Saat sulit konsentrasi, saya memilih keluar ngopi dengan teman. Niatannya, mudah-mudahan bisa menjernihkan suasana gabud, badmood, yang tengah melanda.
Akhir-akhir ini, saya sering banget ngopiskusi (ngopi sambil diskusi). Dalam obrolan di warung kopi (warkop), saya banyak berdialog dengan mas Ahmad Wahyu Rizkiawan, Editor In Cheif Jurnaba.co.
Ya, Jurnaba.co merupakan media online yang memberi ruang terbuka siapapun, dan apapun rupa dan jenis tulisan kita dipublis. Tentu sebagai syarat akhir, tulisan yang dibuat kudu memperhatikan sistematika tata tulis baik plus benar.
Saat kami mengobrol di warkop, kami selalu menelaah fakta-fakta kekinian terkait literasi membaca -teks dan konteks- yang kembang-kempis.
Kenapa saya katakan kembang-kempis?
Fakta menunjukkan, orang yang doyan membaca masih sedikit kuantitasnya. Keluarga yang memiliki perpustakaan pribadi bisa dihitung jari. Ditambah, menyisihkan waktu membaca sebentar menjadi tidak ringan.
Bila kemudian dipaksa membaca buku jenis nonfiksi, satu paragraf berjalan, penyakit kantuk yang kemudian muncul. Lain halnya bila yang dibaca buku “fiksi”, durasi sehari tanpa terasa sudah hatam dan ingin tanduk lagi mencari buku fiksi yang mana lagi.
Selain perihal di atas, fakta lain menunjukkan para “sarjana” juga belum total mengampanyekan literasi baca apalagi tulis. Boro-boro mengampanyekan, ngopeni kebiasaan membaca dirinya sendiri butuh perjuangan tidak gampang dan ringan.
Potret yang ada, mudah plus ringan membaca WhatsApp, facebook, youtube secara detail bin cermat aneka platform medsos milik orang lain. Dan setelan paham isinya, terbersit “angan-angan” ingin menjadi seperti yang ditonton.
Pertanyaannya, pas atau tidak kita menginginkan sesuatu sebagaimana yang ditonton?
Jawabannya, iya kalau yang ditonton bisa diwujudkan. Kalau tidak, tentu “keadaan” sekitar yang akan menjadi objek sasaran kesalahan.
Mulai dari kenapa orangtua saya hanya pecangkul di sawah? Kenapa belum serba kecukupan ada pada saya? Kenapa dia bisa? Sedangkan saya kok begini saja! Aneka pertanyaan tersebut akanlah muncul dalam benak kita berikutnya.
Pertanyaan selanjutnya, lalu bagaimana bisa bersaing dengan yang lain bila membaca saja masih ringan tidak dilakukan?
Pembaca setia..!
Kini, PR membaca memang belum menjadi kebutuhan primer bersama. Terlebih di pedesaan. Program perpusdes yang sudah ada, jalan di tempat oleh problema pengelolaan yang belum optimal.
APBDes yang melimpahruah, alokasinya masih dominan pada pemenuhan fisik belaka. Memang tidak salah, dan 100% juga belum benar. Yang bijak justru, pada domain nonfisik sebagai misal literasi “membaca” keterwujudannya “mbok yaho” jangan dinomor sekiankan.
Lalu apa yang bisa kita lakukan?
Banyak kalau boleh penulis bilang. Mulai dari diri, membaca perlu digelorakan menjadi laku kehidupan. Artinya, menjadikan diri kita role model terdekat membaca di manapun tempatnya dan kapanpun waktunya kita wujudkan bersama-sama.
Waktu membaca pun harus dijadwalkan, ditampakkan. Walaupun sudah menjadi orangtua, pemuda, remaja yang khatam dari bangku sekolah. Sehingga ketika ditanya orang perihal membaca, jawabannya lugas.
Sebagai misal, sudah berapa buku yang dibaca? Tiga buku! Berapa kali dalam seminggu membaca dilakukan? Dua, tiga kali!, dan seterusnya. Lalu berapa jam membaca dilakukan? Satu hingga dua jam!, dan seterusnya.
Jika kita bisa menjawab pertanyaan di atas dengan percaya diri, itu artinya kebiasaan membaca kita top markotop. Karena jawaban yang kita sampaikan adalah fakta keseharian. Bukan kata “rekayasa” yang diada-adakan agar kita berkamuflase “seakan-akan” menjadi bagian dari kelompok yang demen, wa rajin, wa istikamah membaca, membaca. Padahal! Ups.. jangan sampai aib terbongkar.
Pembaca setia..!
Kata pamungkas kang Solichin M. AWI (2011:6), dalam bukunya “Tentang Menulis, Mengapa Menulis, dan Menulislah!” berwasiat, “Mari membaca untuk menulis dan menulis untuk dibaca”. Tolong ini digaris bawahi. Saya ulangi, digaris bawahi. Titik.!
Jika masih penasaran isi bukunya kang “S”, boleh pinjam asalkan kembali. Jangan diaku-aku milik pribadi. Karena saya belinya pakai duit pribadi. Ha.., ha.., ha..!
Penulis adalah Dosen Prodi PAI Fakultas Tarbiyah Unugiri Bojonegoro.