Berbuat baik itu tidak harus selalu besar. Kebaikan bisa diawali dari hal-hal kecil. Dimulai dari lingkungan di sekitar. Misalnya membiasakan membuang sampah pada tempatnya. Atau memungut sampah di jalan saat kita melintas.
Prinsip sederhana ini dipraktekan oleh Huzairin Assaddiqi. Pemuda di Desa Karangagung, Kecamatan Palang. Sebuah desa pesisir di pantai utara Kabupaten Tuban yang padat penduduk. Desa yang dikenal sering mendapat sorotan karena masalah sampahnya.
Bagi Huzairin, desanya ini sudah darurat sampah. Bayangkan, lebih dari 5 ton sampah setiap hari dihasilkan di desa itu. Parahnya, warga tidak disiplin membuang sampah ke tempat penampungan sampah. Belum lagi urusan buang air besar sembarangan yang sangat memprihatinkan.
“Orang-orang tua sini mengibaratkan Desa Karangagung seperti pasar. Banyak sampah. Masyarakatnya juga punya karakter pedagang,” tutur Pemuda kelahiran 1996 yang biasa disapa Zair itu.
Bermodal pengalaman organisasi di Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Ranting Karangagung, saat usia 18 tahun Zair mengajak teman-temannya mengelola sampah. Bukan untuk bisnis rosok, tapi dia kembangkan untuk memberi edukasi kepada masyarakat. Harapannya, bisa menanamkan budaya mengelola sampah sejak dari rumah.
Baca juga: Arumi Bachsin Pimpin Sosialisasi Pengolahan Sampah di Bojonegoro
Pada 2015 Zair mendirikan Dzusan Community. Melalui komunitas ini dia mengajak anak-anak generasi millennial di Desanya untuk bergerak melakukan sesuatu di lingkungan.
“Komunitas ini awalnya hanya sebuah celetukan dari kawan-kawan untuk mengingat bahwa kita pernah punya satu cita dan satu pembelajaran diskusi dimana pun berada,” ucapnya.
Dia menambahkan, komunitas ini menjadi wadah kader-kader muda di desanya untuk berekspresi dan berkontribusi di lingkungan. Ada kader yang dibina secara khusus, ada juga kader jalanan. Komunitas yang diharapkan mampu mendengarkan wawasan dan cita-cita anggotanya.
“Dzusan bermakna keharmonisan, pemberani, siap untuk berubah dan mengubah,” tandasnya.
Baca juga: Mendaur Ulang Perspektif tentang Sampah
Persoalan sampah menjadi prioritas bagi kerja komunitasnya. Targetnya diawali dengan edukasi kepada masyarakat. Zair bersama kawan-kawannya berkeliling dari warung ke warung, dan tempat-tempat ngumpulnya warga.
“Kami melakukan aktivitas edukasi secara non formal, mengenalkan untungnya memilah sampah,” ucapnya menjelaskan.
Menyadari bahwa figur non formal sangat berpengaruh di masyarakat, Zair menggandeng para ulama dan tokoh masyarakat lokal. Kepada ulama, Zair meminta fatwa haram prilaku membuang sampah sembarangan.
“Bahasa kasarnya, diperlukan propaganda gerakan persampahan di ranah keyakinan atau agama,” jelasnya meyakinkan.
Untuk menambah nilai jual gerakannya, dia mulai mengembangkan pengolahan sampah organik. Menghimpun dan mengelolah sampah organik menjadi berbagai produk seperti pupuk padat, pupuk cair, pakan ternak, pakan lele, obat semut, dan lain-lain.
“Kami mendatangi dan belajar kepada para penggerak bidang organik yang sudah lama berkecimpung dan memiliki banyak pengalaman serta inovasi di bidang ini,” katanya.
Berbekal ilmu tersebut, Zair dan kawan-kawan terus berpraktek dan mencoba berbagai cara dan produk baru tentang pengelolahan sampah organik. Inovasi dan kegigihan mereka mendapat apresiasi dari Pemerintah Kabupaten Tuban. Alhasil, Zair sering menjadi pemateri dalam berbagai pelatihan di tingkat kabupaten.
Untuk memperkuat jaringan, Zair bersama komunitasnya secara rutin melakukan pendekatan ke dinas-dinas terkait di tingkat Kabupaten Tuban. Dia juga terus menjalin kerja sama dengan para pengusaha tanaman. Menjalin mitra dengan organisasi-organisasi kepelajaran dan kepemudaan.
“Kami juga membangun kerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan,” pungkasnya.
Semangat Zair boleh jadi ada di dalam diri para pemuda, kaum milenial. Namun tidak semua berbuah aksi konkret. Kepedulian pemuda pantura terhadap sampah di pesisir ini patut ditiru. Persoalan sampah adalah tanggung jawab kita bersama. Mulai dari yang sederhana. Mulai sekarang juga.