Dengan perasaan melankolis yang amat tebal, akhirnya saya menyadari: persoalan hidup adalah seni untuk menerima. Dunia ideal boleh saja diidamkan, tapi toh, jika itu tak terjadi, tak perlu dibesar-besarkan juga.
Di seberang telepon, dia menyapa selayaknya teman lama; bertanya tentang kabar, kesibukan, lalu diteruskan dengan berbagi cerita mengenai suka-duka menjadi dewasa.
Dia adalah seorang kawan yang kini bekerja di salah satu start-up di Pacitan yang fokus pada usaha pembudidayaan udang. Selama lebih dari satu jam, kami berbincang begitu dalam. Terutama soal perubahan besar yang tengah menimpa kami semua.
Dia sendiri misalnya, kini jauh lebih bisa mengerti dan tidak memaksakan kehendaknya pada suatu hal seperti di masa kuliah dulu. Dengan kata lain, semisal ada hal-hal yang sedikit kurang relevan dengan idealisme yang dia anut, dia sendiri tak buru-buru melawan, memberontak, atau mengutuki setengah mati.
Dia justru memilih menahan diri, dan sejurus dengan itu menawarkan alternatif lain untuk dikompromikan seadil-adilnya. Bukan itu saja, dalam masalah percintaan, si kawan ini juga terbilang makin berbeda.
Alih-alih membesar-besarkan masalah ketika banyak yang tak sama dengan pasangan, dia kini tak segan untuk memaklumi perbedaan yang ada. Dan tentu, sembari merayakannya bersama.
Saya bertanya kepadanya, mengapa bisa berubah begitu? Dan bagaimana dia bisa yakin untuk mengalir bersama perubahannya?
Ia menjawab dengan tawa kecil. Menurutnya apa yang terjadi saat ini adalah kebesaran hati untuk menerima. Karena toh berkali-kali menonjolkan prinsip pribadi membuatnya tak bisa mengeja berbagai sudut pandang dengan baik. Dan itu rentan membuatnya tak bisa tumbuh.
Pada sisi percintaan misalnya, ia berpendapat bahwa mencintai seseorang sejatinya bukan semata mencari kesamaan (cocok) sebanyak-banyaknya. Karena sesempurna apapun seseorang, tak pernah ada yang masuk pada tahapan ideal. Akan ada celah yang membuatnya terlihat berbeda, apalagi ketika mengenalnya lebih dalam.
Untuk itulah, kini ia belajar lebih mendalam tentang bagaimana menerima perbedaan itu.
“Saat ini aku pikir, aku harus bisa menerima perbedaan dengan pasanganku. Soalnya bagaimanapun juga sampai tua nanti, ia akan menjadi satu-satunya orang paling dekat denganku. Bukan teman, sahabat, keluarga, apalagi anak,” katanya dengan suara lirih. “Sebab anak-anak akan memiliki kehidupan sendiri. Untuk itulah, menurutku yang terbaik adalah belajar menerima perbedaan, dan bukannya sibuk mencari kecocokan terus menerus”
Saya tercengang oleh ucapannya. Sebab, pada sekian hari sebelumnya, saya menonton film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKTCHI) yang memiliki persoalan hampir sama dengan si kawan.
** **
(Oh, maaf jika mengandung spoiler, tapi saya menyarankan film tersebut untuk ditonton)
Diceritakan, film tersebut memuat konflik batin sebuah keluarga. Penceritaan dimulai pada tokoh Awan, seorang perempuan yang beranjak remaja, yang amat dicintai dalam keluarga. Nyaris di manapun dia pergi, sang ayah akan memantaunya.
Bahkan ketika Awan kelak gagal mengerjakan proyek untuk firma arsitektur dan dipecat, sang ayah dengan segala relasi bisnisnya mampu membuat Awan kembali ke kantor tersebut. Hal itulah yang kelak dibenci Awan, sebab, dia merasa tak memiliki kesempatan untuk memilih perjalanan hidupnya sendiri.
Pada Aurora, kakak kedua Awan juga demikian. Dia mengalami tekanan luar biasa dahsyat, akibat semua mata selalu tertuju pada Awan. Baik dari ibu, ayah, hingga kakak tertua Angkasa, semua berfokus pada Awan.
Ibaratnya apapun yang dia kerjakan sama sekali tak terlihat penting. Dia bagaimanapun juga akan kalah oleh perhatian ayah dan keluarga besar kepada Awan.
Angkasa, apalagi. Sebagai seorang sulung ia bahkan lupa caranya bersedih. Akibat sang ayah yang memberinya beban besar untuk senantiasa menjaga adik-adiknya, terutama Awan.
Konflik itupun pecah, saat Angkasa mulai tak tahan lagi mengikuti kata sang ayah. Soalnya, ia merasa perlu memikirkan kehidupannya sendiri, untuk menikah bersama pasangannya, Lika..
Dari ibu pun juga demikian. Sang ibu yang digambarkan sebagai sosok pendiam, ternyata diam-diam menyimpan bara. Ia terlibat trauma hebat akibat di masa silam, tak diperkenankan melihat barang sedikit saja, saudara kembar Awan, yang ternyata meninggal dunia.
Sang ayah, juga sama. Toh usaha kerasnya untuk membahagiakan keluarga, ternyata keliru, sebab ia membebani setiap orang di keluarga untuk mewujudkan keinginannya. Padahal, setiap manusia, kita tahu, memiliki dinamika kehidupan masing-masing.
**
Dengan perasaan melankolis yang amat tebal, akhirnya saya menyadari bahwa persoalan hidup adalah sebuah seni untuk menerima. Dunia ideal boleh saja diidamkan, tapi toh, jika itu tak terjadi, tak perlu dibesar-besarkan juga.
Si kawan juga benar, masa dewasa sebaiknya menjadi introspeksi diri untuk berubah. Baik dari segi berpikir, bergerak, bersikap, sampai bagaimana memosisikan diri dalam urusan asmara. Soalnya, meminjam judul puisi Aan Mansyur dengan modifikasi seperlunya, mungkin beginilah kehidupan sebenarnya bekerja.