Cerita bermula saat kau pulang kuliah dan mager-mageran di atas kasur ditemani kipas angin yang selalu menggeleng-gelengkan kepalanya demi meniupi keringatmu.
Tampaknya, kipas angin menjadi benda yang selalu pesimistis dalam hidup. Ia selalu menggeleng. Tapi dengan gelengannya itu, ia justru lebih menyejukkan. Dan kau menikmati pesimisme kipas angin.
Entah apa alasannya, kau beranjak pergi meninggalkan kipas angin demi ngopi bersama teman-temanmu. Berdiskusi tentang filsafat, cinta, hidup dan mati. Iya-iya, namanya juga mahasiswa. Masak mbahas politik? Kayak pengangguran saja.
Ada banyak temanmu di tempat itu. Kau masuk dalam forum sebagai zombie yang sesekali ikut mendengar dan menanggapi, tapi sesungguhnya tak ada yang membuatmu merasa bersemangat.
Dengan ekspresi wajah yang datar, kau seruput kopi tenggak demi tenggak. Lalu berkata pada teman di sebelahmu jika kau sedang merasa kosong di dalam keramaian. Sontak, temanmu itu menanggapi:
“Hei, menemani itu soal waktu, melengkapi itu soal hati” katanya sambil makan gorengan, “meski banyak yang menemanimu, tak semua orang mampu melengkapi kekurangan serta keburukanmu” ucapnya mempertegas apa yang dia katakan.
Bagimu, mungkin itu kalimat yang bisa jadi menyejukkan sekaligus menenangkan hati. Namun ada yang ngganjel. Kau jadi ingat jika manusia adalah makhluk paling sempurna sekaligus paling banyak memiliki kekurangan.
Adzan magrib menghampiri telingamu. Kau ingat jika hari itu, ada janji bersama teman-teman baru di event Jazz Bengawan yang berlokasi di bawah Jembatan Sosrodilogo. Kau pun meninggalkan tempat ngopi menuju tempat yang lain lagi.
Sesungguhnya, kau tak pernah berminat pada musik jazz. Pengetahuanmu tentang musik jazz miskin sekali. Tapi, karena kau suka jazz jambu dan jazz sirsak, setidaknya kau tetap berangkat untuk menyaksikan festival Jazz Bengawan.
Kau hidupkan sepeda motormu. Lalu, berangkat menuju festival untuk menemui teman-teman barumu. Setelah melintasi jembatan dan sampai di sana, sambutan hangat menghampirimu: “parkir, parkir, parkir”.
Tanpa pikir panjang, kau pun menerima sambutan itu dengan senyum manis semanis gula — yang jika terlalu banyak dikonsumsi bakal kena diabetes — sambil mengarahkan muka ke arah pinggir jembatan.
Panggung berada di tepi sungai Bengawan Solo dengan latar Jembatan Sosrodilogo itu menimbulkan sensasi magis yang membuatmu ingat pada bermacam hal. Salah satunya, dia yang membuatmu patah hati.
Di sana, untuk pertamakalinya, kau bertemu dengan teman-teman barumu. Para senior yang amat cool sekaligus mistis. Di dekat mereka, kau merasa seperti anak kelas 1 STM yang sedang disidang anak kelas 3 STM. Pasrah dan penuh kekaguman.
Di dekat mereka, entah kenapa, kau merasa sangat terhibur. Sangat ditemani. Kau tak lagi merasa sedang patah hati sendiri. Kau merasa, orang-orang di dekatmu itu lebih patah hati dibanding dirimu.
Kau merasa malu menampakkan rasa patah hatimu di depan orang yang lebih patah dari dirimu. Dalam urusan mengelabuhi hidup, tampaknya kau harus banyak belajar dari mereka, batinmu.
Tiba-tiba kau ingat ucapan kawanmu saat ngopi tadi sore: menemani itu soal waktu, melengkapi itu soal hati. Teringat itu, kau langsung tertawa di dalam hati. Kau merasa ingin segera merobohkan jembatan, saking bahagianya.