Pada masa VOC dan kolonial Belanda, Pemerintah melakukan politik segregasi antar golongan penduduk dan mengisolasi satu golongan dengan golongan yang lain agar mudah dilumpuhkan.
Tidak penting apa agama atau sukumu kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah tanya apa agamamu. Itu salah-satu pernyataan Gus Dur yang mungkin terlihat remeh, namun pernyataan tersebut memiliki maksud yang sangat dalam bagi urusan kemanusiaan.
Indonesia negara yang memiliki beragam etnis di dalamnya, salah-satu etnis yang berasal dari luar dan sudah menetap lama di Indonesia adalah Etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa adalah salah-satu etnis yang sudah sejak lama tinggal dan menjalankan aktivitasnya di Indonesia.
Menurut catatan sejarah, awal mula datangnya orang-orang Tionghoa ke Nusantara dapat ditelusuri sejak masa Dinasti Han (206 SM – 220 M). Pada masa itu, Tiongkok telah membuka hubungan perdagangan dengan negara-negara yang ada di kawasan Asia Tenggara.
Pada masa awal kependudukan Belanda di Nusantara, Gubernur Jenderal J. P Coen memberikan kemudahan bagi orang-orang Tionghoa untuk datang dan menetap di Batavia. Hal itu karena, orang-orang Tionghoa dikenal sebagai etnis pedagang, kedatangan mereka dimaksudkan untuk meramaikan kota Batavia yang pada waktu itu masih pada awal tahap pembangunan.
Pada masa VOC dan kolonial Belanda, Pemerintah melakukan politik segregasi antar golongan penduduk atau mencoba mengisolasi antara satu golongan dengan golongan yang lain.
Penduduk dibagi dalam tiga golongan, yaitu warga negara kelas satu yang terdiri dari orang-orang Belanda dan bangsa kulit putih umumnya. Sedangkan warga negara kelas dua yang terdiri dari Vreemde Oosterlingen yaitu orang India, Arab, Tionghoa dan orang-orang Timur Asing lainnya. Serta penduduk kelas tiga yang terdiri dari masyarakat Bumiputera. Tentunya hal tersebut dimaksudkan untuk mencerai-berai para penduduk agar tidak memberontak kepada pemerintah Kolonial.
Geger Pecinan yang terjadi tahun 1740 dapat dikatakan sebagai gerbang masuk praktik-praktik diskriminasi bagi orang Tionghoa. Pembantaian tersebut bermula disaat Gubernur Batavia Adriaan Valcknier menerapkan kebijakan untuk mengurangi penduduk Tionghoa di Batavia.
Hal itu dikarenakan pada waktu itu, di Batavia orang-orang Tionghoa yang ada sudah sangat besar jumlahnya bahkan mengalahkan jumlah orang-orang Belanda. Penduduk Tionghoa tersebut kemudian diangkut menggunakan kapal kedaerah koloni Belanda lainnya seperti Sri Lanka atau Afrika. Berhembusnya rumor mengenai orang Tionghoa yang dibuang ke laut sebelum tiba di daerah koloni memberikan kepanikan tersendiri bagi masyarakat Tionghoa di Batavia.
Kemudian pada perkembangannya, mereka menggabungkan diri dan melawan pemerintah Kolonial. Tetapi perlawanan mereka gagal dan kompeni berhasil mematahkan perlawanan mereka, selepas itu banyak dari mereka yang dipenjara, ditembak serta dipancung di alun-alun Batavia.
Tercatat 10.000 orang Tionghoa tewas dalam kejadian pembantaian tersebut. Setelah kejadian geger pecinan, pemerintah kolonial sangat ketat dalam mengontrol orang-orang Tionghoa.
Salah-satu kebijakan diskriminatif yang dijalankan adalah Wijkenstelsel. Kebijakan Wijkenstelsel adalah kebijakan pemusatan permukiman, pemerintah kolonial menempatkan orang-orang Tionghoa di permukiman khusus yang sekarang kita kenal dengan sebutan Pecinan.
