Nagari Jipang merupakan wilayah kuno yang sudah berperadaban, jauh sebelum Kerajaan Majapahit didirikan.
Nama Bojonegoro dan sebagian Blora identik atmosfer keramat. Baik dari sisi budaya, maupun khazanah tradisinya. Maka tak heran ketika dua wilayah pembatas Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah ini, masyhur memiliki banyak mitos. Terutama mitos tentang Punjer Tanah Jawa: Medang Kamolan.
Wajib diketahui, Bojonegoro dan Blora adalah satu rumpun wilayah yang dulu bernama Nagari Jipang. Wilayah ini, dikenal sebagai kawasan berperadaban tinggi yang kebesarannya sudah terdeteksi secara urut sejak era Medang Kamulan, Medang Kahuripan, Jenggala, Singashari, dan Majapahit.
Istilah “nagari” dalam Nagari Jipang, berarti wilayah (kewilayahan). Dalam sejumlah literatur manuskrip abad 19 M, lokasi ini juga dikenal dengan nama Biladi Jipang. Kata “biladi” dalam Biladi Jipang, menggambarkan kewilayahan yang memiliki peradaban besar. Istilah Nagari Jipang dan Biladi Jipang ini, diabadikan dalam lembar Manuskrip Padangan (1820 M), karya Sidi Syekh Abdurrohman Alfadangi.

Kejayaan wilayah Nagari Jipang mulai terindikasi sejak Prasasti Telang dan Sangsang (903 M), periode pemerintahan Raja Dyah Baletung (898-910 M), terceriterakan Prasasti Pucangan (1041 M), dan tercatat sahih pada Prasasti Maribong (1248 M). Kebesaran Nagari Jipang juga dipertegas Prasasti Naditira (1358 M) yang dikeluarkan pada masa Raja Hayam Wuruk.
Tak heran ketika KH Abdurrohman Wahid (Gus Dur), dalam buku berjudul The Passing Over: Kebebasan Beragama dan Hegemoni Bernegara (1998), menyebut dengan jelas Nagari Jipang sebagai prototype toleransi di Nusantara. Di tempat itulah, menurut Gus Dur, Mbah Jumadil Kubro menancapkan tongkat dakwah secara damai.
Tulisan Gus Dur ini, didukung data empiris dari buku History of Java (1817) karya Thomas Stamford Raffles yang menyebut Mbah Jumadil Kubro menetap dan berdakwah di atas Gunung Jali (Bukit Tebon), pusat Nagari Jipang. Raffles menulis, di tempat itulah Sunan Ampel muda sowan dan bertabaruk pada Mbah Jumadil Kubro, sebelum menjalankan misi dakwah.
Tanah Brahmana, Dihormati Para Raja
Dalam Prasasti Pucangan, Raja Erlangga (Raja Medang Kahuripan), memberi perhatian khusus pada Lwaram, sebuah tempat berada di dalam wilayah Nagari Jipang. Wajib diketahui, Raja Erlangga merupakan leluhur Raja Jayabaya. Sementara Jayabaya leluhur mayoritas Raja-raja Tanah Jawa.
Lalu dalam Prasasti Maribong yang ditulis Raja Wishnuwardana (Raja Singashari), menetapkan sisi timur sungai dari Nagari Jipang sebagai tanah istimewa. Tanah perdikan mardhika–sima swatantra, tanah yang diberi kebebasan khusus dan haram ditarik pajak, karena dihuni Para Brahmana. Tanah itu diistimewakan karena leluhur Wishnuwardana pun juga sangat memuliakannya.
Maka tak heran ketika Raja Hayam Wuruk (Raja Majapahit), melalui Prasasti Canggu, menempatkan cukup banyak Naditira Pradeca (pelabuhan sungai) di wilayah sungai Nagari Jipang. Ini terjadi karena Nagari Jipang sudah jadi punjer peradaban jauh sebelum Majapahit didirikan. Raja Hayam Wuruk bahkan menjadikan Nagari Jipang sebagai vasal istimewa.
Dalam Imperialism, Power, and Identity; David Mattingly mengatakan, imperium adalah manifestasi geopolitik mengenai kekuasaan yang diterapkan sebuah kawasan luas dan berdaulat. Nah, secara ilmiah, Nagari Jipang tercatat sebagai imperium (kawasan luas) yang memiliki kedaulatan penuh.

Pada era Majapahit berkuasa, Nagari Jipang dihormati dan diistimewakan. Ini bisa dibuktikan secara ilmiah dan empiris. Nagari Jipang menjadi wilayah yang tidak bisa dipimpin oleh Bhre (Bathara / pejabat). Nagari Jipang tanah Brahmana. Tak mungkin kaum Bathara berani pada kaum Brahmana. Secara kasta, posisi Brahmana berada di atas Bathara. Ini alasan utama, kenapa tak pernah ada Bhre (Bathara) di Nagari Jipang.
