Sampah adalah indikator kehidupan. Benarkah?
Problem sesampahan memang tidak ada habisnya. Sebab, jika sampah habis, berarti tidak ada kehidupan di muka bumi. Sampah adalah tanda adanya sesuatu yang dikonsumsi manusia. Kita daur ulang perspektif kita tentang sampah, yuk.
Nabs, sampah itu anak kandung dari perilaku konsumtif manusia lho. Udah tahu kan?
Nabsky yang budiman, saat pertamakali mendengar istilah sampah, pasti kamu bakal membayangkan sesuatu yang buruk dan kurang mengenakkan. Iya, sih. Itu benar. Tapi, pelan-pelan, kita juga harus mengubah perspektif tentang sampah.
Jika sampah masih menjadi hal buruk bagi kita, selamanya, sampah bakal jadi masalah. Tapi, jika dalam konteks tertentu, kita mengizinkan sampah untuk hadir sebagai salah satu mata rantai produksi-konsumsi, mungkin ia bisa membantu hidup kita.
Sampah hadir bukan tanpa alasan. Hanya, tidak semua manusia paham apa alasan sampah hadir di muka bumi. Tidak adanya sampah menunjukkan tidak adanya sesuatu yang kita konsumsi. Adanya sampah menunjukkan bahwa ada sesuatu yang dikonsumsi manusia.
Itu artinya, sampah adalah bukti masih adanya kehidupan. Namun, seperti halnya apapun di dunia ini, segala sesuatu yang berlebih bakal menimbulkan masalah. Dan masalahnya, jumlah sampah terlalu berlebih.
Berlebihnya jumlah sampah, tentu melahirkan masalah baru. Sampah yang awalnya bertugas memberi tanda akan adanya kehidupan, kini berubah menjadi monster menakutkan yang mampu mengundang banyak dampak buruk.
Banjir, penyakit, hingga berbagai macam gangguan alam seolah disebabkan oleh sampah. Padahal, inti dari permasalahan adalah jumlah sampah yang berlebih dan keberadaannya tidak bisa dikondisikan oleh manusia.
Andai manusia mampu mengkondisikan dan mengatur keberadaan sampah, atau bahkan mampu memanfaatkan kehadirannya, niscaya sampah tidak se-berbahaya dan se-tidakberguna itu kog.
Sebagai khalifatul fil ardh, manusia lebih pantas disalahkan daripada menyalahkan sampah. Sebab, manusia sendiri yang memproduksi sampah. Dan manusia sendiri yang tidak bisa mengatur dan mengkondisikannya.
Saking tidak perhatiannya kita pada sampah, sampai-sampai banyak testimoni buruk tentang sampah. Berbagai penelitian tentang sampah pun dilakukan. Lha gimana mau perhatian sama sampah, sama si dia aja kamu gak perhatian. Hmmm
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyebutkan, Indonesia merupakan penyumbang sampah plastik terbesar kedua yang sampahnya dibuang ke laut, setelah China.
“Indonesia merupakan negara penyumbang sampah plastik ke lautan terbesar kedua di dunia, sampah plastik sangat berbahaya,” ujar Susi dalam sebuah keterangan tertulis.
Dikutip dari CNN Indonesia, riset terbaru Sustainable Waste Indonesia (SWI) menunjukkan, sebanyak 24 persen sampah di Indonesia masih tidak terkelola.
Artinya, dari sekitar 65 juta ton sampah yang diproduksi di Indonesia tiap hari, sekitar 15 juta ton mengotori ekosistem dan lingkungan karena tidak terkelola. Sedangkan, 7 persen sampah didaur ulang dan 69 persen sampah berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Dari laporan itu diketahui juga jenis sampah yang paling banyak dihasilkan adalah sampah organik sebanyak 60 persen, sampah plastik 14 persen, diikuti sampah kertas (9%), metal (4,3%), kaca, kayu dan bahan lainnya (12,7%).
Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2016, produksi sampah per hari tertinggi berada di Pulau Jawa, khususnya Surabaya. Pada 2015, produksi sampah di Surabaya sebesar 9.475,21 meter kubik dan meningkat menjadi 9.710,61 meter kubik perhari di 2016. Ini Surabaya lho ya.
Kalau Bojonegoro, dari data Dinas Lingkungan Hidup (DLH) 2017, timbunan sampah yang ada di Bojonegoro mencapai 263,81 m3 /hari, atau 92,34 ton/hari. Dengan komposisi 171,49 m3/hari atau sebesar 65 persen berupa sampah organik. Dan 92,34 M3/hari atau 35 persen sampah anorganik.
Padahal, potensi sampah di Bojonegoro mencapai 4.500 m3 per hari atau setara 1.600 ton/hari, dengan asumsi setiap keluarga di bojonegoro rata-rata menghasilkan sampah 0,01 m3 per hari.
Itu yang terkelola dan di angkut ke TPA Bojonegoro lho, bagaimana dengan yang tidak terkelola? Sampah yang tidak terkelola, sebagian besar dibuang di sungai Bengawan Solo. Hmmm
Di luar kepadatan penduduk, tingginya produksi sampah sebenarnya disebabkan banyaknya industri yang berkembang di kota tersebut. Harusnya ini jadi kode bagus. Sebab, banyaknya sampah menunjukkan tingginya industrialisasi sebuah daerah. Dan tingginya industrialisasi daerah, dapat mengerek pendapatan pajak.
Tapi, lagi-lagi dan lagi-lagi, tingginya produksi sampah ternyata tidak diimbangi dengan volume sampah yang terangkut dan terkelola, Nabs. Sehingga, dampaknya, ya buruk terus.
Padahal, kita punya kesempatan untuk memperkecil dampak buruk lho. Dengan apa? Tentu dengan mengendalikan dan mengelola sampah agar dampaknya tidak buruk.
Yuk, kita kondisikan dan kelola sampah secara baik-baik. Iya, secara baik-baik. Kayak kamu pas mau pamit pulang dari rumah si dia itu lho. Pamit pulang secara baik-baik. Hehe