Kalau kata Jean-Paul Sartre, mengendalikan emosi itu serupa bermain sandiwara. Gimana itu ya?
Hari pertama puasa adalah hari penyesuaian. Kamu yang biasa sarapan pagi, mohon maaf nih, sarapannya diajukan dini hari ketika sahur.
Jangan lupa, satu bulan ke depan, tidak ada jam makan siang. Kita undur makan siang di waktu buka, yakni ketika bedug di masjid sudah dipukul. Sabar, Nabs, kita pasti kuat!
Puasa identik dengan menahan diri dari hawa nafsu. Baik nafsu makan maupun yang lain. Tentu saja yang paling kelihatan adalah nafsu makan dan minum dan rasan-rasan ya, Nabs?
Ketika puasa, tubuh kita tidak menerima asupan makanan seperti biasanya. Hal ini yang kemudian membuat tubuh terasa lemas dan tidak berdaya.
Selain menimbulkan rasa lemas, puasa juga seringkali membuat kita cepat marah. Ini karena otak tidak cukup menerima glukosa, sedang glukosa sendiri berfungsi, salah satunya, untuk mengontrol tempramen kita.
Jangankan ketika puasa, di waktu hari biasa dan kita sedang lapar, kita jadi lebih cepat marah kan ya — Laper-bikin-cepet-baper. Waduh jangan marah-marah dong. Biar kebaikan puasa dapat kita petik, jadi bukan hanya laparnya saja yang terasa.
Untuk mengontrol emosi, Jean Paul Sartre, Filsuf Perancis yang terkenal dengan eksistensialisme-nya, punya cara mengatasi. Dalam bukunya yang berjudul The Theory of Emotion, Sartre mencoba mendefinisikan kembali teori emosi.
Menurut Sartre, emosi adalah cara intensional dan strategis untuk berdamai dengan keadaan yang sulit. Ketika sedang emosi, secara sadar, kita menginginkan segala sesuatu di dunia ini sesuai dengan apa yang kita inginkan. Jadi, menurut Sartre, ini adalah permainan sandiwara yang kita percayai.
Untuk mengendalikan emosi, yang harus kita ubah adalah permainan sandiwara itu sendiri, sehingga mampu membuat diri kita percaya bahwa hal tersebut tidak bermakna apapun.
Maksudnya bagaimana sih? Untuk memahami pemikiran filsuf yang agak ruwet bagi kita ini, Sartre memberikan contoh sebuah kasus.
Ketika dia mengangkat tangan untuk mengambil buah anggur, namun kemudian tangannya tidak menjangkau, ia mengatakan pada dirinya sendiri, “buah itu terlalu hijau,” ucap Sartre sambil berlalu.
Itu berarti yang harus diubah adalah persepsi kita mengenai hal tersebut. Anggur itu semula menampilkan diri sebagai ‘siap dipetik’, namun pesona yang menarik Sartre untuk memetiknya itu, seketika tidak bisa ditoleransi ketika ia tak mampu menjangkaunya.
Sehingga, yang ia lakukan — untuk berdamai dengan keadaan — adalah dengan mencari hal lain dari anggur tersebut, “terlalu hijau” misalnya. Untuk memudahkan pemahamanmu, kau bisa mengubah contoh buah “anggur” dengan sesuatu yang lain.
Seseorang yang semula menampilkan diri sebagai sosok “siap diajak”, namun pesona yang membuatmu ingin mengajaknya menikah itu, seketika tak bisa ditoleransi ketika si dia tak mampu kau jangkau.
Sehingga, yang —harus— kau lakukan, untuk berdamai dengan keadaan, adalah mencari ihwal lain dari si dia tersebut. “terlalu hijau” dan kurang matang, misalnya.
Kalau kata Sartre, ini hanya permainan sandiwara saja. Kita diyakinkan bahwa hal tersebut menarik atau penting untuk dilakukan, tapi begitu kita tidak mampu mendapatkannya, timbulah emosi.
Sepanjang kita mampu berdamai dan meyakinkan diri bahwa hal tersebut tidak menarik dan tidak penting untuk dilakukan, maka kita tetap bisa menguasai diri.
Misalkan nanti kamu hendak membeli es buah di depan SMKN 1 Bojonegoro, namun kemudian menemui antrean yang panjang. Sialnya, begitu tiba giliranmu, es buah itu ternyata sudah habis.
Kamu hanya cukup berkata pada dirimu sendiri, “es buah hari ini tidak begitu enak. Bagaimana dengan es degan dekat Taman Makam Pahlawan?” Menawarkan alternatif lain juga bisa menjadi cara untuk berdamai dengan keadaan lho.
Atau ketika hendak membeli pentol “wayahe wayahe” dan ternyata penjualnya lagi mudik, coba saja bilang ke diri sendiri, “kayaknya pentol Cak Bokir jauh lebih enak deh.”
Kamu bisa langsung belokkan motormu ke Taman Rajekwesi atau di pertigaan Jl. Patimura untuk menemuinya. Maka Cak Bokir akan menyambutmu dengan goyangan tangan ala Prabowo ketika debat capres dulu. Hihi
Kita tidak perlu emosi. Tidak perlu marah-marah atas hal kecil semacam pentol atau es buah saja. Ibadah kita jauh lebih berarti dari itu semua. Tidak mau kan pentol seplastik merusak puasa seharian?
Sudah berjuang menahan lapar seharian, eh hikmah puasa tidak didapat. Ini seperti sudah berjuang buat si dia mati-matian, eh dia-nya pilih yang lain karena kita nggak sabaran. Emaneeee…