Kita berangkat dari hal yang begitu sederhana menjadi yang lebih kompleks. Dari tiga menjadi tujuh, dan menjadi lebih banyak lagi, dan itu bukan perkara yang selalu akan berdampak tidak baik.
Belakangan, banyak muncul kelompok-kelompok baru di dalam masyarakat. Baik kelompok berbasis keagamaan, kelompok berbasis orientasi seksual, kelompok berbasis aliran kesenian tertentu, dan banyak lainnya.
Tidak sedikit dari kelompok-kelompok tersebut yang mendapatkan resistensi di dalam masyarakat. Entah karena dianggap menyalahi kaidah-kaidah yang disepakati oleh umum kebanyakan, atau karena sebab lainnya.
Nabsky, banyak dari kita seringkali menjadi salah satu orang yang kemudian melakukan perlawanan terhadap munculnya kelompok-kelompok baru ini.
Bahkan beberapa dari kita mungkin secara sadar maupun tidak telah turut mengekang kebebasan orang lain untuk berkumpul, berserikat, dan menyatakan pendapat. Alasannya mengapa? Sederhana.
Kita menganggap bahwa yang mereka percayai adalah hal yang salah. Padahal, Nabs, kebenaran itu tidak tunggal. Jika manusia bersifat hanif, yang bisa pula diartikan menuju kebenaran. Maka sesungguhnya kita sedang tidak memiliki kebenaran itu.
Kita hanya sedang dalam perjalanan untuk mendapatkannya. Dan jalan menuju kebenaran itu berbagai macam jalurnya.
Dan, Nabs, jika kita belajar filsafat, maka kita tahu bahwa kebenaran yang ada di muka bumi ini tidak bersifat absolute, tidak abadi, tidak saklek.
Ingatkah kita pada pelajaran geografi, atau barangkali pernah disampaikan dalam pelajaran sejarah atau mungkin fisika, bahwa kita pernah ada pada masa ketika bumi dianggap sebagai pusat dari tata surya atau geosentris.
Kepercayaan tersebut diyakini sebagai suatu kebenaran selama bertahun-tahun, sampai kemudian masyarakat kita mengenal hukum baru yakni heliosentris.
Mengutuki hal-hal baru yang muncul di sekitar kita bisa jadi menutup jalan bagi kebenaran untuk masuk. Habermas, salah satu pemikir Frankfurt yang menuntaskan proyek teori kritis, mengajarkan pada kita untuk terus berpikir kritis.
Skeptis pada kebenaran-kebenaran yang telah saklek, yang telah mapan dan nyaman menjadi kepercayaan banyak orang pada umumnya. Itulah dogma yang menguasai umat manusia, termasuk salah satunya adalah rasionalitas yang digaungkan, yang disebut Habermas sebagai dogmatisme model baru.
Waduh, Nabs, jangan-jangan kita telah terjebak pada cara berpikir yang rasional hingga lantas mengabaikan hal-hal lain dalam diri kita sebagai manusia?
Ingatkah kita pada pelajaran Fisika yang begitu dasar? Ketika SMP dan guru kita membahas tentang warna, yakni pengalaman indera penglihatan kita dalam menangkap cahaya yang dipantulkan oleh benda-benda.
Jika ada yang bertanya, berapa banyak warna yang kita ketahui? Maka jawabannya adalah banyak sekali. Bukan hanya 7 warna pelangi, tapi banyak sekali, dan untuk itu pula saya juga susah menyebutkannya.
Tapi berapa warna yang menjadi dasar? Salah. Bukan 7, melainkan 3. Tiga warna tersebut adalah cyan (biru muda), kuning, dan magenta.
Percampuran dari warna-warna itulah yang kemudian menghasilkan 7 warna pelangi yang kita kenal. Cyan dengan kuning akan menghasilkan hijau, kuning dengan magenta akan menghasilkan merah, magenta dengan cyan akan menghasilkan biru. Dari percampuran tersebut warna masih berkembang lagi menjadi ungu, cokelat, dan lain sebagainya.
Artinya kita berangkat dari hal yang begitu sederhana menjadi yang lebih kompleks. Dari tiga menjadi tujuh, dan menjadi lebih banyak lagi, dan itu bukan perkara yang selalu akan berdampak tidak baik.
Warna-warna baru itulah yang memudahkan kita untuk mendefinisikan berbagai macam perbedaan, dan itu adalah hal yang lumrah, sah-sah saja.
Sebagaimana kelompok-kelompok baru yang kemudian muncul di tengah-tengah masyarakat. Hal tersebut bisa jadi tidak buruk, sehingga tidak perlu untuk buru-buru menghakimi dan lebih-lebih membubarkannya.
Inilah yang terjadi pada bangsa kita belakangan, yang cepat sekali mengatakan kelompok lain sebagai kelompok yang salah, ide lain sebagai ide yang salah, dan aliran lain sebagai suatu kesesatan.
Coba saja kita mau mengesampingkan ego untuk merasa paling benar dan memasang telinga lebih banyak, mungkin akan ada hal baru yang bisa kita dapatkan.
Lahirnya kelompok-kelompok baru, aliran-aliran baru tersebut sesungguhnya tidak memecah persatuan, justru terkadang sikap yang kita ambilah yang berkemungkinan besar menjadi sebab retaknya persatuan umat dan bangsa.
Tiga warna yang saya katakan sebagai warna dasar tadi berkembang menjadi tujuh, menjadi banyak, dan retina mata kita merespon itu semua dengan baik, dan untuk itulah kita mampu melihat pelangi selepas hujan, saat cahaya menerobos masuk dan terbiaskan.
Maka sesungguhnya, itu pula yang terjadi ketika perbedaan bisa kita respon dengan lebih baik.