Selain kata Fiddarinur, Mbah Abdurrohman Klotok juga kerap menulis kata BiladiNur sebagai gambaran ilmiah dari wilayah Jipang (Blora, Bojonegoro, Tuban selatan).
Pada periode 1400 – 1500 M, Bojonegoro dan Blora masih bernama Jipang, sebuah wilayah yang sudah masyhur sejak abad 11 M sebagai Nagari Jipang. Pada periode 1800 M (abad 19 M), wilayah Jipang tercatat Peta Raffles membentang dari Blora hingga Baureno. Melintang dari Margomulyo hingga Jatirogo. Lembaran manuskrip yang ditulis pada periode 1800 M, tentu masih menggunakan acuan teritorial tersebut sebagai batas wilayah Jipang.
Sejarah Jipang memang seperti dikerdilkan dan tak dimuat dalam kurikulum sekolah. Ia hanya disebut dalam dongeng picisan berlatar abad 16 M — yang baru dibikin pada abad 18 M — sebagai lokasi perang. Padahal, sejak abad 11 M, kejayaan Jipang sudah sahih dicatat prasasti Hindu-Budha. Lalu pada abad 14 M, Jipang tercatat empiris sebagai pusat peradaban islam.
Di tengah minimnya data terkait Jipang, masih tersisa catatan manuskrip tentang wajah Jipang pada masa lampau.
Mbah Abdurrohman Klotok tak hanya menulis kitab fan keilmuan islam, tapi juga kerap mendeskripsikan Padangan sebagai ibukota Jipang dalam frasa metaforis yang sangat informatif. Selain FiddariNur yang berarti di dalam Kota Cahaya, beliau juga menulis BiladiNur yang tentu secara harfiah, bermakna Negeri Cahaya.
Pada periode 1800 M, ada sejumlah istilah yang sering ditulis Mbah Abdurrohman Klotok untuk memberi deskripsi dan menggambarkan Jipang. Di antaranya; Nagari Jipang Padangan, Biladi Jipang Padangan, Fiddarinur, hingga Biladinur. Istilah dan frasa di atas kerap beliau tulis di akhir kitab, sebagai petunjuk sekaligus nisbat nama pena.
Mbah Abdurrohman Klotok yang bernama lengkap Sidi Abdurrohman ibn Syahiddn ibn Sidi Mrayun (w. 1877), memang sering menggunakan nisbat nama di atas. Khususnya kitab yang beliau tulis saat sedang berada di Tanah Arab atau di atas perjalanan kapal laut. Semacam upaya memperkenalkan Jipang di ranah internasional, sebagai bagian dari mata rantai sanad keilmuan Hijaz.
Nama pena yang beliau tulis, adalah frasa metaforis. Ini mengandung kajian antropologis yang cukup kuat dalam menggambarkan wajah Jipang sesungguhnya. Sebab, Belanda beserta kroninya telah mengkerdilkan Jipang melalui dongeng kolosal berlatar abad 16 M. Tujuannya, tentu untuk mengubur fakta kejayaan Jipang yang sudah ada jauh sebelum abad 16 M.
Dan fakta kejayaan Jipang seolah kembali dimunculkan Mbah Abdurrohman Klotok melalui istilah dan frasa yang beliau jadikan nama pena. Di antara istilah yang sering beliau sebut adalah Biladinur, yang secara harfiah bermakna “Negeri Cahaya”. Frasa ini beliau tulis di sejumlah kitab karangan beliau. Di antaranya karangan berjudul Fathurrohman (Tauhid) dan Wafatin Nabi (Hadits). Kitab Fathurohman adalah tulisan tentang konsep tauhid. Sementara Wafatin Nabi membahas kumpulan hadits.
Dalam lembaran kitab di atas, termuat informasi bahwa Mbah Klotok telah menyelesaikan sebuah kitab berjudul Fathurrohman (Kitab Tauhid) yang selesai ditulis pada 4 Jumadil Akhir Tahun Za 1262 H, atau sekitar 30 Mei 1846 M. Kitab Fathurrohman ditulis saat berada di tengah Lautan Selung dalam rangka Dahab ilal Hajj (perjalanan Haji).
Beliau juga memberi informasi tentang penulis dan pemilik kitab, yaitu Wan Khaji Abdurrohman fi BiladiNur, Pesantren Banjarejo ampehan Mbaru (nama lain dari Dusun Klotok). Kata “BiladiNur” dalam lembaran di atas, tentu frasa metafor yang sarat akan informasi antropologis.
Sementara lembaran di atas, memuat informasi bahwa Mbah Klotok telah menyelesaikan kitab berjudul Wafatin Nabi SAW (kumpulan hadits). Kitab itu diselesaikan saat beliau berada di tengah perjalanan, tepatnya saat berada di wilayah Biladi Ngalpeh (Nepal). Lembaran di atas juga memberi informasi penting tentang penulis dan pemilik kitab, yaitu Wan Khaji Abdurrohman fi BiladiNur, Fi Dar Klotok Pesantren (Pesantren Klotok).
Biladinur adalah frasa yang menunjukan fakta empiris terkait wajah Jipang yang sesungguhnya. Mengingat, dongeng buatan Belanda beserta kroninya telah mengkerdilkan sekaligus membuat nama Jipang jauh dari fakta. Kaum imperialis-kolonial seperti berusaha menutupi fakta bahwa Jipang adalah pusat peradaban Islam sejak periode 1300 M.
