Tirto Adhi Soerjo merupakan tokoh besar dan sosok penting dalam dunia pers dan jurnalisme Indonesia. Kemarin, kami menziarahi makam keluarganya di Bojonegoro.
Sedari membuka halaman pertama roman Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer (Pram), kita langsung diajak kenalan dengan tokoh di dalamnya “Orang Memanggilku: Minke”. Sejak itu pula barangkali kita merasa akrab dengannya, seorang terpelajar pribumi di penghujung abad 19, yang mendambakan ilmu pengetahuan daripada budaya sembah sujud ala feodal Jawa.
Bisa mendapat pendidikan Eropa tentu bukan pribumi biasa, meski Minke masih saja menjadi bulan-bulanan temannya yang asli keturunan Eropa (totok), ataupun setengah Eropa (indo-Eropa) di sekolah menengah Hoogere Burgerschool (HBS) Surabaya.
Hal ini kontradiksi dengan ide pencerahan Revolusi Prancis yang ditanamkan sekolah Eropa, di sini justru melanggengkan diskriminasi dan kolonialisme.
Suatu ketika ia tiba-tiba dijemput paksa menuju Kota B oleh agen polisi, demi menghadiri pesta pengangkatan ayahandanya menjadi Bupati B. Benar saja, Minke salah seorang priyayi bahkan keturuan raja-raja Jawa.
Sambil sembah sujud secara terpaksa di hadapan ayahanda, ia diumpat habis karena tak membalas suratnya untuk pulang, terlebih Minke tinggal di rumah gundik, Nyai Ontosoroh, tak tahu jika ia menjalin asmara dengan putrinya, Annelies.
Namun ia tak peduli sama sekali dengan dunia priyayi, yang mudah sekali meraih jabatan mapan sebagai pegawai negeri sebagaimana saudara-saudarinya. Dalam hati ia berontak: “Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya”.
Siapakah sebenarnya sosok Minke?
Sehabis Bumi Manusia, maka kita perlu lanjut membaca Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, yang kesemuanya terangkai menjadi Tetralogi Buru. Meski siapa sosok Minke tiba-tiba telah terungkap dalam film Bumi Manusia, kala ayahanda memanggil nama aslinya: Tirto. Lalu teka-teki Kota B juga terjawab sudah, dari nama stasiun yang jadi latar film saat Tirto naik kereta dari Kota B hendak balik ke Surabaya, yakni Bojonegoro.
Minke tak lain adalah nama wadanan (ejekan) dari Tirto Adhi Soerjo yang disematkan gurunya sewaku di sekolah dasar Europeesche Lagere School (ELS), berakar dari kata monkey, yang artinya monyet. Meski dikatakan sebagai roman fiksi, tapi begitulah Pram kala menarasikan rasisme bangsa Eropa untuk terus menancapkan penjajahan terhadap rakyat pribumi.
Namun bukan berarti Pram cuma berkhayal belaka, lebih jauh ia berusaha mencacat kehidupan serta perjuangan Tirto berdasarkan data primer dalam karyanya, Sang Pemula.
Nama lengkapnya Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, yang lahir di Blora pada tahun 1880. Semasa bocah ia bernama Djokomono, lalu mengenyam pendidikan di sekolah dasar Belanda (tahun 1902 nama resminya ELS) di Bojonegoro.
Tirto adalah cucu Bupati Bojonegoro, yang dianugerahi bintang Ridder Nederlandsche Leeuw, bintang tertinggi sipil Kerajaan Belanda. Berkat jasanya yang mampu menaikkan pendapatan pajak secara fantastis, lalu meredam pemberontakan 40 serdadu Bugis, serta mampu sejahterakan rakyatnya dengan membudidayakan tembakau di lembah Bengawan Solo.
