Panasnya cuaca Bojonegoro tak menurunkan semangat muda-mudi Bojonegoro dalam rangka mengikuti agenda Ngopi Sareng di Gedung Pancasila MCM, pada (25/10/2024). Ngopi yang dimaksud, ialah akronim dari Ngobrol Inspirasi, agenda diskusi yang berupaya menggerakan spektrum literasi digital di Bojonegoro.
Dalam acara dihadiri muda-mudi dari berbagai organisasi itu, menghadirkan sejumlah pembicara. Di antaranya; Panji Arya Kusuma (Kominfo Bojonegoro), Marsha C. Arij (ExxonMobil), dan A. Wahyu Rizkiawan (Jurnaba.co).
Panji Arya Kusuma, dalam penjelasannya mengatakan, Pemkab Bojonegoro, dalam hal ini Kominfo, secara langsung mengajak para muda-mudi Bojonegoro untuk selalu waspada dan saling mengingatkan akan bahaya hoax. Menurut dia, untuk menghindari hoax, harus melakukan verifikasi.
“Jangan mudah percaya pada sesuatu yang mengatasnamakan Pemkab. Harus verifikasi. Untuk mengetahui informasi, minimal harus ngecek informasi di web resmi Kominfo” Ungkap Panji.
Sementara Marsha C. Arij, dalam keterangannya berpesan agar para audiens tidak mudah membagi informasi yang belum jelas maksudnya. Bahkan, harus kritis dan mau menganalisis setiap kebenaran dari informasi yang diterima.
“Saya sejak dulu selalu membiasakan saring sebelum sharing” Kata Marsha.
Saring sebelum sharing, menurut Marsha, menjadi perihal penting dalam mengantisipasi dampak buruk hoax. Saring sebelum sharing juga jadi bagian penting dalam literasi digital. Yaitu, pemahaman informasi di era digital.
Literasi digital sangatlah penting. Terlebih, di era yang hampir kesemuanya membutuhkan jaringan internet saat ini. Mulai dari media sosial hingga portal berita, membentang informasi bagai tebaran bintang, membanjiri layar gawai, dan berdesakan memasuki retina mata untuk dibaca.
Mudahnya, akses informasi turut membawa resiko. Pada diskusi yang diadakan Ademos ini, salah satu yang menjadi topik ialah disinformasi. Sesuai namanya, disinformasi memang cukup berbahaya.
“Disinformasi adalah rantai terakhir dari rentetan atau sanad munculnya bencana informasi,” tutur Wahyu Rizkiawan, yang menjadi narasumber dalam acara itu.
Rizky, sapaan akrabnya, mengatakan bahwa adanya kesalahan informasi menyebabkan munculnya miss-informasi. Tentu bila ada kesalahan yang tidak disengaja. Nah, jika informasi dalam wujud berita terdapat kesalahan yang disengaja, maka ini berbahaya. Terlebih jika ada maksud dan tujuan tertentu. Inilah yang dimaksud dis-informasi.
“Jadi informasi, mis-informasi, dan dis-informasi itu tidak sama. Dan yang berbahaya adalah dis-informasi” Imbuh founder Jurnaba Institute itu.
Efek dari banyaknya akses informasi, menurut Rizky, turut membawa sekaligus memperbesar fenomena post-truth. Sebuah fenomena di mana kebenaran informasi dinilai berdasarkan suka atau tidak suka seorang pembaca.
“Sederhananya, post-truth itu sesuatu yang bisa menjadi benar karena kita menyukainya, dan menjadi salah hanya karena kita tidak menyukainya,” terang Rizki.
Lelaki yang juga Ketua Bidang Pendidikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bojonegoro itu menambahkan, disinformasi pada era post-truth, melahirkan produk yang kelak dikenal sebagai hoax.
Hoax merupakan berita yang tidak benar, berisi kebohongan belaka. Ini yang berbahaya dan harus dilawan. Memang tidak mudah, sebab ini tidak seperti perang terbuka melawan musuh. Inilah perang melawan musuh yang tidak tampak, yaitu disinformasi.
Sebab bukan benda wujud, tentu susah untuk dilawan. Mirip seperti barang gaib yang tak tersentuh. Bedanya, informasi bisa dilihat, dibaca atau didengar. Dengan begitu, informasi mampu mempengaruhi pikiran terkait suatu kejadian.
“Informasi merupakan sesuatu yang tidak tampak tapi sungguh berdampak. Karena itu agak susah melawannya.”
Susah dilawan, bukan berarti tidak ada cara untuk menghalaunya. Salah satunya melalui budaya, tentunya budaya literasi. Membaca mampu melatih otak untuk membentuk logika berpikir. Wabil khusus dalam mengamati suatu kejadian.
Semakin sering membaca, semakin banyak data masuk ke dalam otak. Semakin banyak data yang diproses, semakin meningkat kemampuan otak. Ini membuat otak mampu berpikir kritis, mengolah data menjadi informasi, membedakan mana yang penting atau tidak, salah atau benar.
“Caranya ya dengan kita melakukan peningkatan terkait literasi informasi. Literasi informasi maksudnya kemampuan dalam mengendalikan, mengelola, memahami informasi yang kita dapatkan.”
Meningkatkan kemampuan literasi sangat penting. Terlebih di bidang informasi digital. Namun, kemampuan ini bukanlah sebuah bakat. Ia bisa dan harus dilatih. Salah satunya dengan membaca sebanyak mungkin, sesering mungkin.
Selain membaca, perlu juga adanya ruang diskusi. Debat kecil pun tak apa, yang penting santai dan nyaman. Seperti kegiatan Ngopi Sareng yang melibatkan banyak pihak ini.
Mulai dari kawan-kawan mahasiswa, komunitas, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, hingga swasta seperti ExxonMobil Cepu Limited (EMCL). Perlu adanya kerja sama solid untuk melawan hoax dan disinformasi di era digital saat ini.