Jurnaba
Jurnaba
No Result
View All Result
Jurnaba
Home Cecurhatan

Menanamkan Literasi Aswaja secara Bil-ilmi, bukan Bi-ceremony

Branda Lokamaya by Branda Lokamaya
03/09/2021
in Cecurhatan, Headline
Menanamkan Literasi Aswaja secara Bil-ilmi, bukan Bi-ceremony
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan Ke WA

Istilah Literasi Aswaja atau Jurnalisme Aswaja, tentu sering terdengar di telinga. Sayangnya, istilah itu kerap jadi program seremonial yang tak menyisakan apa-apa, selain sertifikat seminar belaka.

Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja) menjadi satu istilah populer bagi masyarakat Islam Indonesia. Bukan sekadar istilah, tapi mazhab atau thoriqoh atau methode atau jalan ubudiyah yang paling banyak dijadikan pegangan masyarakat Indonesia.

Sejak lama, bermacam giat ke-aswaja-an sudah ditanamkan di sekolah-sekolah berbasis pesantren. Terutama methode Aswaja dalam konteks praktik ubudiyah di ranah kehidupan sehari-hari. Hal ini amat penting untuk terus dilakukan, agar tiap generasi selalu memahami Aswaja sebagai pegangan dalam beribadah.

Dalam tulisan ini, saya tak ingin membahas tentang materi ke-aswaja-an atau apa sih yang dipelajari dalam Literasi Aswaja. Terkait dengan kurikulum Literasi Aswaja, semoga bisa saya tulis di lain kesempatan. Tulisan ini hanya akan membahas esensi dan substansi Literasi Aswaja.

Substansi Literasi Aswaja

Selain adanya pelajaran berbasis ke-aswaja-an di dalam lembaga pendidikan, di era digital saat ini, banyak pula giat-giat berbasis seminar tentang ke-aswaja-an. Mulai yang dikemas dengan istilah “literasi” hingga “jurnalisme”. Tentu itu sangat bagus.

Hanya, tindak lanjut yang sekadar kelas workshop dan seminar berorientasi waktu (entah bulanan, entah mingguan), justru membuat unsur Aswajanya kehilangan esensi. Sebab, selalu berakhir sebagai giat seremoni. Dan ini, menurut saya, kurang bagus.

Literasi Aswaja atau Jurnalisme Aswaja, jika dilaksanakan sekadar workshop atau seminar atau kelas-kelasan berbasis waktu, justru mengurangi makna literasi atau jurnalisme itu sendiri. Ini penting untuk dijelaskan. Mari kita koceki satu persatu.

Literasi berasal dari bahasa Latin, literatus, artinya orang yang belajar. Orang yang sinau. Dalam perkembangannya, literasi merupakan kemampuan untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung, memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan dan bermasyarakat.

Jurnalisme merupakan kegiatan menghimpun berita, mencari fakta, dan membuat laporan tentang peristiwa. Jurnalisme, berasal dari kata bahasa Inggris Journal. Sementara kata tersebut berasal dari bahasa Latin Diurna atau Acta Diurna yang artinya catatan harian.

Baik Journal (bahasa Inggris) ataupun Diurna (bahasa Latin), keduanya punya arti catatan harian tentang peristiwa sehari-hari. Sehingga, jurnalis merupakan orang yang sehari-hari melakukan proses pencatatan peristiwa.

Sementara Aswaja, dalam hal ini, adalah atmosfer. Adalah udara. Adalah oksigen. Adalah air. Adalah darah. Adalah nyawa bagi cara beragama dan berkeyakinan kita. Aswaja adalah sesuatu yang menempel dan ikut dalam denyut kehidupan sehari-hari.

Nah, dari penjelasan di atas, harusnya istilah Literasi Aswaja ataupun Jurnalisme Aswaja, tidak boleh dijadikan workshop atau seminar atau kelas-kelasan saja. Tentu kita akan su’ul adab jika sampai menjadikan level atmosfer kok jadi level workshop.