Melalui frasa Biladinur, Fiddarinur, hingga Biladi Jipang Padangan, Mbah Abdurrohman Klotok seolah memberi azimat informasi terkait wajah Jipang sebagai pusat peradaban islam, bumi sentra toleransi, dan punjer dakwah para ulama dari zaman ke zaman. Tentu ini sesuai fakta dan data empiris.
Periode 1300 M
Pada periode 1300 M, tepatnya pada tahun 1334- 1364 M, Jipang telah didiami ulama bernama Syekh Jumadil Kubro (Mbah Jimatdil Kubro). Fakta ini sesuai catatan Gus Dur dalam The Passing Over dan tulisan Thomas Raffles dalam History of Java. Secara sahih, Raffles menulis keberadaan Mbah Jimatdil Kubro dengan kalimat: “A devotee who had established himself on Gunung Jali” — seorang Wali yang telah menetap di Gunung Jali (Jipang).
Gus Dur dalam bukunya mencatat, dakwah Mbah Jimatdil Kubro di Jipang dimulai sebelum era Wali Songo. Sementara Raffles dalam History of Java menulis, Sunan Ampel muda bahkan sowan terlebih dahulu ke Gunung Jali Tebon, sebelum ia mendirikan Majelis Wali Songo. Tak hanya menuliskannya, Gus Dur bahkan kerap menceritakan dan menziarahinya.
Jejak Mbah Jimatdil Kubro di Jipang tak hanya tercatat empiris. Tapi dibuktikan secara arkeologis melalui keberadaan zawiyah dakwah berupa Mesigit (pendhermaan Hindu-Budha yang diubah jadi masjid) di puncak Gunung Jali Tebon. Sebuah bukti fisik berlangsungnya dakwah penuh toleransi, yang telah dilakukan Mbah Jimatdil Kubro di Jipang Padangan.
Periode 1400 M
Pada paruh kedua periode 1400 M, sekira tahun 1450 M, Jipang juga didiami figur ulama bernama Syekh Utsman Hajji alias Sunan Ngudung. Di wilayah Jipang, ayah dari Sunan Kudus itu bahkan bergelar Sunan Jipang Panolan. Data terkait jejak dakwah Sunan Ngudung di Jipang ini, tercatat dalam literatur Tarikhul Aulia. Ini jadi bukti sahih kenapa Sunan Kudus kelak punya kedekatan dengan Jipang. Sebab, sang ayah sudah berdakwah di Jipang.
Dakwah Raden Utsman Hajji di wilayah Jipang ini, berlangsung cukup lama. Kitab Tarikhul Aulia bahkan menulis nama beliau dengan Sunan Jipang Panolan. Tercatat pada 1481 M, Raden Utsman Hajji masih berdakwah di Jipang. Tarikhul Aulia menyebut, saat Sunan Ampel wafat (1481 M), di antara Wali Pulau Jawa yang datang ke Ampel Denta adalah Sunan Jipang Panolan (Raden Utsman Hajji), ulama yang berdakwah di wilayah Jipang.
Periode 1500 M
Pada paruh kedua periode 1500 M, sekira tahun 1548 M, Jipang terdapat figur ulama bernama Syekh Nursalim Tegiri. Seorang utusan Giri Kedaton di era kekhalifahan Sunan Prapen (Sunan Giri IV). Keberadaan Mbah Nursalim Tegiri di Jipang, seperti disebut H. J. de Graaf dan Babad ing Gresik sebagai bagian dari masa keemasan Giri Kedaton. Semua peristiwa penting yang menyangkut dakwah dan kepemimpinan Kerajaan Islam, pasti melibatkan Giri Kedaton. Termasuk pentingnya posisi Jipang dan pengangkatan Hadiwijaya sebagai Sultan Pajang.
Kedatangan Syekh Nursalim Tegiri adalah bagian dari masa keemasan Giri Kedaton. Di wilayah Jipang, Mbah Nursalim Tegiri melanjutkan zawiyah dakwah peninggalan Mbah Jimatdil Kubro. Yakni merawat Mesigit dakwah yang sebelumnya telah dibabat dan dibangun Mbah Jimatdil Kubro di puncak Gunung Jali (Jipang).
Fragmen BiladiNur
Istilah Biladinur yang sering ditulis Mbah Abdurrohman Klotok, tentu menggambarkan besarnya toleransi dan peradaban Islam yang mengakar sejak periode 1300, 1400, hingga 1500 M di wilayah Jipang. Sebuah zaman ketika Belanda dan kroninya belum sempat kepikiran untuk mengarang dongeng kolosal pada periode 1700 M.
Dari akar tradisi sejak 1300 M itulah, kelak, Jipang kembali meneruskan peradaban islam pada 1600 M, di era keulamaan triumvirat Bani Pajang (Mbah Sabil Padangan, Mbah Sambu Lasem, dan Mbah Abdul Jabbar Nglirip) di wilayah Jipang.
Kemudian dilanjut pada periode 1700 M, pada masa keulamaan Syekh Kamaluddin Oro-Oro Bogo dan Kiai Tjarangsoko Malangnegoro (1746-1752). Kemudian dilanjut periode 1800 M, di era keulamaan Syekh Abdurrohman (Pesantren Klotok) dan Syekh Syihabuddin (Pesantren Betet).
Keberlanjutan estafet sejak periode 1300 hingga 1800 M ini, membuat wilayah itu masyhur sebagai Kasepuhan Padangan, yang menjadi pusat keagamaan Jipang. Informasi terkait Kasepuhan Padangan pada periode 1600 hingga 1800 M ini, tercatat dalam Manuskrip Padangan.