Ialah Raden Mas Tumenggung (RMT) Tirtonoto (Tirtonoto II, bupati ke-18 tahun 1878-1888), begitulah menurut Pram yang kemudian dirujuk oleh banyak tulisan. Namun hal ini berbeda dengan temuan lapangan saya saat berkunjung ke Makam Ridder di Jalan Teuku Umar Bojonegoro, yang dikenal Makam Lideran sebagaimana ucap Pak Bambang Sunaryo, juru kunci makam, sebagai sematan khusus untuk mengenang jasa bupati satu-satunya yang mendapat bintang Ridder.
Di sana yang bersamayam ternyata bukan makam RMT Tirtonoto, tetapi makam Kanjeng Raden Adipati (KRA) Tirtonoto (Tirtonoto I, bupati ke-17 tahun 1844-1878). Senada dengan pendapat ketua pengurus makam Kadar Juang Widodo (Mas Dodot), bahwa Tirto adalah cucu dari KRA Tirtonoto, berdasarkan silsilah yang disimpannya. “Karena saya sendiri juga keturunan Eyang Ridder (KRA Tirtonoto) dari jalur ibu” ujarnya sebagai keturunan kelima.
Kemudian berada di bawah cungkup yang sama, ada makam istri bupati, Raden Ayu Tirtonoto, yang wafat pada tahun 1888. Ialah sang nenek yang mengasuh Tirto selama sekolah di ELS Bojonegoro, sebagaimana tulis Pram, meski hanya sebentar tapi didikan sang nenek begitu berpengaruh pada kehidupan Tirto selanjutnya.
Berangkat dari sumpah serapah Raden Ayu terhadap Gubernur Jenderal Otto van Rees. Setelah bupati KRA Tirtonoto diberhentikan dengan alasan yang dibuat-buat, hanya karena tak mau berterimakasih atas karunia bintang Ridder, tak lama kemudian meninggal. Raden Ayu menagih haknya agar salah seorang puteranya diangkat jadi Bupati Bojonegoro, berlandasan PP fatsal 69. Tetapi Van Rees menolaknya, malah menawari tunjangan buat putera-cucunya.
Tentu saja Raden Ayu menolak tegas, karena niatnya tidak untuk meminta-minta. Ia berucap, “jika benar Pemerintah bersanggup begitu anak-cucu hamba akan hamba suruh mencari pahala dalam kemiskinan, artinya, tidak dengan pertolongan, hanya dengan tenaganya sendiri”.
Menurut Mas Dodot, selain neneknya, ibunda Tirto juga punya pengaruh yang tak kalah besar. Namanya Raden Ayu Tirtoprodjo sebagaimana plang di pagar makamnya yang sendirian di bawah cungkup, sebelahan kiri dari cungkup makam KRA Tirtonoto yang sekaligus sebagai ayahanda. Meski Pram sendiri hanya menyebut ayah Tirto, yakni R.Ng. Hadji Moehammad Chan Tirtodhipoero, seorang pegawai kantor pajak di Blora, dan sepertinya telah meninggal sejak Tirto kecil.
Setelah menghabiskan pendidikan di sekolah dasar ELS di Bojonegoro, Madiun, dan Rembang. Tirto langsung masuk ke sekolah dokter STOVIA di Betawi -sekarang jadi kampus UI di Salemba, Jakarta Pusat, yang jarang sekali dimasuki golongan bangsawan, karena kebanyakan lebih memilih sekolah calon pegawai negeri. Di sana ia baru bisa terlepas dari ikatan beserta aturan ketat keluarga ningrat-priyayi, sehingga bebas bergaul dengan seluruh lapisan rakyat pribumi.
Tak sampai lulus di STOVIA, ia menemukan ritme kehidupannya yang sadar akan semangat zaman. Sebagai seorang pemula pribumi di awal abad 20 dalam Dunia Pers dan Organisasi Serikat. Berangkat dari pengalamannya di koran-koran milik indo-Eropa, dengan modal pribadi beserta bantuan Bupati Cianjur, ia mendirikan Soenda Berita (SB) yang pertama kali terbit pada Februari 1903. Meski mandek pada tahun 1906 sewaktu ia mengembara ke Maluku, SB merupakan pers pribumi pertama.
