Bojonegoro memiliki museum hewan purba. Lebih tepatnya, museum fosil hewan purba. Museum bernama “13” itu memiliki jumlah koleksi mencapai ribuan.
Lelah begitu tampak di wajah Heri Nugroho. Kelopak matanya terlihat memerah. Dengan rambut terurai angin, ia bergegas memarkir sepeda motor dan menemui tim Jurnaba.co yang sudah menunggunya di depan ruang museum.
Knalpot sepeda motornya masih sangat panas. Ia baru saja pulang dari Padangan. Mengantar sejumlah majalah pada salah seorang kawan budayawan yang ada di sana.
Meski lelah, Heri tampak antusias dan mempersilakan Jurnaba.co memasuki ruang museum. Tak hanya mempersilakan masuk, ia juga banyak bercerita perihal museum yang telah bertahun-tahun ia rawat itu.
Museum 13 terletak di Jalan Surabaya-Cepu. Lebih tepatnya di Desa Panjunan Kecamatan Kalitidu. Museum itu, berada di dalam lokasi sekolah dasar. Bahkan, ruang tempat memampang koleksinya, adalah ruangan kelas.
Museum 13 merupakan salah satu —untuk tidak mengatakan— satu-satunya museum terlengkap di Bojonegoro. Tak hanya lengkap, tapi juga ditata beserta kelengkapan data. Baik nama, kategori, hingga waktu penemuan.
“Bukan arkeologi maupun geologi, ini museum paleontologi atau fosil hewan purba,” kata Heri menjelaskan.
Heri menjelaskan, meski ada berbagai jenis benda purba, Museum 13 fokus pada kategori hewan purba. Ada ribuan fosil hewan purba tertata dan terawat rapi di sana.
Jumlah itu, menurut Heri, belum termasuk dua mobil fosil hewan purba yang pernah dihibahkan ke Unair Surabaya beberapa tahun lalu. Penyebabnya, ruangan tak mampu lagi menampung koleksi.
Dengan penuh detail, Heri menjelaskan sejumlah klasifikasi yang ada di dalam Museum 13. Secara umum, Museum 13 berisi koleksi dengan jenis vertebrata, molusca dan geologi (batu2). Sementara yang arkeologis hanya tambahan. Meski begitu, paling dominan tentu fosil purba.
Ada banyak fosil hewan purba terdapat di Museum 13. Dengan usia paling tua, fosil kerbau 400 ribu tahun lalu. Ditemukan di teras Bengawan Solo. Tepatnya di Desa Kliteh Kecamatan Malo. Sedangkan koleksi fosil dengan usia termuda, adalah fosil rusa 250 tahun lalu.
Tidak hanya mengumpulkan dan mengoleksi, dia juga melakukan perawatan serius. Cara perawatannya, dibersihkan menggunakan aseton, paraloid hingga alkohol.
“Itu sewaktu-waktu dirawat dan dibersihkan, biar tidak rusak dan berdebu,” katanya.
Heri menjelaskan jika menentukan usia fosil bukan perkara sederhana. Harus diuji karbon. Biayanya pun mahal. Tiap satuan fosil, berbiaya Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta.
“Itu harga resmi di Badan Geologi atau ITB. Di luar itu, tentu lebih mahal,” imbuh dia.
Angka 13 yang Bukan Angka Sembarangan
Heri mendirikan Museum 13 pada 1989. Sekitar 30 tahun lalu. Ia masih ingat, pertamakali menemukan fosil gigi dan kaki gajah. Itu benda paleontologi pertama yang dia temukan.
Kecintaannya pada dunia paleontologi terbentuk secara otodidak. Waktu itu, dia sedang mencari batu akik. Dan tidak sengaja, ketemu fosil gajah. Sejak saat itu, dia serius menekuni dunia paleontologi. Tidak hanya menekuni, tapi juga belajar tiada henti.
Heri menamakan museum yang dia rawat itu dengan nama yang cukup seram: Museum 13. Angka 13 memang identik angka sial dan menyeramkan. Namun sebenarnya, nama itu tak seseram anggapan orang.
