Jika Anda punya bakat, lindungilah — Jim Carrey
Kalimat yang tertempel di belakang kaca sebuah mobil itu, secara tak sengaja saya baca saat sedang berhenti di sebuah pemberhentian bus. Lamat-lamat saya amati dan saya renungkan.
Sepintas, kalimat itu memang tak mencuri perhatian. Tapi, berpintas-pintas, tiba-tiba membuat saya teringat akan Antares— sebuah lingkar diskusi pemuda progresif yang kelak atau mungkin hari ini, sudah menjadi legenda suburban di kawasan Bojonegoro pusat.
Jika kau pernah mendengar kawasan Pasoepati Bojonegoro, Antares adalah penguasa tongkrongan tersebut. Pasoepati adalah sebuah sudut yang mempertemukan jalan Panglima Soedirman, Jalan Dokter Soetomo dan Jalan Untung Suropati Bojonegoro.
Yang jika digabung akan menjadi kata Pasoepati!
Dulu, kawasan itu, ada warung kopinya. Dan Antares adalah komplotan anak muda yang hampir setiap hari nongkrong di warung kopi Pasoepati. Hampir setiap hari pula, mereka menghabiskan waktu untuk nge-band, main futsal dan berdiskusi; nge-band, main futsal dan berdiskusi.
Dilihat dari ketidakjelasan hidup, Antares memang serupa gerombolan anak-anak Paisano dalam novel Dataran Tortilla. Bedanya, mereka tidak hidup di dataran tinggi Monterey, California. Melainkan di sudut tengah Kota Bojonegoro.
Tak ada yang punya tujuan hidup jangka panjang di Antares. Tujuan hidup mereka hanya hari ini. Urusan besok dipikir lagi. Asal hari ini bisa makan dan main futsal dan berdiskusi soal buku-buku yang tak jelas maksudnya, hidup sudah dianggap sangat sempurna.
Antares sekumpulan anak muda berbakat dalam bidang bermusik, berolahraga dan berdiskusi (sesungguhnya juga ceramah agama). Tapi, karena banyaknya bakat yang mereka miliki, alih-alih menyadari, tak ada satupun benefit yang mereka dapat dari bakat-bakat luar biasa itu.
Mengenang Antares, membuat saya tiba-tiba kepikiran soal bakat. Bagaimana bakat bisa mengawal garis hidup manusia. Tapi juga bisa sebaliknya: tak berdampak apa-apa; terabaikan, dan bahkan lupa jika pernah punya bakat.
Anak-anak Antares, misalnya, hampir semua punya bakat dalam hal main bola. Hampir semua pula, punya bakat dalam hal bermusik. Amat ahli bermain bola. Dan amat terampil memainkan musik. Tapi, hampir semuanya juga, tak ada satupun yang hidup dan sukses dari sepakbola maupun bermusik.
Barangkali Jim Carrey benar. Bakat merupakan anugerah yang harus dilindungi. Dan saya mengira, tak ada satupun anak Antares yang melindungi bakat mereka.
Itu terbukti dengan tak ada satupun dari para pemuda hebat itu yang berkarir di jalur olahraga maupun musik. Dan saya tahu karena sialnya, saya bagian dari mereka.
Tapi, Rasa Percaya Diri lebih penting daripada Bakat
Saya sempat kaget ketika membaca sebuah penelitian yang mengatakan jika yang lebih penting dari bakat adalah rasa percaya diri. Penelitian yang dilakukan Sekolah Bisnis Universitas California Berkeley itu menemukan bahwa kunci keberhasilan dan kesuksesan ada pada kepercayaan diri. Bukan dari bakat.
Bahkan, Forum Ekonomi Dunia juga pernah menegaskan bahwa hanya mereka yang memiliki tingkat kepercayaan diri tinggi, yang berpotensi memiliki kesuksesan lebih besar dibanding dengan teman-teman mereka, tak peduli betapapun besar bakat yang dimiliki.
Saya membenarkan dalam hati. Semua anak Antares tak ada satupun yang memiliki rasa percaya diri tinggi. Mereka hebat, keren dan memiliki bakat luar biasa. Tapi, alih-alih percaya diri, mereka justru slengean dan tak pernah serius pada hidup.
Di lain sisi, saya menyaksikan banyak sekali orang-orang yang sesungguhnya tak punya bakat apa-apa, tapi justru lebih dikenal dan sukses hanya bermodal percaya diri dan muka tebal sekaligus hati yang betah digojloki.
Pada akhirnya, bakat memang akan kalah oleh rasa percaya diri. Logikanya: mereka yang berbakat tapi tak percaya diri, tak akan ada yang menangkap sinyal bakat mereka. Sedang mereka yang tak punya bakat tapi punya rasa percaya diri tinggi, akan terus belajar meski tak kunjung berbakat — yang penting eksis.