Mbah Syahid Kembangan alias Mbah Buyut Muhammad alias Mbah Sayyid Kalitidu, memiliki nama asli Syekh Muhammad Syahid ibn Syihabuddin. Dalam berbagai riwayat, Mbah Syahid Kembangan dikenal sebagai ulama yang dikawal macan.
Mbah Syahid Kembangan hidup pada periode (1815 -1910 M). Beliau mendirikan Pesantren Kembangan pada usia sekitar 40 tahun atau pada periode 1855 M. Sebuah pesantren yang kelak terkenal sebagai pusat pendidikan islam dan punjer gemblengan ilmu kanuragan.
Jasa Mbah Syahid cukup besar dalam memperkenalkan ajaran islam pada masyarakat. Pesantren Kembangan punya pengaruh yang sangat luas. Terutama di wilayah Kecamatan Kalitidu, Malo, Gayam, hingga Ngasem Bojonegoro.
Sebagai peguron kanuragan, murid-murid Mbah Syahid dikenal sebagai para kiai kebal bacok yang bisa memegang petir, berjalan di atas air, hingga bisa mengubah datangnya arah angin. Sepintas, riwayat ini serupa dongeng. Tapi sesungguhnya, semua bisa di-analisis secara ilmiah.

Dilihat dari kecenderungan dakwah dan berbagai macam peninggalan yang beliau wariskan, Mbah Syahid merupakan ulama penganut Tarekat Rifaiyyah. Ini dibuktikan dengan sejumlah wirid yang beliau ajarkan. Seperti Wirid Bisteguh dan Wirid Qadr, yang merupakan kearifan lokal dari Ma’ani Bismillah dan Tafsirul Suratil Qadr (identitas Tarekat Rifaiyyah).
Secara ilmiah, Mbah Syahid berdakwah pada periode paling kejam di masa penjajahan Belanda. Tepatnya pada masa Cultuurstelsel (sistem tanam paksa) yang terjadi pada 1830-1870 M. Di periode inilah, Pesantren Kembangan didirikan sebagai pusat pendidikan.
Dua Guru Mbah Syahid
Mbah Syahid pernah belajar hingga ke Tanah Hijaz (Makkah-Madinah). Namun, beliau memiliki dua guru utama yang sangat berpengaruh. Keduanya adalah Syekh Abdurrohman Klotok (Wali selatan sungai Padangan) dan Syekh Syihabuddin Betet (Wali utara sungai Padangan).
Tentang kedua Wali tersebut, ada sebuah kredo keramat yang diriwayatkan dari zaman ke zaman. Kredo itu berbunyi: “kowe nek pengen ngalim ngajio marang Mbah Abdurrohman Klotok, tapi nek pengen jadug-kanuragan ngajio marang Mbah Syihabuddin Betet”.
Mbah Syahid lahir dan tumbuh dalam didikan langsung kedua ulama keramat tersebut. Syekh Syihabuddin Betet adalah ayah Mbah Syahid. Sementara Syekh Abdurrohman Klotok adalah paman beliau. Tak heran jika kelak, Mbah Syahid mewarisi dua karakter keilmuan dari dua ulama keramat tersebut.
Dakwah Kanuragan
Serupa sang ayah, Mbah Syahid ulama Hamilul Quran, tapi masyhur Kiai Dokdeng yang mengajar ilmu kanuragan. Selain mengajar santri dengan ilmu Al Quran, Mbah Syahid juga mengajar ilmu jadug-kanuragan. Ilmu kanuragan yang beliau ajarkan, sesungguhnya sesuai dengan tuntutan zaman.
Ini terbukti dari nama peninggalan Mbah Syahid yang memang identik sebagai ilmu kanuragan seperti; kitab Suluk Syahadat Jowo, Ageman Besel Slawe, Suluk Bisteguh, Suluk Tigakol, Suluk Tapal Adam, Ageman Lembu Sekilan, hingga Suluk Kebonambang.
Pada masa Cultuurstelsel, para kiai dituntut memiliki ageman kanuragan. Tanpa memiliki ilmu kanuragan, islam sulit berkembang karena pergerakannya berada di bawah pengawasan dan intervensi kaum penjajah.
Pada era Cultuurstelsel, tiap ada kiai yang berdakwah, langsung dibedil penjajah. Ini alasan Mbah Syahid dikenal sebagai ulama kebal bedil yang dikawal macan. Tiap kali beliau mengaji dan berdakwah, seperti ada macan yang berada di samping kanan dan kirinya.
Mayoritas santri Kembangan juga masyhur sebagai santri yang “bisa nyuwuk dan bisa nggepuk”. Ini karena mereka berdakwah di bawah ancaman senjata. Bahkan sampai saat ini, Kembangan dan sekitarnya masih dikenal masyarakat sebagai wilayah dengan atmosfer jadug-kanuragan.
Warisan Mbah Syahid
Melalui kitab suluk dan ajaran-ajarannya, tarekat Mbah Syahid tersimpan rapi sebagai bagian dari khazanah intelektual islam nusantara. Tarekat itu pernah berkembang di sejumlah wilayah seperti Kembangan Gayam, Mbarangan Padangan, dan Kedungkebo Senori.
Di antara nama-nama yang meneruskan ajaran Mbah Syahid adalah Mbah Muntoho Padangan (Mbah Ho), Mbah Nurkhazin Kembangan, Mbah Sanusi Mbarangan, Mbah Dullah Betet, Mbah Syarif Kedungkebo, Mbah Khasan Tenggor, Mbah Yakub Trembes, Mbah Nyai Wuryati, Mbah Nyai Rusmijah Panjunan, hingga Mbah Jinal Kedungkebo.