Saya sedih kemudian mau nangis. Tapi nggak jadi. Saya malu karena air mata yang saya keluarkan bakal percuma. Toh sudah terwakili asinnya air laut yang terhampar luas. Masak saya mau menggarami lautan pakai air mata, kan malah torok.
Cinta memang sudah menjadi bagian integral dalam hidup yang tidak dapat terpisahkan, begitupun dengan patah hati. Kalau tak berujung bahagia maka akan berujung tragis. Itu sudah jadi hukum alam dan sukar untuk diubah.
Mari kita bersepakat, dalam sebuah tempat yang dijajaki, tempat tersebut mampu membangkitkan ingatan-ingatan lama. Contohnya, ketika saya bertandang ke sekolah. Saya jadi teringat beberapa tahun silam pernah duduk di bangku paling pojok dan suka mengantuk lalu dijahilin teman.
Cerita lainnya yakni saat duduk di bangku kelas sebelas, ada perempuan yang bersedia duduk bersama saya.
Dia yang humble dan sanggup membuat hati deg-deg ser, mungkin itu yang dinamakan cinta monkey.
Kepada saya, perempuan tersebut berkata “Gitu katanya pengen kuliah, kakimu itu lho getar terus, sudahi po’o” tentu ia mengatakan ketidak-kagumannya itu dengan terkekeh.
Tak disangka, dia yang mengantarkan saya pada pilihan kampus, awalnya saya tak mengenal kampus yang kelak disinggahi sebagai lahan pencarian ilmu. Ini semua karena dirinya. Namun, saya sangat bersedih, sebab dia tak diterima masuk perguruan tinggi.
Lebih sedih lagi, dua tahun setelah lulus SMA, dia menikah.
Tempat lainnya adalah kontrakan. Suatu waktu saya bersama satu kawan berada di kontrakan, dia memang mengajak saya cari hiburan keluar. Tidak ada alasan lain untuk mengiyakan. Semua berlalu baik-baik saja.
Tapi ada kepahitan yang begitu amat terasa bahwa tak dinyana dia mengajak teman perempuannya. Bagi saya, temannya itu cantik. Kriteria perempuan idaman tercermin dalam dirinya.
Akibatnya pun fatal. Saya seperti diperkenalkan dengan rasa cemburu. Di waktu lain, saya ketahui bahwa perempuan itu ternyata sudah punya pasangan. Dan pasangannya bukan teman saya.
Setelah beberapa waktu berjalan. Kawan-kawan satu kontrakan memutuskan pindah ke tempat lain. Walau begitu, tetap saja kontrakan yang pernah ditempati dulu itu jadi saksi kepedihan, apalagi jika saya lewat di depannya.
Kampus juga jadi saksi cerewet akan kuatnya prahara cinta. Satu kelas yang saya ambil, rasio perbandingan jumlah perempuan dan laki-laki lebih banyak perempuannya. Maka tak bisa dinafikan mahasiswa di kelas tersebut pasti punya satu incaran untuk ditaksir.
Begitupun dengan saya. Ada perempuan yang sanggup membuat kagum. Tanpa rasa malu untuk mengatakan namanya secara terang-terangan, ia bernama Romlah, gadis cantik asal Surakarta.
Dengan kerudung pashmina sebagai busana khasnya, Romlah mampu menyipu hati dengan tatapan dan sikapnya yang teramat santun. Bagi saya tipe ukhti seperti Romlah akan sangat sulit mendapatkan pasangan, atas alasan itulah mencoba mendekatinya menjadi pilihan tepat. Lagi-lagi anggapan tersebut salah, selepas kuliah saya jumpai Romlah berboncengan dengan laki-laki.
Ini memang aneh. Kelas yang saya ambil, mayoritas didominasi perempuan. Tapi sialnya, masih saja saya jomblo. Ini kan kayak, misalnya, main bola cuma lawan kiper tapi gabisa ngegolin gara-gara nasib. Wqwq sedi bet.
Cerita di atas adalah sebuah kisah pilu akan kepatah-hatian yang saya alami. Itu hanya sebagian. Perihal itu semua terdapat satu tempat yang bisa membangkitkan soal nostalgia kesedihan sebagai lelaki yang selalu tak beruntung mencari pasangan.
Tempat tersebut ialah selat Madura.
Kapal membantu saya menginjakan kaki tepat di atas selat Madura. Memandang sekelilingnya, tak di bangku penumpang maupun geladak Kapal, muda-mudi seumuran saya saling yang-yangan.
Saya sedih kemudian ingin menangis. Tapi nggak jadi. Saya malu karena air mata yang saya keluarkan bakal percuma. Toh sudah terwakili asinnya air laut yang terhampar luas. Masak saya mau menggarami lautan pakai air mata saya, kan gabisa.