Sehabis pulang, tak lama ia mendirikan surat kabar Medan Priyayi (MP) yang beredar mulai bulan Januari 1907. Selain memberi informasi, MP juga sebagai penyuluh keadilan, memberi bantuan hukum, mencarikan pekerjaan, menggerakkan dan memajukan bangsanya dengan organisasi, serta memperkuat bangsanya dengan usaha perdagangan.
Di tahun yang sama ia juga menerbitkan Soeloeh Keadilan, tahun 1908 menerbitkan Poetri Hindia, dan banyak surat kabar lainnya yang ia dirikan. Sehingga pantas bila Tirto Adhi Soerjo menjadi Bapak Pers Nasional.
Tak hanya itu saja. Sebelum Budi Utomo (BU) lahir pada 20 Mei 1908 yang lalu diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, yang sebetulnya berdasarkan wacana kolonial dan kita mengamininya. Tirto telah mendirikan organisasi Sarikat Priyayi (SP) pada tahun 1906. Meski mati muda, tapi wawasannya sudah melampaui jawa-sentris seperti halnya BU yang masih menggunakan bahasa Jawa, sedang SP telah menggunakan bahasa Melayu lingua-franca sebagai bahasa bangsa-bangsa terperintah.
Dengan kesadaran politik Tirto telah melawan kepentingan bangsa-bangsa yang memerintah. Walau demikian, ia sempat optimis dengan kelahiran BU, lalu ikut bergabung di dalamnya, bahkan menjadikan ruang terbitan MP sebagai kantor BU. Baru setahun BU sudah jatuh ke tangan angkatan tua ningrat-priyayi, banyak angkatan muda kemudian bubar barisan.
Tjipto Mangoenkoesoemo bersama Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) keluar dari BU, lalu bergabung dengan Ernest Douwes Dekker untuk mendirikan Indische Partij. Tirto sendiri ikut keluar dan mulai memperteguh kembali niatannya untuk membersamai rakyat pribumi, dalam dinamika pergolakan zaman kebangkitan nasional.
Dengan tekat juang Tirto kemudian menggagas Sarikat Dagang Islamiah yang resmi berdiri pada 5 April 1909. Dalam perkembangannya menjadi Sarikat Dagang Islam (SDI), lalu menjadi Sarekat Islam (SI). Dari serikat dagang menuju organisasi gerakan yang kemudian cepat merambat ke seluruh tanah Hindia, nama Tirto lagi-lagi terpendam oleh wacana kolonial.
Kalah tenar dengan sosok Hadji Samanhoedi, yang diamanati oleh Tirto menjadi ketua SDI Solo, sebagai cabang dari SDI Bogor. Sewaktu Tirto dalam masa pembuangan di Ambon pada akhir tahun 1913, akibat tulisan kritiknya dalam MP. Pucuk pimpinan SI menjadi rebutan, yang akhirnya Hadji Samanhoedi tersingkir oleh HOS Tjokroaminoto, lalu memindah kantor Central SI di Surabaya.
Sepulang dari tanah buangan, Tirto kehilangan Medan Priyayi bersama aset-asetnya, dan SI sendiri sudah lepas dari kendali dirinya, hingga ia wafat pada 7 Desember 1918 dalam usia sangat muda. Segala apa yang digagasnya untuk membangkitkan kesadaran nasional, telah melahirkan bangsa Indonesia pada Sumpah Pemuda tahun 1928, hingga tercetusnya revolusi kemerdekaan tahun 1945.
Namun jejak perjuangannya dialpakan sama sekali dan ikut terkubur secara paripurna bersama jasadnya di pemakaman Mangga Dua Jakarta. Selain kata-kata di batu nisannya setelah makamnya dipindahkan ke pemakaman Keluarga (Makam Tirtonan, menurut Mas Dodot) di Tanah Sereal Bogor : R.M. Djokomono Tirto Adhi Soerjo, Perintis Kemerdekaan, Perintis Pers Indonesia.