Dari semua vasal Majapahit, semua dipimpin Bhre (Bathara), sebagai representasi kehadiran Majapahit. Mulai Bhre Lasem, Bhre Daha Kediri, Bhre Wengker Madiun, Bhre Matahun, Bhre Jenggala, Bhre Tumapel. Tapi tidak untuk Jipang. Ia tak bisa dipimpin Bhre. Sebab, ia Tanah Para Brahmana.
Wajib diketahui, Bathara representasi pejabat (keluarga Majapahit). Sementara Brahmana representasi agamawan. Sebagai tanah Brahmana, Jipang hanya bisa dipimpin kaum agamawan (baik Brahmana Hindu, Brahmana Budha, maupun Brahmana Islam), dan tak bisa dipimpin kaum pejabat (keluarga Majapahit).
Masuknya Islam di Nagari Jipang
Syekh Jumadil Kubro yang di Padangan dikenal dengan Mbah Jimatdil Kubro, datang ke Nagari Jipang sebagai seorang “Brahmana” Islam. Karena itu, ia mudah diterima. Menurut Gus Dur dan catatan Raffles, Mbah Jimatdil Kubro berdakwah ke Nagari Jipang pada periode antara 1334 – 1364 M. Yakni saat Gajah Mada menjadi patih Majapahit. Artinya, sebelum Majapahit runtuh pun, islam sudah ada di Nagari Jipang.
Mbah Jimatdil Kubro tak hanya berdakwah. Tapi juga membangun pemukiman muslim yang dikenal dengan Mesigit. Untuk diketahui, kata Mesigit ini berasal dari bahasa Sanskerta: Sigit, yang artinya baik atau mulia. Mbah Jumadil Kubro membangun tempat yang dimuliakan sebagai lokasi pendermaan (peribadatan) masyarakat muslim.
Menurut Gus Dur, Mbah Jimatdil Kubro membangun pemukiman muslim di dua sisi sungai. Yakni sisi timur sungai dan sisi barat sungai. Untuk diketahui, peninggalan Mbah Jumadil Kubro ini, sampai saat ini pun masih ada. Yakni Mesigit Tebon (berada di sisi timur sungai) dan Mesigit Jipang (berada di sisi barat sungai).
Baca Juga: Mesigit Jipang, Punjer Islam Era Majapahit
Ini jadi bukti ilmiah dan empiris dan otentik bahwa Nagari Jipang sudah memeluk islam sejak lama. Bahkan jauh sebelum Kesultanan Demak didirikan, Nagari Jipang sudah gagah berdiri sebagai wilayah islam yang cukup disegani. Ini sangat penting dan wajib untuk diketahui.
Nagari Jipang wilayah besar yang selalu beradaptasi dengan zaman dan agama. Ia selalu dipimpin para Brahmana. Baik dari kalangan Hindu, Budha, maupun Islam. Ini alasan Mbah Jumadil Kubro menancapinya tongkat Baldatun Thoyibatun. Ini juga alasan utama kenapa Gus Dur menyebutnya sebagai prototype toleransi beragama di Nusantara.
Dihilangkan Rezim, Dimunculkan Waktu
Kejayaan Nagari Jipang tercatat sejak Medang Kamulan hingga Majapahit. Tapi sayangnya, pada abad 18 M, Belanda dan Mataram membuat dongeng dengan narasi dendam. Tujuannya: agar generasi penerus tak mengetahui besarnya Nagari Jipang, karena ditutup dendam fiksi yang dibuat ratusan tahun silam.
Tapi waktu akan menyembuhkan. Kali Maha Usada, waktu adalah penyembuh yang mujarab. Seiring berjalannya waktu, dongeng dan narasi dendam buatan itu mulai memudar. Fakta kejayaan Nagari Jipang sebagai tanah Baldatun Thoyibah mulai tampak secara jelas. Ini terbukti secara ilmiah dan empiris dan otentik dan, sekali lagi, kontekstual terhadap zaman.
Blora dan Bojonegoro sebagai penerus Nagari Jipang, ditakdir menjadi sumber ketahanan energi. Penyuplai kebutuhan energi terbesar Nasional. Ini terjadi karena “energi” para leluhur telah merobek lembaran dendam fiktif buatan Imperium Kolonialism. Menggantinya dengan lembaran bertulis tinta emas Para Ulama.
Sebuah lembaran dengan wajah Nagari Jipang yang sejati. Nagari Jipang yang dikagumi Erlangga (Medang Kahuripan). Nagari Jipang yang dimuliakan Wishnuwardana (Singashari). Nagari Jipang yang dihormati Hayam Wuruk (Majapahit). Dan Nagari Jipang yang ditancapi tongkat Baldhatun Thoyibatun wa Robbun Ghafur oleh Mbah Jimatdil Kubro.
Wallahu A’lam Bishowab.