Masalah jarak akibat pandemi Covid-19 tak membuat giat setor hapalan Quran para santri Ponpes Ar-Ridwan Bojonegoro terhenti. Sebuah bukti bahwa setiap masalah bisa terus disiasati.
Hampir 4 pekan ini, kegiatan belajar mengajar para siswa sekolah telah dirumahkan — dihelat jarak jauh secara online. Kegiatan yang awalnya asing bagi siswa sekolah tersebut, akan terasa biasa dengan sendirinya.
Tapi, bagaimana dengan sekolah yang menyertakan hapalan (Tahfidzul Qur’an) sebagai bagian dari kurikulum wajibnya? Bagaimana para guru mengawal hapalan para santrinya?
Masalah tersebut, tentu dihadapi sebagian besar sekolah-sekolah berbasis pondok pesantren Tahfidzul Qur’an di manapun berada. Tak terkecuali, SMP Plus Ar-Ridwan Bojonegoro yang menyertakan Tahfidzul Qur’an sebagai bagian penting dalam kurikulumnya.
Dalam hari-hari biasa, para santri Ar-Ridwan Bojonegoro setor hapalan sebanyak 3 kali; hapalan baru sekali, dan murojaah hapalan sebelumnya sebanyak 2 kali. Kegiatan tersebut dilakukan hampir setiap hari, kecuali Sabtu dan Ahad karena libur.
Adanya wabah Covid-19 mengharuskan para santri untuk pulang dan belajar di rumah. Tentu saja, itu sangat berdampak pada kegiatan hapalan para santri. Selain sulit mengawal hapalan, juga sulit mempertahankannya.
Untuk menyiasati jarak akibat pandemi, para pendamping tetap memantau dan mengawal hapalan para santri melalui buku komunikasi dan setoran lewat video call. Sehingga, selain tetap berhubungan jarak jauh, hapalan bisa terus terkawal dengan baik.
Salah seorang guru SMP Plus Ar-Ridwan, Ahmad Burhan Faishol menyatakan, selain tetap menyetor hapalan, para santri juga mengisi buku komunikasi. Yakni buku yang isinya mencatat kegiatan para santri saat di rumah, layaknya saat berada di pondok.
“Misal santri sudah jamaah atau mengaji atau bahkan bantu orang tua di rumah, berarti ada yang dicontreng di buku tersebut,” kata dia.
Adanya buku komunikasi, kata dia, memang mempermudah orang tua di rumah mengawal anaknya. Sehingga kegiatan-kegiatan yang sudah terbiasa dilakukan di pondok, bisa tetap dilakukan dan dikawal orang tua saat berada di rumah.
Sedang untuk setoran hapalan, biasanya santri melakukan video call pada sore hari. Antara pukul 16.00 sampai 19.00. Santri yang sudah siap, kata Faishol, akan mengkonfirmasi kesiapan pada guru pendamping hapalan. Sehingga guru bisa langsung menghubunginya.
Faishol menjelaskan, setoran tahfidz jarak jauh memang membantu mengawal hapalan para santri. Tapi, bukan berarti hal itu tanpa kendala. Kendala utama adalah sinyal dan kuota internet. Sebab, santri tak hanya di dalam kota. Tapi juga di pelosok-pelosok desa.
Hadirnya Covid-19 yang memaksa kegiatan belajar mengajar harus dilaksanakan jarak jauh, memang menjadi sebuah masalah. Lalu masalah itu bisa diatasi dengan hadirnya teknologi, dalam hal ini sinyal internet.
Namun solusi internet melahirkan masalah baru berupa kondisi sinyal dan keterbatasan kuota.
Sehingga disadari atau tidak, hukum kehidupan berupa siklus “masalah-solusi-masalah baru-solusi baru-masalah lagi” tetap harus dilalui dengan beragam cara demi menemukan solusi, untuk kemudian terbentur masalah lagi.
Ya, tanpa sebuah masalah, manusia tak akan pernah menjadi spesies yang cerdas. Kecerdasan manusia adalah respon dari sebuah permasalahan. Itu alasan kenapa hewan tak pernah punya masalah.
Dan sepertinya, selama masih hidup, manusia akan terus menyimpan dan berhadap-hadapan dengan masalah. Sebab sesungguhnya, diam-diam Sang Pencipta juga meletakkan ilmu di balik setiap masalah.
Hadirnya Covid-19 memang jadi masalah bagi semua orang di semua lini kehidupan. Tapi, bisa jadi, kelak permasalahan ini akan melahirkan kecerdasan-kecerdasan baru. Siasat-siasat baru. Ilmu-ilmu baru yang mustahil muncul tanpa adanya sebuah permasalahan.
Contohnya: masalah physichal distancing akibat pandemi Covid-19 tak membuat kegiatan setor hapalan para santri Ponpes Ar-Ridwan Bojonegoro berhenti. Sebuah bukti bahwa tiap masalah akan terus bisa disiasati.