Bagi Heri, 13 adalah inti dari semesta. Bahkan, dia memaknai angka 13 sebagai sirkulasi kehidupan. 13 bagi Heri dibentuk dari angka 1 dan 3. 1 adalah Tuhan dan 3 adalah (lahir, hidup dan mati).
Heri menceritakan, dulu, Museum 13 awalnya berada di kamar rumahnya. Karena koleksi semakin banyak, pada 1992, ia merombak ruang WC menjadi ruang simpan koleksi. Baru pada 2013, ribuan koleksi itu dipindah ke tempat yang saat ini.
Ketelatenan Heri mengumpulkan dan merawat ribuan fosil hewan memang membikin kagum. Bahkan, ia juga dapat perhatian dari Museum Purbakala Sangiran Sragen dalam giat konservasi bersama.
Heri termasuk sosok pembelajar. Di usia cukup senior, semangatnya mempelajari dunia paleontologi tetap membara. Bersama Museum 13, ia menjalin jaringan dan kerjasama dengan sejumlah lembaga-lembaga besar di luar kota.
Dia sering menjalin kerjasama bersama ITB Bandung, Museum Geologi, UPN Yogyakarta, Unair Surabaya dalam hal observasi dan mencari bukti materi sekaligus pemetaan lapangan.
Dari kerjasama tersebut, Heri mengaku mendapat banyak ilmu baru. Selain ilmu, juga mendapat bantuan berupa peralatan pelengkap museum seperti palu geologi, peta topografi, peta geologi, kompas geologi hingga panel pertisi.
Nggladak, Proses Mencari dan Misi Penyelamatan
Heri memaknai proses pengumpulan fosil purba tidak semata-mata mengoleksi. Lebih dari itu, ada misi penyelamatan yang sedang ia emban. Sebab baginya, Bojonegoro memiliki banyak fosil purba.
Sialnya, benda-benda itu banyak hilang karena dijual bebas. Padahal, generasi penerus harus tahu betapa kayanya Bojonegoro akan fosil purba. Atas alasan itu, ia pun tergerak membangun museum.
“Harus diselamatkan agar tidak dijual para ‘kolekdol’. Sehingga generasi penerus masih bisa menyaksikan betapa kayanya Bojonegoro akan fosil purba,” ucapnya.
Kolekdol, bagi Heri, adalah istilah khusus bagi mereka yang pura-pura mengoleksi fosil benda purba dan diam-diam menjualnya. Orang-orang semacam itu, kata Heri, yang membikin banyak fosil Bojonegoro hilang. Karena itu, harus dilawan. Dengan cara mengumpulkan dan menyelamatkan.
Heri mengumpulkan ribuan koleksi itu dari hibah masyarakat dan proses nggladak. Nggladak, kata Heri, adalah giat pencarian fosil purba berbasis observasi dan petualangan.
Nggladak tidak dilakukan secara sembarangan. Namun melalui proses observasi. Yakni mengobservasi struktur tanah dan peta geologi. Dua hal itu, kata Heri, menjadi panduan utama sebelum nggladak.
Heri biasanya nggladak di sejumlah kawasan di Bojonegoro. Kawasan tersebut meliputi Padangan, Tambakrejo, Ngraho, dan Kalitidu. 4 kawasan itu, kata Heri, adalah gudang Paleontologi.
“Karena itu harus diselamatkan agar generasi penerus bisa tahu dan bisa melakukan penelitian,” ujar dia.
Museum 13 memang kini berada di sebuah ruang kelas terdapat di salah satu sekolah dasar. Tentu, itu bukan tanpa kecemasan. 5 tahun lagi, Heri bakal pensiun.
Dia mulai khawatir, bagaimana nanti nasib museumnya. Sebab, tidak semua guru telaten dan suka merawat benda purba. Karena itu, dia mulai mencari opsi alternatif yang akan dilakukan.
“Alternatifnya memang dihibahkan atau mengontrak rumah,” pungkas dia.
Dipost pertama 4 April 2019