Dusun Pesantren (Dusun Santren) adalah pedukuhan kecil di Desa Bendo Kecamatan Kapas Bojonegoro. Di balik nama lokasi, terdapat kisah tentang sosok misterius bernama Kyai Bakung.
Secara toponim nama, Santren berasal dari Kata Pesantren, yang secara etimologi bersumber dari kata Pe-Santri-an. Santri sendiri berasal dari bahasa Jawa yaitu “Cantrik” yang berarti para murid atau siswa dari sebuah padepokan.
Eksistensi Dusun Santren bisa kita temukan pada jejak digital kumpulan Peta-Peta kuno era kolonial. Tepatnya pada 1918 M, yang secara gamblang menunjukan adanya sebuah dusun bernama Pesantren di sebelah Selatan Desa Bendo, Kapas, Bojonegoro.
Menurut cerita tutur yang kami peroleh dari para sesepuh, nama Pesantren sudah ada jauh sebelum tahun 1918. Yaitu sejak era Kyai Bakung pertamakali mendirikan pondokan untuk mengajar para santrinya di wilayah ini, dan menamakan daerah yang beliau tempati itu dengan sebutan Pesantren.
Toponimi Pesantren inilah yang dikemudian hari menjadi satu-satunya prasasti tentang ketokohan Kyai Bakung dan pesantrennya dalam pergerakan dan penyebaran agama islam di wilayah selatan Kota Bojonegoro.
Siapakah Kyai Bakung?
Pertanyaan di atas kiranya mewakili sekian banyak orang yang pernah mendengar cerita tentang sosok ulama misterius ini, waliyulloh Mastur yang pernah tinggal dan menyebarkan islam di Dusun Pesantren.
Beliau dipercaya sosok penyebar Islam pertama kali di wilayah Bojonegoro bagian selatan, yang hidup pada medio abad 18 (1725 M), jauh sebelum Mbah Kyai Rosyid mendirikan Pesantren di Dusun Kendal Dander.
Kata “misterius” kiranya tepat menggambarkan sosok beliau. Sebab hingga saat ini, tidak ditemukan bukti tertulis, baik manuskrip atau prasasti, tentang riwayat kehidupan Kyai Bakung. Bahkan, makam Kyai Bakung tidak ada satupun yang mengetahuinya.
Sebagai penanda Kyai Bakung pernah tinggal di Dusun Pesantren adalah Petilasan yang berupa gundukan tanah dan batu bekas pijakan kaki tempat wudhu (yang kini juga telah raib entah kemana). Petilasan itu berada di belakang Asrama Putri Pondok Pesantren Sirojul Hikmah.
Menurut penuturan Almarhum Mbah Modin Sepuh dan Almarhum KH.Masykuri (Masayikh Ponpes Sirojul Hikmah), nama asli mbah Bakung adalah Kyai Talqis. Sedangkan nama Bakung adalah sebutan “Mbah Kakung” atau juga tetenger berupa tanaman Bakung yang dulu pernah tumbuh subur di atas petilasan.
Hingga kini petilasan tersebut masih disakralkan masyarakat sekitar, bukan karena keangkerannya akan tetapi lebih pada penghormatan atas cikal bakal adanya Dusun Pesantren dan penghargaan atas jasa-jasa Kyai Bakung.
Cerita lain juga kami terima dari Almarhum KH.Munir (Masayikh Ponpes Sirojul Hikmah), Mbah Bakung atau Kyai Talqis adalah ulama berasal dari Blora (Djipang) yang hingga masa tuanya tidak dikaruniai keturunan.
Karena itu, saat berusia lanjut, kerabat dari Blora memboyong beliau kembali ke tanah kelahirannya hingga beliau wafat dan dimakamkan di sana. Ini alasan kenapa tidak ditemukan makam beliau di Dusun Pesantren.
Kedatangan Kyai Bakung di Dusun Pesantren tak lepas dari peristiwa diperintahkannya Raden Sasongko (Tumenggung Haryo Matahun I) untuk memindah pusat kadipaten Jipang yang sebelumnya berada di Padangan menuju Rajekwesi. Ini terjadi tahun 1725 M.
Ketika Pakubuwana II naik tahta menjadi raja Mataram ke-9 pada 1725, pusat pemerintahan Kadipaten Jipang yang semula berada di Padangan, dipindah ke Rajekwesi. Pakubuwana memerintahkan Harya Matahun I (Raden Sasongko) yang kala itu sebagai Adipati.
Rajekwesi sendiri, lokasinya 10 km arah selatan dari Kota Bojonegoro (Desa Mojoranu). Di lokasi yang baru ini, Raden Sasongko mendirikan pusat ekonomi dan pendidikan guna lancarnya roda pemerintahan.
Maka sangat logis jika keberadaan Kyai Bakung dan Pesantrennya adalah penopang pendidikan Agama Islam bagi Masyarakat pada saat itu. Mengingat, lokasi Dusun Pesantren yang hanya berjarak ± 1-2Km dari Desa Mojoranu.
Hal ini diperkuat dengan banyaknya situs yang berada tak jauh dari petilasan Kyai Bakung. Misalnya Situs Nggurit (Bekas Pemukiman Kuno) di Bendo, Situs Makam Tumenggung Haryo Matahun di Ngraseh, Makam Kradenan di Mojoranu, Situs Missigit (Masjid) di perbatasan Mojoranu dan Bendo, situs Balaikambang di Bendo, Situs Tekik (Makam Kuno) di Bendo, dan lain sebagainya.
Dalam spektrum yang lebih luas, Kyai Bakung hidup di era Pakubuwana II. Pakubuwana II adalah raja Mataram kesembilan yang memerintah tahun 1726–1742. Ia naik tahta pada 1725. Program pertamanya sebagai seorang raja, adalah memindah Kadipaten Jipang dari Padangan ke Rajekwesi.
Pakubuwana II juga menjadi raja pertama Surakarta (Kasunanan Surakarta) yang memerintah tahun 1745–1749. Di era inilah, Kyai Bakung hidup. Maka benar jika Kyai Bakung hidup di era ketika perpindahan Kadipaten Jipang dari Padangan ke Rajekwesi.
Kyai Bakung mungkin tak semasyhur Kyai Sabil dan Kyai Hasyim di Padangan, atau Kyai Wiroyudo dan Kyai Citroyudo di Balen. Namun setidaknya jejak langkah perjuangan beliau masih tertinggal dan membekas disetiap jengkal tanah di Dusun Pesantren.
Cerita kesolehan dan kekeramatannya akan terus menjadi cerita tutur yang diwariskan oleh satu generasi kepada generasi selanjutnya.
Maka tidak berlebihan jika kiranya kami menyelipkan nama beliau,diantara nama para ulama yang memiliki peran penting dalam pergerakan dan penyebaran islam di Wilayah Kabupaten Bojonegoro dan sekitarnya.
—— ——
Penulis merupakan pegiat sejarah lokal asal Kecamatan Kapas Bojonegoro.