Sejak tahun 1958, tembakau jadi komoditas pertanian yang sangat dibanggakan Kabupaten Bojonegoro.
Praktik feodalisme membuat jerih payah petani tidak bisa dirasakan sepenuhnya. Hasil panen diambil oleh investor asing seperti Tionghoa. Juga tidak diambil oleh pedagang setempat, melainkan diambil dari Surabaya, Kediri, dan lain-lain. Sumber penghasilan derah terbesar adalah tembakau jenis virginia dan jawa, lombok, dan juga kedelai.
Apabila hujan dan iklim kemarau (basah), hal itu merugikan produksi tembakau dan lombok. Mengingat kedua tanaman tersebut merupakan tanaman tropis. Membutuhkan sinar matahari yang lebih agar menghasilkan produk yang berkualitas.
Berdasar data Djawatan Pertanian Karesidenan Bodjonegoro pada tahun 1958 hasil panen tembakau virginia adalah 6852 ton berupa tembakau krosok, dan 6507 ton tembakau rajangan. Sedangkan untuk hasil panen tembakau jawa yaitu 22137 ton, dan lombok 34236 ton. Hasil panen tahun 1958 mengalami kenaikan 17,9 % jika dibanding tahun sebelumnya.
Hasil panen tembakau merupakan satu-satunya yang dapat dibanggakan. Hasil panen yang melimpah berbanding lurus dengan banyaknya omprongan (oven). Terdapat 1314 buah omprongan di tahun 1958.
Di wilayah Kecamatan Bojonegoro kini, omprongan bisa ditemui di bekas pabrik pengolahan tembakau yang berada di Jalan Lettu Suyitno. Selain itu omprongan juga tersebar di beberapa kecamatan salah satu di antaranya di Baureno.
Selain tembakau hasil panen Bojonegoro adalah padi gogo rendengan, rancah, dan tegalan. Kemudian ada jagung, ketela, dan sebagainya.
Berkat kesabaran petani yang setia menunggu tanamannya agar benar-benar siap untuk dipanen dan cara penanaman yang semakin baik, membuat hasil pertanian mengalami peningkatan. Namun Bojonegoro juga masih mengimpor padi dari daerah lain seperti Banyuwangi. Tahun 1958 Bojonegoro mengimpor padi gabah dengan jumlah 15000 ton.
Tanah di Bojonegoro terbanyak berupa tanah hitam. Selain itu ada tanah branjangan pego dan kricak. Usaha yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan hasil panen dengan mengintensifkan tanah dan mengadakan sosialisasi tentang pupuk, obat, dan juga alat-alat pertanian.
Praktik pertanian tahun 1958 antara lain moro hasil yaitu (penggarap tanah) dengan membagi dua hasil panen dengan pemilik tanah, dan perjanjian sewa musiman, kredit pupuk, dan juga pinjaman uang dengan bunga yang kecil.
Dinas Pertanian di tahun 1958 memberikan tugas dan arahan kepada masyarakat untuk melakukan percobaan dalam proyek bertajuk Padi Centre. Tempatnya di Kecamatan Balen, tanah yang digunakan sekitar 1000 ha. Dari percobaan tersebut lahir suatu yayasan atau badan kredit bernama Yayasan Padi Centre.
Asas-asas di dalam badan itu bertujuan untuk mengintensifkan padi bagi petani kecil, memberi anjuran untuk mengumpulkan padinya ke pemerintah, dan membrantas secara radikal sistem ijon yang menimbulkan dampak negatif pada sistem pertanian.
Pada tahun itu, kaum tani memiliki tekad untuk mengembangkan tanahnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup. Beberapa usaha yang dilakukan yakni membimbing dan memupuk gotong royong serta membentuk koperasi atau organisasi tani. Harapannya dengan adanya organisasi tani, petani lebih mudah menyalurkan usahanya di bidang sosial dan ekonomi, dan juga dapat melakukan kredit.
Di organisasi petani ada yang namanya rukun tani. Terdiri dari rukun tani, rukun wanita tani, dan rukun pemuda tani. Bidang organisasi tani meliputi beberapa bidang. Bidang sosial, misalnya membantu pembuatan rumah, memberi sumbangan dana ketika tertimpa musibah, kecelakaan, dan sebagainya. Bidang perhubungan, mengadakan dan mengatur lumbung. Bidang (usaha) kredit, memberikan pinjaman sewaktu-waktu.
Urusan pengairan pertanian, pemerintah hanya mengairi tanah sawah yang terdaftar. Mengairi sawah seluas 100.000 hektare. Selain itu, pengairan bersumber dari Kali Solo. Di sekitar Kali Solo banyak ditemukan sawah.
Hal tersebut juga tergambar dalam sebuah peta Java Towns Plans (Bodjonegoro) yang dikeluarkan tahun 1900-an oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dari rawa-rawa itulah digunakan untuk mengairi sawah, selain itu juga dari waduk-waduk seperti Waduk Pacal (Temayang) yang mengairi tanah seluas 16.000 ha dan Waduk Prijetan di Kabupaten Lamongan, Karesidenan Bojonegoro.