Literasi Aswaja, haruslah menjadi tradisi. Harus menjadi budaya. Menjadi kegiatan yang tak dibatasi sekadar program-program berorientasi sertifikat. Ia harus menjadi kebiasaan dalam ranah ilmiah dan kehidupan sehari-hari.

Literasi Aswaja secara Bil-ilmi bukan Bi-ceremony

Literasi Aswaja harusnya merupakan tradisi yang membudaya dalam kehidupan sehari-hari. Kemauan dan kemampuan mempelajari dan memahami dan membahas dan mendiskusikan Aswaja, harus menjadi sebuah tradisi. Jadi jangan berhenti secara seremonial sebagai program. Jangan dilakukan secara Bi-ceremony belaka.

Literasi Aswaja harus dijalankan secara Bil-ilmi. Secara keilmuan. Secara konsep berpikir. Nah, jika sudah jadi konsep berpikir yang sering dibahas dan didiskusikan, nanti bisa menjadi tradisi. Menjadi budaya. Dan menjadi atmosfer.

Nah, apa yang didiskusikan, dibahas, dan ditulis? Tentu banyak. Mulai peran-peran kiai desa, khazanah-khazanah Salafusholeh, hingga perkembangan Aswaja di era kontemporer.

Terlepas cara mendiskusikan dan membahasnya pakai konsep bungkusan atau prasmanan, itu tak jadi masalah. Yang penting Literasi Aswaja tak boleh dibatasi sebagai program seremoni berbasis workshop, yang ghirah-nya selesai ketika workshopnya selesai.

Tags: Jurnalisme AswajaLiterasi AswajaPegiat Literasi

BERITA MENARIK LAINNYA

Bukan Tutorial Move On Bagi Yang Patah
Cecurhatan

Bukan Tutorial Move On Bagi Yang Patah

15/05/2022
Cegah Pungli dan Gratifikasi, Bapenda Bojonegoro mulai Terapkan Cashless
Cecurhatan

Cegah Pungli dan Gratifikasi, Bapenda Bojonegoro mulai Terapkan Cashless

14/05/2022
Serba Serbi Akhir Ramadhan Hingga Awal Lebaran
Cecurhatan

Serba Serbi Akhir Ramadhan Hingga Awal Lebaran

13/05/2022

REKOMENDASI

Bukan Tutorial Move On Bagi Yang Patah

Bukan Tutorial Move On Bagi Yang Patah

15/05/2022
MotoGP Mandalika dan Dampak Positif Bagi Perekonomian NTB

MotoGP Mandalika dan Dampak Positif Bagi Perekonomian NTB

14/05/2022
Cegah Pungli dan Gratifikasi, Bapenda Bojonegoro mulai Terapkan Cashless

Cegah Pungli dan Gratifikasi, Bapenda Bojonegoro mulai Terapkan Cashless

14/05/2022
Serba Serbi Akhir Ramadhan Hingga Awal Lebaran

Serba Serbi Akhir Ramadhan Hingga Awal Lebaran

13/05/2022
Memahami Potensi Deglobalisasi Ekonomi

Memahami Potensi Deglobalisasi Ekonomi

12/05/2022
Filologi Turats Bojonegoro dan Enigma Masa Depan

Filologi Turats Bojonegoro dan Enigma Masa Depan

11/05/2022

Tentang Jurnaba - Kontak - Squad - Aturan Privasi - Kirim Konten
© Jurnaba.co All Rights Reserved

No Result
View All Result
  • HOME
  • PERISTIWA
  • KULTURA
  • DESTINASI
  • FIGUR
  • CECURHATAN
  • ALTERTAINMENT
  • FIKSI AKHIR PEKAN
  • SAINSKLOPEDIA
  • TENTANG
  • KONTAK

© Jurnaba.co All Rights Reserved