Kebijakan ini dimaksudkan agar orang Tionghoa tidak lagi berinteraksi dengan penduduk Bumiputera sebab pemerintah Kolonial tidak menginginkan mereka bersatu. Di dalam wilayah ini orang-orang Tionghoa dipimpin oleh seorang opsir yang merupakan tangan kanan Belanda mereka ditugasi untuk mengawasi masyarakat Tionghoa.
Selain Wijkenstelsel pemerintah kolonial membuat peraturan baru yang diberinama Passenstelsel. Passenstelsel atau yang biasa dikenal dengan kartu Pass jalan adalah peraturan yang berlaku sejak tahun 1816. Dengan peraturan ini orang Tionghoa yang akan berpergian keluar daerah Pecinan diwajibkan memiliki kartu tersebut.
Selain menghambat perdagangan orang-orang Tionghoa, peraturan ini juga merupakan praktik-praktik diskriminatif lain yang dijalankan oleh pemerintah Belanda terhadap masyarakat Tionghoa.
Selain itu, pada masa kolonial juga terdapat kebijakan pelarangan orang Tionghoa untuk memotong tauchang (rambut belakang) yang fungsinya untuk memudahkan pemerintah kolonial dalam mengidentifikasi Ke-Tionghoa-an mereka.
Setelah Indonesia merdeka tahun 1945 ternyata praktik-praktik diskriminasi terhadap orang-orang Tionghoa masih berjalan. Hal itu dibuktikan disaat Presiden Sukarno mengeluarkan peraturan Pemerintah no. 10 tahun 1959.
Peraturan ini melarang orang Tionghoa untuk melakukan perdagangan di daerah pedesaan. Penulis menyadari bahwa ada itikad baik dari pemerintah orde lama dalam mengeluarkan kebijakan tersebut. Yakni agar penduduk Desa dapat berkembang tanpa ada intervensi dari pihak lain.
Namun di lain sisi, pemerintah orde lama secara tidak langsung juga melanggar kebebasan dari orang-orang Tionghoa dalam melakukan sebuah aktivitas.
Nasionalisasi perusahaan asing yang terjadi pada dekade 1950-1960an ternyata bukan hanya mengambil alih perusahaan-perusahaan milik orang-orang Eropa.
Namun perusahaan-perusahaan milik orang Tionghoa sedikit banyaknya juga terkena dampak dari kebijakan tersebut. Bahkan kebanyakan perusahaan-perusahaan tersebut diambil alih oleh Angkatan Bersenjata. Wajah diskriminasi terhadap etnis Tionghoa semakin nyata setelah terjadi gerakan G 30/S.
Gerakan kudeta yang gagal tersebut memberikan luka yang sangat mendalam bagi orang-orang Tionghoa yang ada di Indonesia. Banyak dari mereka yang dituduh sebagai simpatisan partai komunis yang kemudian dihukum tanpa peradilan atau bahkan dibunuh dengan keji.
Hal ini dikarenakan pada waktu itu Tiongkok daratan memang sedang mempraktikkan ideologi komunis. Sungguh paradigma yang keliru jika meposisikan semua orang Tionghoa berhaluan komunis.
Namun biarlah kejadian tersebut menjadi saksi pada pengadilan sejarah bahwa bangsa ini pernah sempat bodoh dan melakukan tindakan-tindakan keji demi tercapainya keserakahan akan jabatan.
Setelah jatuhnya Sukarno dari singgasana kePresidenan pada tahun 1967, jabatan Presiden diambil alih oleh Jenderal Suharto. Pada awal masa jabatannya, Presiden Suharto langsung mengeluarkan Inpres no. 14 tahun 1967.
