Beberapa pekan terakhir terjadi kemelut yang begitu meriah di antara kalangan tenaga pengajar di seluruh Indonesia.
Hal ini tentu saja merupakan dampak dari pencetusan ide dari Mas Menteri tentang marketplace atau lokapasar guru.
Secara sederhana lokapasar guru dapat diartikan sebagai penyatuan komponen data guru menjadi satu buku besar untuk memudahkan sekolah dalam hal ini sebagai user atau pihak pengguna untuk merekrut tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Ide ini tentu saja sangat brilian dalam satu sisi. Mengingat gagasan ini bisa menjadi semacam batu kripton atas persoalan akbar dalam perekrutan tenaga PPPK guru yaitu ketimpangan antara permintaan pasar dengan tenaga kerja yang mumpuni dan layak kualifikasi.
Tuntutan dari pusat adalah satu juta guru ASN namun hal ini tak disambut dengan sukacita oleh daerah yang hanya menyetorkan kuota PPPK Guru secara serampangan.
Pada beberapa kali penyelenggaraan rekrutmen PPPK Guru, pemerintah masih belum bisa memenuhi target pengangkatan satu juta guru menjadi tenaga PPPK.
Hal yang sangat konyol tentu saja bila mempertimbangkan kenyataan di lapangan ada begitu banyak tenaga pengajar ahli yang tak lolos seleksi.
Bahkan beberapa rekan kerja telah memenuhi syarat kualifikasi akan tetapi hingga lebih dari 12 bulan belum mendapatkan panggilan sebab pemerintah daerah yang masih gagap dalam merumuskan penempatan.
Permasalahan-permasalahan terkait rekrutmen tenaga pengajar, menerut Mas Menteri, bisa terselesaikan dengan kebijakan lokapasar guru.
Sebuah gagasan yang timbul dari pengalaman seorang pengusaha yang terbiasa menghubungkan antara pelanggan dengan tukang ojek terdepan.
Gagasan ini harus didukung dengan basis hukum yang utuh dan sistem eksekusi yang tangguh. Sebab tanpa adanya hal-hal yang demikian, maka sebagaimana sebuah pasar akan banyak sekali terjadi tindak keculasan dan kecurangan.
Satu kebijakan distribusi tenaga pengajar melalui PPPK belum matang sepenuhnya, kini timbul gagasan baru tentang lokapasar guru.
Sebenarnya pokok persoalan yang dirasakan oleh nyaris segenap guru non-ASN di seluruh bumi pertiwi adalah upah kerja yang jauh di bawah sederhana.
Pasti kawan-kawan pembaca tak asing mendengar kabar gaji guru di bawah lima ratus ribu dalam 4 minggu, atau gaji tenaga pengajar yang diberikan satu kali dalam hitungan triwulan, atau bahkan masih terdapat beberapa tenaga pengajar di sebagian daerah pedalaman yang masih diupah dengan beras satu genggaman.
Miris sekali bukan? Jangankan kita bicara soal guru sebagai buruh yang harus diupah sesuai dengan UMR, separuh dari UMR saja sudah menjadi berkah yang luar biasa.
Ironinya, ketika para tenaga pengajar berbicara tentang kelayakan hidup mereka terus dicerca dengan jargon manis di mulut namun pahit di perut yaitu Guru Sebagai Pahlawan Tanda Jasa.
Seakan-akan guru tidak boleh menuntut apa yang sudah selayaknya menjadi upah mereka. Barangkali masyarakat lupa bahwa guru juga adalah manusia biasa yang akrab bersisian dengan kelaparan dan kemiskinan.
Bila dilihat dari strata sosial maka barangkali guru ini berada satu setrip di atas kaum duafa dalam pandangan hormat masyarakat.
Namun satu jenjang yang sama dengan kaum duafa dalam rasa kepedihan diri dan keterpurukan ekonomi.
Guru seolah-olah menjadi klaster tersendiri dalam perbincangan ketenagakerjaan.
Ia dianggap sebagai profesi yang suci sehingga harus dijauhkan dari segenap persoalan duniawi agar jiwanya tidak terkontaminasi.
Termasuk dalam hal ini, barangkali adalah kebutuhan materi. Bahkan saking terkenalnya hubungan intim antara tenaga pengajar dengan kemiskinan, timbul stigma tersendiri di dalam masyarakat agar mereka menyekolahkan putra-putrinya di sekolah yang guru-gurunya sudah selesai soal materi.
Sehingga para guru tadi bisa total berkontribusi dalam urusan edukasi. Sebuah stigma yang jangka panjangnya akan melahirkan lingkaran setan tak berkesudahan.
Sebab nantinya, anak-anak yang dianggap kurang mampu akan dititipkan pada sekolah yang guru-gurunya kurang mampu juga secara ekonomi. Dan begitu pun sebaliknya.
Maka saran saya sederhana Mas Menteri, urung kita berbicara soal generasi unggul, pendidikan yang memanusiakan, dan hilirisasi edukasi, bila guru dalam hal ini sebaga aktor utama penggerak pendidikan masih diabaikan oleh kesejahteraan.
Harus ada kebijakan yang konkret untuk mengangkat kelayakan hidup segenap tenaga pengajar di bumi pertiwi. Tabik, Mas Menteri.
Wallahu a’lam bis showab ~