Cinta sesuatu nan sakral. Saking sakralnya sampai jadi klise. Nah, berikut 4 definisi cinta menurut Filsuf Yunani yang belum banyak diketahui orang. Hati-hati, nomor berapapun akan membuatmu merenung.
Sebagai seorang manusia, para pembaca tulisan ini pasti pernah merasa jatuh cinta. Tapi sebagian besar mungkin masih belum mampu mendefinisikan cinta apa yang dirasakan.
Kadang, saat dekat dengan seseorang lalu berkata, “apakah ini yang dinamakan cinta?”
Meskipun cinta itu katanya tidak bisa diuangkan, nyatanya produksi atas interpretasi orang terhadap cinta selalu dapat menghasilkan uang yang tidak sedikit. Coba perhatikan, banyak film, buku, maupun hasil kesenian memiliki unsur-unsur cinta di dalamnya.
Mungkin bisa dihitung jari berapa film yang kita tonton selama satu bulan atau satu tahun yang tidak mengandung percintaan di dalamnya.
Sebenarnya istilah cinta masih miskin kosakata dalam bahasa kita maupun bahasa Inggris, sehingga kita dipersulit dalam menempatkan cinta itu harus ke mana, untuk siapa, dan diletakkan di mana.
Namun beruntung bagi kamu yang jomblo, Filsuf Yunani Kuno seperti Plato dan Aristoteles memberikan panduan dalam mendefinisikan cinta agar kamu tidak terlalu galau. Berikut ulasannya.
1. Eros
Pertama, eros (ἔρως érōs) berasal dari bahasa Yunani yang berarti hasrat cinta. Eros diambil dari nama anak Dewi Aphrodite yang disebut dengan dewa cinta dan nafsu seksual. Selain itu Eros juga disembah sebagai dewa kesuburan.
Seperti namanya, Eros merupakan cinta yang dilandasi nafsu, Henry George Liddell dan Robert Scott dalam A Greek-English Lexicon mengatakan bahwa eros kebanyakan didasari atas ketertarikan fisik atau seksual.
Cinta ini merupakan cinta yang bersifat keniscayaan biologis yang terdapat di setiap organisme, termasuk manusia dalam rangka meneruskan generasinya.
Eros didorong oleh rasa emosional yang membuat pelaku khawatir akan kehilangan kendali atas hasrat romantis terhadap lawan jenisnya. Oleh karena itu keuntungan yang diharapkan karakter eros lebih bersifat fisik, seksual, atau status kepemilikan dari individu lain.
Karena didorong oleh hasrat, pelaku eros akan terus berusaha agar egonya terpenuhi dengan menghalalkan segala cara, meskipun harus menyakiti orang lain dan acuh terhadap nilai atau norma yang ada.
John A. Lee dalam Colours of Life: An Exploration of the Ways of Loving mencirikan eros memiliki karakter hubungan fisik dan emosional yang kuat dalam hubungan, mudah memulai hubungan yang baru dengan kesenangan baru, bersifat eksklusif namun tidak posesif, siap terhadap segala risiko bercinta (Robert Sternberg dalam The Psychology of Love).
Eros sering tampak pada cinta pandangan pertama, blind date, serta menyukai akan kecantikan maupun ketampanan (fisik). Karena eros memuat unsur emosional, eros kerap kali menjadi tersangka utama atas drama percintaan kawula muda yang sering terlibat drama nan mengurai air mata dan perasaan.
2. Philia
Berasal bahasa Yunani (φιλία) yang berarti cinta persahabatan. Philia juga digunakan dalam asal terminologi filsafat, yakni philosophia (istilah ini pertama kali digunakan oleh Pythagoras).
Philia berarti cinta dan Sophia berarti kebijaksanaan. Plato dan Aristoteles sama-sama menjunjung tinggi philia dibandingkan dengan eros karena philia memiliki makna yang jauh lebih mendalam dan tidak emosional.
Plato berpendapat bahwa ketertarikan fisik bukan merupakan bagian penting dari cinta. Sehingga dia tidak memasukkan eros ke dalam makna cinta, dia lebih menggunakan istilah philia untuk mendefinisikan cinta tanpa ketertarikan fisik yang dirasakan oleh sahabat ketika masa-masa sulit maupun senang.
Sedangkan Aristoteles dalam Retorika beranggapan bahwa philia merupakan suatu bentuk kecenderungan untuk memberikan kebaikan secara simultan pada seseorang karena dia dimaksudkan untuk sarana menuju kebahagiaan diri. Lebih lanjut dia mengatakan “tak seorang pun akan memilih untuk hidup tanpa teman meskipun ia memiliki semua harta benda”.
Philia merasakan empati yang erat dan mendalam diantara pelaku yang terlibat dalam hubungan tersebut. Empati yang dirasakan bukanlah empati atas dasar kasihan atau karakter filantropi (altruisme satu arah). Namun empati yang terjadi merupakan bentuk individu yang saling menikmati karakter satu sama lain.