Instruksi Presiden tersebut dengan gamblang memuat peraturan-peraturan yang sangat diskriminatif terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Instruksi tersebut berisi mengenai pelarangan-pelarangan peribadatan dan kebudayaan Tionghoa, peraturan tersebut dimaksudkan agar ritual keagamaan dan kebudayaan Tionghoa tidak dilakukan didepan umum serta hanya dapat dilakukan dilingkungan keluarga saja.
Tidak hanya itu saja, tahun 1978 melalui menteri kehakiman, pemerintah mewajibkan agar seluruh orang Tionghoa yang ada di Indonesia agar memiliki SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia). Surat ini nantinya berfungsi sebagai syarat untuk mengurus Ktp, Pasport, menikah bahkan mengurus kematian bagi orang Tionghoa.
Namun realitanya, orang Tionghoa yang akan mengurus surat tersebut masih dipersulit secara birokrasi. SBKRI merupakan praktik rasialisme dan diskriminatif yang pernah dilakukan orde baru kepada etnis Tionghoa. Bukan hanya itu, orang-orang Tionghoa di Indonesia pada waktu itu juga diwajibkan untuk mengganti namanya menjadi nama Indonesia.
SBKRI dan kebijakan pergantian nama tersebut bukan hanya merupakan praktik diskriminatif tapi juga merupakan ketidakpercayaan pemerintah orde baru terhadap nasionalisme etnis Tionghoa yang ada di Indonesia.
Depresi ekonomi yang terjadi di Asia pada akhir dekade 90an juga membawa dampak besar kepada Indonesia, yaitu jatuhnya rezim Suharto. Tuntutan reformasi yang terjadi di tahun 1998 merupakan reaksi terhadap langgengnya kekuasaan orde baru di Indonesia.
Pada waktu menjelang reformasi terdapat banyak sekali tragedi kemanusiaan yang terjadi di Indonesia. Salah-satunya adalah kekerasan seksual yang dialami oleh wanita keturunan Tionghoa di Indonesia.
Selain itu, ruko dan rumah-rumah milik orang Tionghoa juga banyak dijarah oleh massa. Setelah kejadian tersebut, banyak orang-orang Tionghoa yang pulang ke negara asalnya atau berpindah kewarganegaraan. Bahkan hingga sekarang etnis Tionghoa belum mendapatkan keadilan dari terjadinya peristiwa tersebut.
Setelah masa reformasi, praktik-praktik diskriminasi terhadap etnis Tionghoa mulai dihapuskan pada masa Presiden Aburrahman Wahid. Gus Dur yang merupakan tokoh dari organisasi Nahdlatul Ulama tersebut berani mendobrak praktik-praktik diskriminasi yang dijalankan sejak masa orde baru.
Peran Gus Dur dalam memerdekakan hak-hak dari etnis Tionghoa adalah dengan menghapus Inpres no. 14 tahun 1967 dan diganti dengan Keputusan Presiden no. 6 tahun 2000. Dengan dihapuskannya instruksi Presiden no. 14 tahun 1967, masyarakat Tionghoa mulai mendapatkan hak-hanya kembali sebagai warga negara. Mereka diperbolehkan melakukan upacara peribadatan dengan khusuk di muka umum.
Melalui jasa-jasanya terhadap etnis Tionghoa tersebut, kemudian Gus Dur diberi julukan sebagai Bapak Tionghoa Indonesia. Sebagai bentuk ucapan terimakasih kepada Gus Dur, kita dapat melihat disetiap Klenteng terdapat foto Gus Dur dengan memakai pakaian adat Tionghoa.
Gus Dur mengajarkan kita bahwa untuk menjadi seseorang yang adil kita harus menjadi orang yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap sesama. Karena sesungguhnya islam mengajarkan umatnya agar berbuat keadilan dan tidak mengeksploitasi sesama manusia.
Gus, kami rindu kepadamu, kami rindu kepada sesosok pemimpin yang menyelesaikan masalah dengan cara-cara yang humanis. Bangsa ini butuh orang-orang sepertimu gus yang dapat melihat manusia tanpa memandang agama maupun dari ras apa mereka berasal.