Literasi mengalami metamorfosis yang amat cepat. Dari perpustakaan generasi 1.0 hingga perpustakaan generasi 5.0 atau Makerspace. Apakah berdampak pada masa depan komunitas baca?
Di Indonesia, pecinta buku dijuluki kutu buku. Sedang di Inggris, mereka disebut bookworm, alias cacing buku. Meski beda, semua tetap hama yang gemar memakan kertas — meski sesungguhnya, julukan itu diberikan justru karena mereka sangat melindungi kertas (buku).
Nah, pertanyaannya, apakah istilah kutu buku dan cacing buku itu berpotensi berganti, ketika kelak buku tak selalu berhubungan dengan kertas?
Hal itu memang tak jadi perbincangan dalam World Book Day 2020: Indonesia Online Festival pertemuan ke 29, yang menjadikan Wien Muldian sebagai narasumber dalam diskusi tersebut.
Tapi diskusi bertajuk Komunitas Baca sebagai Kolaborator Literasi di Era Makerspace sedikit banyak menyinggung pergeseran kondisi dari kutu buku atau cacing buku menjadi buku yang tak berwujud kertas.
Dalam diskusi tersebut, Wien Mulidan membeber sebuah pertanyaan,
“Masih pentingkah perpustakaan komunitas, taman baca masyarakat, aktivitas pendidikan literasi dan kebudayaan di era industri 4.0?”
Dari pertanyaan sederhana itu, Muldian mendedah dan membandingkan posisi komunitas dan gerakan belajar berbasis teks di sejumlah negara.
Di negara maju, komunitas pembaca sudah berbasis digital. Tentu saja pakai aplikasi. Kondisi itu mampu menggeser ruang. Sehingga pembahasan dan perdebatan soal bacaan, berada di dalam aplikasi.
Selain adanya pergeseran bahan bacaan, di dunia kerja, pekerjaan dengan orientasi rutinitas dan manual juga mulai mengalami penurunan.
Dengan kenyataan semacam itu, menurut Wien, gerakan literasi telah mengalami tren pergeseran. Sehingga tidak cocok jika hanya berhenti pada gerakan sporadis. Tapi harus sudah pada tahap implementasi.
“Harus ada gerakan yang konkret dan berdampak jelas.” Ungkap Wien.
Dalam konteks gerakan literasi, misalnya, harus bisa memahami kemampuan akses dan menggunakan informasi. Menurutnya, ini mendesak karena bukan lagi gerakan ramai-ramai. Harus ada yang bisa didapat secara kontekstual dari aktivitas membaca.
Saat ini, kegiatan membaca, harus dipertanyakan sebagai apa. Membaca sebagai apa. “Baca sebagai rekreasi jangan lagi itu dikampanyekan. Baca sebagai mencari informasi jangan itu digerakkan.”
Menurut dia, komunitas pembaca harus masuk pada membaca sebagai komparasi dan eksplorasi. Maksudnya, semua pengetahuan yang dibaca dipelajari dari semua sumber bacaan.
Targetnya, menciptakan masyarakat pembaca dan pembelajar sepanjang hayat dan bisa membentuk organisasi pembelajar. Sehingga gerakan lebih condong ke kebermanfaatan organisasi sebagai bagian gerakan literasi.
Literasi Multimoda dan Makerspace
Saat ini, zaman telah bergeser. Dari yang sebelumnya berbasis industri (kontrol), bergeser ke basis informasi (pengetahuan), lalu kini bergeser lagi ke basis imajinasi (ide).
“Saat ini imajinasi. Harus kreator. Bukan kontrol maupun pengetahuan. Tapi lebih pada ide.” Kata Wien.
Dengan pergeseran zaman secara umum seperti itu, dunia literasi juga mengalami pergeseran.
Kini telah lahir perpustakaan generasi ke-5 atau 5.0. Jika tahapan generasi ini didedah, jadinya seperti ini: perpustakaan berbasis koleksi (1.0), pembacanya (2.0), pengalamannya (3.0), koneksinya (4.0), Makerspace (5.0). Saat ini lebih ke membangun lingkungannya.
Pada konsep perpustakaan generasi 5.0 ini, target utamanya adalah berkarya bersama. Berbagai pemikiran. Dan pemetaan pengembangan sekaligus evaluasi diri.
Untuk konsep Makerspace sendiri, kata Wien, tak hanya di lingkungan dunia nyata. Tapi juga online. Selain ada karya bersama, konsep Makerspace juga harus ada hasil. Ada yang dibahas. Paperless.
“Gerakan literasi harus lebih jauh melihat kedepan. Tidak konvensional melulu. Sedangkan masyarakat menunggu dalam konteks memberdayakan bersama. (Karena itu harus) lebih konkret.” Pungkas Wien.
Apakah Berdampak pada Komunitas Baca?
Komunitas baca, atau orang yang hobi baca buku, terlebih bukan karena ada tuntutan apapun dan siapapun, saya kira akan tetap memproduksi rasa penasaran dari buku. Sebab seberapapun jauh zaman berjalan, buku selalu punya pesona yang tak tergantikan.
Setiap pembaca punya kewenangan menentukan pada dimensi apa dia meletakkan tatap matanya. Bisa jadi pada dimensi digital. Bisa jadi pada dimensi buku. Dan itu tak berdampak apapun pada si pembaca. Semua sesuai dengan keinginan.
Terlepas bagaimanapun zaman bergolak dengan bermacam temuan-temuannya, komunitas baca (buku), menurut hemat saya, akan selalu ada dengan berbagai macam kualitas maupun kuantitasnya. Sebab, ada yang tak tergantikan dari buku beserta keribetan dan ketidaksederhanaanya.