Philia dapat kita lihat pada tokoh Clint Barton dan Natasha Romanoff pada sekuel The Avengers. Barton memiliki istri dan 3 anak yang sangat dicintainya, namun dia juga mencintai karakter Romanoff sebagai sahabat seperjuangan dalam melakukan misi berbahaya. Istri Barton pun menganggap Romanoff seperti keluarganya sendiri, bahkan anak ketiga Barton diberi nama Nataniel.
3. Storge
Merupakan istilah Yunani (στοργή) untuk cinta keluarga. Ini adalah bentuk cinta pertama yang kita temui waktu pertama kali kita lahir ke dunia. Cinta yang seperti ini juga bersifat naluriah seperti halnya eros. Namun juga sama seperti philia, storge tidak didasarkan atas karakter seksual.
Storge didapat atas adanya komitmen bersama individu yang bersangkutan untuk memiliki hubungan jangka panjang. Walter Hooper dalam C. S. Lewis: A Companion & Guide (1996) berkata bahwa storge juga bisa menjadi peleburan atas eros dan philia sehingga membentuk keluarga yang saling melindungi satu sama lain dalam jangka panjang.
Di lain hal, William L. Yarber dalam Human sexuality: diversity in contemporary America (6th ed.) berpendapat bahwa storge diawali dari pertemanan, lalu ke persahabatan, dan kadang mereka tak menyadari ternyata mereka lebih dekat dari orang yang sedang memadu kasih.
Pelaku storge menginginkan orang terdekat juga menjadi sahabat terdekat bahkan pasangan mereka. Hal ini disebabkan karena adanya hubungan panjang, ikatan darah, prinsip, atau tujuan sehingga timbul keinginan untuk bersatu. Misalnya keluarga, negara, maupun organisasi.
Sepintas storge dan philia mirip. Namun bedanya philia tidak terlibat atau terikat kemelut seksual, hubungan darah, atau prinsip. Philia murni karena pelaku yang terlibat saling menikmati karakter secara objektif satu sama lain sehingga menciptakan kebahagiaannya sendiri. Sedangkan storge memiliki kecenderungan adanya keinginan atau tujuan untuk berada dalam suatu komitmen jangka panjang untuk suatu cita-cita tertentu.
4. Agape
Agape (ἀγάπη) berasal dari bahasa Yunani yang berarti cinta altruistik, cinta tak terbatas, atau cinta tanpa syarat. Budha mengenalnya dengan istilah mettā yang berarti cinta kasih universal. Agape dianggap sebagai cinta yang tertinggi dan murni diantara cinta lainnya, sebab agape tidak memiliki batas dalam mencintai.
Cinta seorang agape tidak terikat oleh apapun dalam kondisi apapun dan tidak menuntut balas dalam bentuk apapun (termasuk seksual maupun komitmen). Sehingga agape sering disematkan dalam kalimat analogi cinta Tuhan kepada hambaNya.
Dalam Asmaul Husna Islam menyebut Allah SWT sebagai Maha Pengasih (الرحمن) yang berarti kasih sayangNya meliputi seluruh alam semesta dan tidak ada yang mampu menandinginya.
Sedangkan Nancy Missler dalam The Way of Agape Workbook: Understanding God’s Love, King’s High Way Ministries menuturkan bahwa menurut dia dalam Kekristenan, cinta yang paling tinggi adalah cinta agape, yaitu cinta yang benar-benar tulus, suci, tidak berpamrih, bahkan sarat akan pengorbanan diri.
Agape tidak terikat dengan apa yang orang lain katakan, rasakan, perlakukan, pikirkan, atau percayai. Agape membawa pelaku ke ruang intuitif kebenaran cinta yang hakiki, yakni penerimaan, memaafkan, serta tentang kebaikan yang lebih besar termasuk untuk dirinya sendiri.
Seorang agape merasa perbuatan baiknya merupakan sumber kebahagiaan, kesenangan, dan ketenangan bagi dirinya sendiri. Sehingga tidak heran jika seorang agape selalu bahagia ketika dia berbuat baik dan tidak pernah menuntut balas atas kebaikan yang telah dia lakukan.
Sejenak kita mungkin akan merasa seorang agape, namun coba tanyakan ke diri kita sendiri di lubuk hati yang terdalam, apakah kita pernah menyesal, kecewa, atau berharap sesuatu setelah berbuat baik? Jika masih, mungkin kita jangan bangga dulu. Kita masih pamrih.
Secara tidak langsung, seorang agape akan merasa bersalah ketika dia merasa bisa melakukan suatu kebaikan tetapi tidak dia lakukan. Setidaknya itu yang dikatakan Peter Parker pada Tony Stark pada sekuel Captain America: Civil War.