Lepek, diam-diam merupakan piranti filosofis yang punya banyak ruang permenungan sosial. Mereka yang biasa ngopi pakai lepek, harusnya seorang pemikir yang hobi merenung.
Lepek atau lapik sejenis piring kecil yang digunakan sebagai alas cangkir atau gelas. Lepek dapat berupa piring kecil ataupun mangkuk pendek, tempat cangkir diletakkan. Umumnya, untuk menyajikan kopi atau teh.
Ngopi pakai lepek, terutama di daerah Bojonegoro, sudah umum ditemui. Di tempat kelahiran Kopi Kothok — Padangan dan sekitarnya — justru terlihat aneh ketika ngopi tak menggunakan lepek. Sebab kopi Kothok identik kuantitas ampas kopi yang cukup banyak.
Lepek, fungsi awalnya memang sebagai instrumen ritus perkopian. Ia digunakan meniriskan kopi yang masih panas. Agar tak membuat pengkopi meminum kopi di saat kopi masih dalam keadaan panas.
Tapi, seiring berjalannya waktu, keberadaan lepek lebih dari sekadar tempat meniriskan kopi. Ia hadir sebagai tradisi pelengkap ritus perkopian itu sendiri.
Ngopi pakai lepek menjadi semacam istiadat yang harus dilakukan. Yah, meski tanpa lepek pun, kopi yang semula panas akan dingin dengan sendirinya. Tapi dengan lepek, proses mendinginkan kopi jadi lebih filosofis.
Secara fungsi, lepek memang membantu kita mendinginkan kopi. Agar kopi tak diseruput dalam kondisi panas. Sehingga meminimalisir potensi melepuhnya lidah akibat meminum kopi dalam keadaan masih panas.
Secara bentuk, jika kita mau niteni bentuk lepek, bagian tengah lepek biasanya dirancang sedikit cekung. Atau ada kalanya malah timbul. Ini agar pasangannya — cangkir kopi yang diletakkan di atasnya — bisa duduk taneg: pas dan tidak goyah.
Dalam konsep analogi fungsi, lepek adalah metode mendinginkan masalah. Agar saat ada informasi atau masalah mengagetkan, kita tak langsung menyeruputnya. Tapi meniriskan dan mendinginkannya dulu. Ini mampu meminimalisir potensi melepuhnya hati akibat menyeruput masalah dalam kondisi masih panas.
Di tengah cepatnya arus informasi, yang berarti cepat pula masalah hidup mendamprat kepala kita, proses sedimentasi (pengendapan) informasi amatlah penting. Agar pikiran kita tak melepuh dikoyak-koyak informasi.
Lepek, secara analogis, menggambarkan betapa pentingnya proses pengendapan. Segala perkara yang muncul di akhir zaman, harus ditiris-endapkan terlebih dahulu. Agar bisa dibaca dan dinikmati secara objektif.
Dalam konsep analogi bentuk, lepek yang bentuk tengahnya agak cekung juga punya makna tak kalah penting. Ia berfungsi memuat cangkir kopi agar tak goyah. Ia mencekungkan diri, agar pasangannya bisa berada di atasnya secara pas. Secara tak goyah.
Sebagai makhluk sosial; ada kalanya kita mencekungkan diri, menepi dan menahan hak-hak personal kita agar tak nabrak-nabrak hak orang lain. Demi apa? Tentu demi agar proses hidup terasa pas dan taneg. Tidak goyah sehingga tak memicu melepuhnya kehidupan sosial.
Lalu, bisakah kita bersikap kesatria seperti lepek? O, berat sekali.
Cangkir kopi dan lepek ibarat rokok dan korek api atau sepatu dan kaos kaki. Tak masalah jika salah satu tak dihadirkan. Tapi, ya, rasanya tetap ada yang ngganjel dan kurang pas.
Kita bisa tetap ngopi tanpa lepek, toh kopi panas akan dingin dengan sendirinya. Kita bisa tetap merokok tanpa korek api, toh masih ada kompor. Kita bisa pakai sepatu tanpa kaos kaki, toh kalau tak pakai kaos kaki tak kelihatan.
Tapi, menyandingkan kopi dan lepek; rokok dan korek api; sepatu dan kaus kaki; adalah upaya bijak berorientasi keseimbangan. Sebab, kehadiran kedua pasang benda itu menjadi pemicu harmonisasi.
Kalau mau lebih dalam mencermati lepek, ia adalah gambaran sikap kesatria seorang manusia. Ia melindungi permukaan meja dari potensi kerusakan yang dapat ditimbulkan panas kopi.
Selain itu, lepek mampu menampung cipratan dan tumpahan kopi jika tertuang berlebihan.
Lihatlah, betapa bijaksana dan kesatria apa yang diperankan lepek dalam fungsi dan bentuknya yang amat sederhana itu. Ia melindungi potensi kerusakan dengan cara menahan panas. Ia juga mampu menampung cipratan lumpur sosial ketika pergesekan sosial antar manusia tertuang secara berlebihan.
Bisakah kita melindungi kerusakan umum dengan cara menahan hak-hak personal yang harusnya kita tunaikan? Hak marah dan hak berkomentar, misalnya? Bisakah kita berperan sebijaksana lepek?
Lepek, diam-diam merupakan piranti filosofis yang punya banyak ruang permenungan sosial. Mereka yang biasa ngopi pakai lepek, harusnya seorang pemikir yang hobi merenung.