan vaksinasi kepada rakyatnya setelah Jokowi disuntik vaksin oleh Abdul Muthalib dengan tangan gemetar di lengan kirinya, 13 Januari 2021 lalu. Spekulasi bermunculan dari berbagai kepala atas isi berita yang biasa-biasa saja, namun diframing lewat judul oleh korporasi media daring dengan begitu menjijikannya agar bisa menggunggah hati calon pembaca. Agar bisa bersaing di page one pencarian google.
Terlalu hiperbolis membuat judul kadang begitu menyesatkan. Namun ribuan kata terima kasih kiranya memang harus dilayangkan kepada jurnalis yang memproduksi berita dan redaktur atau pimpinan redaksi yang telah meloloskan naskah tersebut untuk diterbitkan.
Tiada alasan lain untuk berterima kasih, selain karenanya ngopi menjadi kian syahdu atas analisa wacana kritis dari mereka yang berbual. Meski tanpa didasarkan teori sebagai pisau analisisnya, bisa dikatakan pengalaman menjalani pahit-manisnya perjalanan hidup adalah pijakan dasarnya.
Untuk menyikapi berita tersebut, satu kepala berpendapat bahwa vaksinasi merupakan tindakan tepat dari pemerintah untuk menghentikan pandemi. Kepala lainnya berpendapat jika program vaksinasi adalah hal yang sia-sia sebab corona tidak ada.
Terlalu membenarkan pendapat pertama hanya akan memperpanjang sikap arogansi dalam peribadatan ngopi kemudian membuatnya begitu tak mengenakan.
Begitupun dengan mengiyakan pendapat kedua cuma akan menyebut diri kita adalah manusia yang kelewat tidak percaya dengan ilmu pengetahuan atas beragam riset dari ilmuwan yang mengatakan jika corona memang benar adanya.
Tapi beginilah manusia, apalagi manusia di ranah lingkup perkopian. Selalu ada alasan. Dapat dimaknai pendapat kedua yang mengatakan vaksinasi percuma ialah orang yang kelewat sudah tidak percaya dengan pemerintah, bukan coronanya.
Bisa saja tipikal individu yang begini telah memahami pola-pola pemerintah dan tidak mau terjatuh kesekian kali kepada prank pemerintah itu sendiri. Agus Mulyadi, redaktur mojok.co pernah memunculkan kredo bahwa cara melihat kondisi negara adalah kebalikan dari apa yang dikatakan Jokowi.
Nabsky mungkin masih ingat kala Jokowi bertandang ke Nusa Tenggara Timur dengan tujuan meninjau food estate dan meresmikan Bendungan Napun Gate. Tepatnya di Maumere, masyarakat berduyun-duyun menyambut pemimpinnya.
Terdapat kerumunan. Hal yang ganjil atas kerumunan itu tidak pula ditemukan sanksi pelanggaran protokol kesehatan yang dilayangkan kepada Jokowi. Padahal seperti yang banyak diketahui oleh publik, beliau lah yang gencar mengkampanyekan jaga jarak, pakai masker dan bla-bla lainnya.
Sepertinya memang penguasa selalu mempunyai cara dalam membuat deskresi. Maka sewajarnya, bukan kabar bohong yang dilontarkan individu untuk menyebut program vaksinasi percuma serta corona tak ada.
Sebab sudah tak ada lagi kiblat perilaku baik dari penguasa, bangunan kepercayaan publik dimentahkan sendiri. Dan bukan berlebihan untuk menyebut masyarakat Indonesia dewasa ini, sudah mengalami krisis kepercayaan.