Keadilan bergerak secara unik. Semua dilihat dari sudut pandang Mata Tomo. Mata seorang Utomo.
Di tempat ini, televisi tertempel pada dinding tembok. Sengaja ditaruh di sana agar bisa adil dan semua bisa menontonya. Mungkin Tuhan mentakdirkan diciptakannya tv agar semua bisa menonton lalu terhibur dan tak bersedih.
Saya duduk di pojok warung Giras 21, ditemani secangkir kopi hitam yang rasanya seperti malam purnama hari ke-30, pekat. Tapi tetap terasa setengah nikmat.
Jika manusia diturunkan ke dunia untuk menjadi pemimpin di bumi, karakter seperti apa yang mengkorelasikan hubungan mereka dengan sila kedua?
Ya, keadilan.
Tiga cangkir kopi hitam yang seperti purnama ketiga puluh, dan 3 jam waktu istirahat yang terkuras habis terpakai untuk pertanyaan yang saya buat sendiri, adalah gambaran keadilan saat ini.
Begitulah, manusia selalu memikirkan masalah yang dibuatnya sendiri dan bersusah payah mencari jawaban dari pertanyaannya sendiri. Seperti saya.
Sorot mataku nanar ketika ada segerombol musisi jalanan lengkap dengan alat musik khas dia sendiri, menyayikan lagu berjudul ” Wakil Rakyat” serasa menembus dada.
Mataku tertutup badanku melemas dan telinga mendengar “keadilan kita berbeda rasa.” Mata yang tertutup sontak melek dan badan terasa kaget.
Sementara si vokalis masih mengulanginya lagi dan lagi dan sambil membaca sebuah tulisan di kertas yang kelihatanya sebelumnya sudah dipersiapkan.
keadilan kita berbeda rasa
adil bagi kami adalah kebersamaan memutar cangkir kopi
keadilan kita berbeda makna
adil menurut kami adalah bersama melawan sepi
adil menurut kami adalah bersama merasakan pahitnya kopi.
seandainya kami menjadi kalian
kami tetap merasakan kopi pahit
tanpa memutar cangkir
tapi kami minum bersama
seandainya kalian menjadi kami
kalian tetap meminum kopi pahit
tanpa memutar cangkir
dengan rasa sendiri dan sepi
Lagipula sejak awal sudah kubilang, “keadilan kita berbeda rasa”. Jadi tenanglah di atas sana. Sampai kami selesai membuat tangga, guna membagikan kopi untuk kalian.
Sang gitaris nampak memetik senar gitar terakhir, itu tandanya lagu “wakil rakyat” sudah selesai.
Saya pun memberi senyum pada musisi jalanan yang ada di sebrang warkop Giras 21, dan saya pun kembali menoleh pada tv yang menempel pada dinding. Sembari merenungi makna keadilan.