Jurnaba
Jurnaba
No Result
View All Result
Jurnaba
Home Kultura

Kualitas, Kuantitas dan Hilangnya Gagasan Universal

Ahmad Wahyu Rizkiawan by Ahmad Wahyu Rizkiawan
June 24, 2020
in Kultura
Kualitas, Kuantitas dan Hilangnya Gagasan Universal
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan Ke WA

Kini segalanya diukur melalui kuantitas. Sebab kuantitas paling mudah dikapitalisasi. Di zaman akhir, kualitas tanpa kuantitas mungkin sekadar ilusi.

Seberapa penting sebuah perbincangan, tak diukur dari seberapa berat apa yang diperbincangkan. Karena sesuatu yang penting, kadang wujudnya lebih ringan dan sederhana daripada sesuatu yang tidak penting.

Sebab, sederhana iku sesuatu sing tidak sederhana. Karena apapun tak akan menjadi sederhana, kecuali ia telah didalami secara paripurna. Sehingga mudah dijelaskan secara sederhana.

Begitulah. Saya ndue kebiasaan berdiskusi secara sederhana. Ning tempat dan dalam suasana sing amat sederhana. Ngopi, ngerokok, dan memperbincangkan utopia-utopia. Kadang distopia-distopia.

Kemarin, saya update status WA. Saya memasang gambar cover buku Gus Dur dan Mahbub Djunaidi. Mungkin karena dua tokoh itu sosok idola banyak kawan di lingkaran saya, saya mengira, pasti ada yang terpantik untuk bertemu dan berdiskusi.

Dan, benar saja. Seorang kawan, Ulil Fikri, selang beberapa waktu kemudian menanyakan keberadaan saya. Lalu dia menyusul. Dan seperti biasa, kami berdiskusi. Saya meyakini bahwa Gus Dur dan Mahbub adalah dua sosok yang sering memantik ghirah berdiskusi.

Serupa kawan-kawan lain, Fikri satu kawan yang hobi sekali berdiskusi. Saat bersua dalam meja perkopian, sependek ingatan saya, tak pernah sekalipun kami alpa dalam membahas sesuatu. Memperbincangkan sesuatu. Dari urusan sepele hingga perkara sepala.

Biasanya, kami sering membahas nostalgia ideologi atau konsep-konsep pemikiran Islam klasik. Tapi kemarin, kami justru membahas karya-karya unik orang Indonesia. Penciptaan-penciptaan yang sepele tapi memukau.

“Lihatlah. Ini bagus sekali. Ini asli Indonesia lho, Kang.” Kata Fikri sambil menunjukan pada saya sebuah konten video seorang lelaki yang bisa membuat tempat sampah robotik otomatis yang bisa berbicara layaknya manusia.

Tak hanya tempat sampah robotik, kami juga melihat ulasan-ulasan unik lain seperti speaker yang bisa mengeluarkan energi plasma, perbedaan kualitas pisau TNI KW dan pisau TNI orisinil, hingga cara bermain gitar di luar kewajaran.

Yang jelas, semua karya dan ulasan itu ditampilkan orang-orang biasa yang tak terlalu terkenal. Orang pada umumnya. Orang yang hidup seperti halnya kami berdua. Kami menyaksikan betapa sesungguhnya, orang Indonesia itu hebat sekali.

Dan hampir semua video yang kami saksikan, tak ada satupun yang butuh fasilitas pemerintah. Mereka bergerak sendiri. Mencari bahan dan referensi sendiri. Menggali ide sendiri. Seolah-olah, tanpa pemerintahan pun mereka bisa hidup dengan sendirinya.

Jika saya lanjutkan pembahasan di atas, tulisan ini berpotensi subversif dan amat berbahaya. Karena itu, saya menghentikannya. Menghentikan apa yang kamu baca di paragraf sebelum paragraf yang ini. Biar tidak su’ul adab dan menimbulkan pertanyaan: apa peran pemerintah bagi masyarakat?

Orang-orang Indonesia, memang punya bakat cerdas dan kuat menyiasati kekurangan. Itu bisa saja disebab riwayat lamanya dijajah penjajah. Tapi, di lain sisi, kemampuan dan kreativitas memang tertempa oleh keadaan.

Orang-orang biasa, masyarakat kecil, yang hidup berdampingan dengan internet, dan mau belajar banyak hal darinya, tampaknya sangat berpotensi menjadi para pencipta. Entah pencipta benda, entah pencipta peristiwa.

Sementara kalau boleh jujur, kita kekurangan sosok pemimpin negeri yang pemikir. Punya ide. Dan punya gagasan besar nan universal. Pikiran dan ide tentu semua orang punya. Tapi gagasan besar nan universal, tampaknya amat sulit.

Sudah terlalu lama, negeri yang selalu membayangkan dirinya besar ini, kata esais Radhar Panca Dahana, tidak lagi memproduksi atau mengacukan dirinya pada idea atau gagasan besar (universal), sebagaimana para pendiri bangsa selalu melakukannya.

