Syekh al Hajj Muntaha bin Syamsuddin atau KH Muntaha atau Mbah Ho Padangan, merupakan ulama sufi asal Bojonegoro, yang masyhur sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia.
Nama Mbah Ho masyhur tak hanya di Kota Bojonegoro. Tapi juga Lamongan, Tuban, hingga Nganjuk. Beliau ulama multidimensi yang punya banyak peran di berbagai sisi sosial masyarakat.
Mbah Ho bagian penting dari episentrum peradaban islam abad 20 (periode 1900) yang berada di Padangan. Pengaruh dakwah Mbah Ho menyebar hingga Nganjuk dan Lamongan.
Mbah Ho memang tak mendirikan pesantren. Namun, beliau berdakwah secara lelono broto (berpindah-pindah). Ini alasan santri Mbah Ho menyebar di berbagai daerah, terutama di wilayah Tuban, Nganjuk, dan Lamongan.
Mbah Ho merupakan ulama sufistik. Beliau mursyid thoriqoh Syathariyah. Beliau bersanad thoriqoh pada pamannya, Kiai Tohir Betet, lalu ayahnya, Kiai Syamsuddin Betet, hingga Syekh Abdullah asy-Syattar. Tak heran jika santri thoriqoh Mbah Ho cukup banyak di berbagai daerah.
Selain banyaknya santri yang berada di sejumlah kota, Mbah Ho juga meninggalkan jejak dakwah berupa masjid dan musola yang didirikan di berbagai daerah. Jejak itu, masih bisa dilihat hingga saat ini.
Selain di Padangan, jejak Mbah Ho terdeteksi hingga Nganjuk dan Blora. Di Blora, tepatnya di Jepon, terdapat musala bernama Al Muntaha, tak lain adalah peninggalan Mbah Ho. Hal ini diungkapkan Kiai Sibawaih, sang pemangku musala.
Nama Mbah Ho cukup populer pada awal abad 20 (periode 1900 M), sebagai ulama waliyyun minauliyaillah asal Bojonegoro. Banyak ulama dan kiai yang sowan pada Mbah Ho untuk nyadong barokah.
Syahdan, semasa Syaikhina Maimoen Zubair masih muda, beliau pernah sowan pada Mbah Ho. Menjelang pamit, Mbah Moen minta barokah doa dari Mbah Ho. Namun, Mbah Ho justru mencubit kedua pipi Mbah Moen sambil berkata, “ganteng kurang ganteng, alim kurang alim yo kue…”
Kisah pertemuan Mbah Moen dan Mbah Ho di atas, didapat dari Pengasuh Ponpes Al Basyiriah Pethak Bojonegoro, KH Atho’illah Maimun. Ya, begitulah respon seorang Wali. Mbah Ho seperti tahu. Sosok pemuda di hadapannya, yang ia cubit pipinya itu, kelak jadi ulama besar waliyyun minauliyaillah yang masyhur alim alamah.

Selain masyhur Waliyullah, Mbah Ho juga memiliki peran besar dalam dunia sosial-kemasyarakatan. Mulai berjuang demi kemerdekaan, memprakarsa pengadaan Haul Jojogan, hingga mengevakuasi makam Menak Anggrung Padangan.
Pada Pertempuran Oktober 1945, Mbah Ho punya peran penting dalam strategi dan persiapan Hisbullah Bojonegoro sebelum berangkat ke Surabaya. Beliau sosok yang melatih sekaligus dimintai barokah doa, sebelum Hisbullah Bojonegoro merangsek ke Surabaya untuk ambil bagian dalam pertempuran 10 November 1945.
Pada Maret 1950, Mbah Ho menginisiasi pemindahan makam Menak Anggrung dari ancaman longsor bengawan. Beliau bersama KH Abdurrohman Rowobayan menggeser makam agak ke selatan, agar makam terselamatkan dari longsor. Itu pemindahan ketiga, setelah sebelumnya pernah dipindah sebanyak dua kali.
