Satu alasan yang membuat Homo sapiens menjadi satu-satunya species manusia yang masih bisa bertahan hidup dan lolos dari kepunahan adalah kemampuannya membayangkan sesuatu yang tidak ada.
Barangkali, alasan yang diungkap Yuval Noah Harari dalam Sapiens: Brief History of Humankind (2014) itu memang benar. Keistimewaan manusia ada pada kemampuan mereka membayangkan sesuatu yang tak ada.
Mengenal dan belajar banyak dari Nirwan Ahmad Arsuka sekaligus belajar mengenali hidup dari Pustaka Bergerak, lalu mengenal teman-teman yang tidak bosan membahas buku-buku bacaan, dulu hanya mampu dia bayangkan.
Dia membayangkannya saat masih menjadi pemuda kesepian yang menenggelamkan diri dalam kamar kos selama berhari-hari sambil membaca buku-buku curian, hanya demi melawan gejolak hormon testosteron yang terus menggoda iman.
Dia membayangkan saat masih sering “mengamankan” buku ke dalam kaus dan diam-diam keluar dari ruang perpustakaan sambil menggendong hati yang deg-degan, seraya memohon ampun dan berkata dalam hati: “kelak akan ku kembalikan, meski bukan pada pemiliknya, setidaknya pada mereka yang membutuhkan”.
Dia berpendapat, buku yang tersimpan di perpustakaan umum, yang tak pernah dibaca dan hanya jadi pajangan belaka, kadang memang harus dibebaskan. Alasannya sederhana. Buku itu dibeli dengan uang dari rakyat. Lalu, kenapa masih ada rakyat yang sulit mengaksesnya?
Mengamankan buku menjadi giat pembebasan yang amat heroik: membebaskan buku dari cengkeraman penjara perpustakaan. Membebaskan buku agar bertemu pembaca, alih-alih memenjarakannya bersama debu dan kesunyian.
Tak heran jika semangat membaca buku curian jauh lebih tinggi dibanding membaca buku hasil beli. Sebab dia sadar, mencuri adalah perbuatan dosa, sedang membaca (iqra) adalah perbuatan mencari ilmu yang tentunya berpahala.
Dia dulu membayangkan, dosa-dosa akibat mencuri buku di perpustakaan umum — jika itu dianggap sebuah dosa — bisa jadi luntur atau berkurang nilai dosanya akibat buku itu dibaca. Sebab membaca merupakan kegiatan yang baik. Terlebih sangat ditekankan dalam perintah yang jelas: Iqra!
Saat membaca buku hasil curian, dia seperti menyaksikan dosa dan pahala bertempur mati-matian demi membela entah siapa. Dan saat itu terjadi, dia (kembali) memohon ampun karena telah mengadu domba dosa dan pahala untuk berkelahi.
Serupa Brandal Lokajaya yang mencuri beras untuk dibagi-bagikan pada mereka yang berhak menerima: fakir miskin, mencuri buku menjadi fase berbuat-dosa-baik yang pernah dia dan teman-temannya lakukan demi membebaskan hak buku untuk dibaca manusia, setidaknya dibaca dia dan teman-temannya.
Tapi, bagaimanapun juga, mencuri bukan perbuatan baik. Dia dan teman-temannya sudah tak pernah melakukannya lagi. Mereka punya prinsip: daripada mencuri, mending meminjam. Iya, meminjam. Meminjam yang tidak dikembalikan, tentu saja.
Karena itu, dia amat bersyukur ketika suatu hari, dia bertemu dan mengenal sebuah gerakan peradaban dan budaya yang oleh Nirwan Ahmad Arsuka, disebut sebagai Gerakan Balas Dendam Berskala Nasional — sesuatu yang dulu hanya dia bayangkan saja.
Balas dendam di atas, tentu sejenis pembalasan yang berkonotasi baik. Balas dendam yang lahir dari rasa peduli agar generasi berikutnya tak merasakan betapa susahnya mendapatkan buku-buku bacaan. Terutama saat sedang tak punya uang.
Sayangnya, dalam tulisan ini, dia tidak mau namanya disebutkan.
Saya sempat berpikir, sesungguhnya, masyarakat Indonesia bukan rendah minat bacanya. Yang ada, hanya sulit mengakses buku bacaan. Buktinya, Indonesia menjadi negara paling agresif dalam hal bermain medsos. Bukankah main medsos bagian dari membaca?
Mustahil seseorang bisa berlama-lama main ponsel tanpa terlibat proses pembacaan. Pasti ada yang dibaca. Itu sesungguhnya menjadi bukti bahwa manusia Indonesia rajin membaca. Tapi, kenapa hanya betah baca ponsel? Bukan baca buku?
Ya karena buku, sejak dulu, sulit diakses. Sehingga timbul mindset kolektif yang lama-lama membudaya menjadi konvensi bahwa buku itu sulit dijangkau. Buku itu sulit diakses. Buku itu jauh dan sulit didalami — sesuatu yang tidak terjadi pada ponsel karena kebetulan, ponsel menawarkan fungsi tambahan berupa alat komunikasi.
Kelak, ketika Gerakan Balas Dendam Berskala Nasional –— memudahkan akses baca buku secara nasional — telah menjadi mindset kolektif dan membudaya, barangkali banyak hal baik yang akan didapat. Sebab, ia tak hanya mengubah individu. Tapi mampu menyiapkan sekaligus mengubah peradaban.