Kita, imbuh Radhar, justru repot sekali dengan hal-hal remeh dan partisan, termasuk mengurusi gaya hidup mahal hingga kreativitas banal dan konyol untuk mengomentari diksi-diksi kosong yang seolah “berisi” hanya karena melimpahnya followers, retweets atau menjadi trending topic.

Memang benar apa yang diungkap Radhar. Kadang saya berpikir. Saat ini, kedudukan manusia selalu ditentukan secara kuantitas. Bukan kualitas. Dalam hal apapun. Kuantitas dulu baru kualitas kemudian. Bukan sebaliknya.

Mereka yang punya uang banyak. Atau punya massa banyak. Atau punya followers banyak, akan lebih didengar meski bodoh dan tak hapal Pancasila.

Hal itu, secara psikologis, mendorong orang untuk mencari yang “banyak” dulu, baru membangun kualitas sambil berjalan.

Lihatlah, di medsos, orang cenderung mencari sensasi. Pasca itu, baru mereka mendapat perhatian. Pasca itu, followers nambah. Pasca itu, baru belajar. Itu pun kalau mau belajar. Yang lupa belajar dan bertahan pada kebodohannya karena sudah mendapatkan sesuatu yang “banyak” juga nga sedikit kan?

Padahal pemimpin-pemimpin dulu, seorang pemikir. Seorang ideolog. Seorang yang berjalan pada koridor kualitas. Pemikir dan konseptor. Siapa yang tak tahu Tan Malaka, Hatta, Sukarno, Yamin, Sjahrir.

Mereka punya konsep. Mereka punya gagasan besar. Universal. Yang konsep dan gagasan itu bisa bermanfaat bagi banyak orang. Saat ini, kita sulit menemukan pemimpin yang punya gagasan besar nan universal.

Alih-alih gagasan universal, gagasan yang menguntungkan pihak tertentu saja masih kesulitan. Penyebabnya, lagi-lagi, prioritas kuantitas. Belum ada waktu memikirkan gagasan, sudah memikirkan kuantitas potensi kemenangan di pemilihan yang akan datang. Duh

Kemarin, Fikri dan saya sedikit membahas perihal itu. Perihal betapa proses penciptaan, entah sekadar ide gagasan atau sebuah karya, sudah dilakukan oleh orang-orang biasa, ketika, sialnya, banyak tokoh publik sibuk mencari kuantitas followers.

Saat ini, segalanya diukur melalui kuantitas. Sebab kuantitas paling mudah dikapitalisasi. Sementara banyak yang lupa bagaimana membangun kualitas. Sebab, di zaman akhir, kualitas tanpa kuantitas mungkin sekadar ilusi.

Tags: Diskusikualitaskuantitas

BERITA MENARIK LAINNYA

Melihat Kondisi Pertanian Bojonegoro pada 1958
Headline

Melihat Kondisi Pertanian Bojonegoro pada 1958

March 4, 2021
Menerawang Khasiat Bunga Telang: Si Serbaguna dari Bumi Anglingdharma
Kultura

Menerawang Khasiat Bunga Telang: Si Serbaguna dari Bumi Anglingdharma

March 1, 2021
Memaknai Anime Attack on Titan sebagai Pegangan Hidup
Kultura

Memaknai Anime Attack on Titan sebagai Pegangan Hidup

February 10, 2021

REKOMENDASI

Irsyadu Syubhan, Sekolah Tahfids yang Fokus pada Sifat-sifat Huruf dan Kefasihan

Irsyadu Syubhan, Sekolah Tahfids yang Fokus pada Sifat-sifat Huruf dan Kefasihan

March 5, 2021
Melihat Kondisi Pertanian Bojonegoro pada 1958

Melihat Kondisi Pertanian Bojonegoro pada 1958

March 4, 2021
Menggarami Lautan Pakai Air Mata, Sebuah Nostalgia Patah Hati

Menggarami Lautan Pakai Air Mata, Sebuah Nostalgia Patah Hati

March 3, 2021
Panggil Saja Aku, Jum

Panggil Saja Aku, Jum

March 2, 2021
Menerawang Khasiat Bunga Telang: Si Serbaguna dari Bumi Anglingdharma

Menerawang Khasiat Bunga Telang: Si Serbaguna dari Bumi Anglingdharma

March 1, 2021
Sarapan penuh Kehangatan 

Sarapan penuh Kehangatan 

February 28, 2021

Tentang Jurnaba - Kontak - Squad - Aturan Privasi - Kirim Konten
© Jurnaba.co All Rights Reserved

No Result
View All Result
  • HOME
  • PERISTIWA
  • KULTURA
  • DESTINASI
  • FIGUR
  • CECURHATAN
  • ALTERTAINMENT
  • FIKSI AKHIR PEKAN
  • SAINSKLOPEDIA
  • TENTANG
  • KONTAK

© Jurnaba.co All Rights Reserved