Mbah Ho juga sosok yang menginisiasi adanya peringatan Haul Mbah Jabbar Jojogan pada 1964. Beliau mengajak dua keponakannya, yaitu Mbah Sholeh bin Zakariya Ngerong dan Mbah Zaini bin Yasin Mruwut. Mbah Ho bersama dua keponakannya itulah, figur yang pertamakali membuka Haul Jojogan.
Nasab Mbah Ho Padangan
Dari KTP yang sempat ditemukan, terlihat jika beliau panjang usia. Dalam KTP yang dikeluarkan pada 1968 itu, tertulis usia Mbah Ho 127 tahun. Sementara beliau wafat pada 1976. Artinya, Mbah Ho hidup pada (1844 – 1976) dengan usia 132 tahun. Dalam versi berbeda, Mbah Ho lahir pada 1870 dan wafat pada 1976, dengan usia 106 tahun. Wallahu A’lam.
Mbah Ho merupakan ulama dalam lingkar besar Bani Fiidarinnur Padangan. Beliau dzuriyah Syekh Abdul Jabbar dan Syekh Sabil Padangan. Dari jalur ibu maupun bapak, nasab Mbah Ho bersambung pada Syekh Abdul Jabbar Jojogan dan Syekh Sabil Padangan.
Dari jalur ibu, nasab beliau: Muntaha bin Wajiroh Syamsuddin binti Syihabuddin bin Istad bin Juraij bin Khatib Anom bin Abdul Jabbar (menantu Syekh Sabil Padangan). Dari jalur bapak, nasab beliau: Muntaha bin Syamsuddin bin Jumain bin Nyai Jamilah binti Nyai Dalem binti Syekh Abdul Jabbar (menantu Syekh Sabil Padangan).
Sanad Ilmu Mbah Ho Padangan
Mbah Ho lahir dan tumbuh dari keluarga ulama. Ayahnya adalah Kiai Syamsuddin Betet. Sementara kakeknya adalah Kiai Syihabuddin. Selain belajar pada ayah dan kakeknya, beliau juga belajar pada pakde dan pamannya, yang juga masyhur para ulama.
Mbah Ho belajar pada Kiai Tohir Betet bin Syihabuddin, Kiai Murtadho Kuncen bin Syihabuddin, hingga Kiai Syahid Kembangan bin Syihabuddin. Dalam sebuah riwayat, Mbah Ho juga bertabaruk pada Kiai Sholeh Langitan (pengasuh kedua Ponpes Langitan).
Bahkan, Mbah Ho juga masih belajar di Makkah sewaktu berangkat haji. Dengan riwayat belajar yang begitu panjang, tak heran jika kelak, beliau dikenal sebagai ulama alim dan pejuang kemerdekaan.
Keluarga Mbah Ho Padangan
Mbah Ho tercatat menikah sebanyak dua kali. Beliau menikah dengan Nyai Saporah Nganjuk (dari Kota Nganjuk) dan Nyai Romlah Tuban (dari Kota Tuban). Dari kedua istrinya, beliau dikaruniai 8 keturunan. 7 keturunan dari istri pertama dan 1 keturunan dari istri kedua.
Dari istri Nyai Saporah Nganjuk, beliau dikaruniai 7 keturunan. Diantaranya; Samsuddin Muntaha, Umar Muntaha, Abdurrohman Muntaha, Ghozali Muntaha, Umi Mumakin binti Muntaha, Siti Roudhoh binti Muntaha, dan Arifin Muntaha. Sementara dari istri bernama Nyai Romlah Tuban, Mbah Ho dikaruniai satu keturunan bernama Nyai Muhayah binti Muntaha.
Mbah Ho wafat pada 27 Jumadil Awal 1396 H (26 Mei 1976 M). Selain dikenal sebagai ulama yang berperan besar dalam persebaran agama islam, Mbah Ho masyhur sebagai pejuang kemerdekaan yang memiliki nasionalisme tinggi.
Mbah Ho sosok penggodok Pasukan Hisbullah Bojonegoro, sekaligus penyusun strategi dalam pertempuran November 1945 di Surabaya. Hal ini bisa dilihat dari bentuk bangunan makbaroh dan jirat makam beliau. Makam seorang pejuang kemerdekaan.