Pohon yang patah, bisa tumbuh dan berganti. Tapi hati yang patah, sialnya, amat sulit direboisasi.
Mungkin sudah lama aku tidak mengenal cinta. Sampai lupa bagaimana rasanya jatuh cinta. Benar kata Haji Rhoma Irama, hidup tanpa cinta, memang bagai Taman Tak Berbunga. Dulu juga aku berpikir hal yang sama.
Hingga pada suatu hari, aku menjadi salah satu panitia Ospek di Kampus, atau sekarang namanya Perkenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB). Dihari pertama PKKMB, aku bertemu salah satu Mahasiswa Baru (Maba). Namun aku belum begitu mengenalnya, hanya tau namanya saja.
Ketika aku memandanginya, ada sesuatu yang berbeda. Mungkin itu yang dinamakan cinta pada pandangan pertama. Pandangan pertama yang sekaligus mengawali sebuah episode cerita.
Aku mulai berkeinginan untuk mendekatinya, walaupun aku tau bahwa itu akan susah. Tetapi di kamusku, tidak ada yang tidak mungkin. Meski di sisi lain, aku ragu karena harus realistis.
Aku berhadapan dengan potret diriku sendiri, kadang membuatku bingung.
Yaa.. kali ini aku memutuskan untuk berjuang. Demokrasi yang utopis aja diperjuangkan, masak diri sendiri tidak.
Setiap hari, aku selalu berpenampilan menarik. Semua aku lakukan untuk mencuri perhatiannya, aku berusaha mati-matian menjadi yang terbaik, semua sekadar hanya untuk mendapat perhatiannya.
Aku tak tau. Perlahan tapi pasti semua usaha itu membuahkan hasil. Aku sudah dekat dengannya, tapi aku masih takut mengutarakan isi hati padanya.
Hari demi hari berlalu, aku masih belum berani, dan tak tau harus bagaimana. Walaupun hampir setiap hari kami bertemu dan berboncengan.
“aku tak bisa terus-terusan begini!” kataku dalam hati.
Akhirnya aku memutuskan untuk mengutarakan isi hati, sewaktu mengantarnya pulang ke rumah. Walaupun masih sedikit kaku, aku mulai memberanikan untuk membuka pembicaraan.
“@#$$-+()@&5 llajahaf@@#$$ ##””:;!?*+-_@$@, kamu mau kan membangun masa depan bersamaku?”
Bisa dikatakan, caraku mengungkapkan masih cenderung kaku dan mbulet dan yah, begitulah. Ya memang, aku bukanlah sosok lelaki yang romantis, tetapi murah senyum. Walaupun hanya 3 teman saja sih yang mengakui itu.
Setelah mengungkapkan isi hati, aku sedikit merenunginya. Jangan-jangan tadi aku cuma mimpi. Hatiku semakin deg-deg an dan aku harus siap untuk dideportasi dari kenyataan hidupnya, jika dia sampai menolakku.
“Aku mau.” jawaban singkat darinya membuatku tak percaya, aku memutuskan untuk memastikannya kembali. Dan apa yang dikatakannya memang benar, aku tak salah mendengarnya.
Hari demi hari kami lalui serupa pasangan merpati yang penuh dengan kebahagian. Walau kadang, ada saja hal kecil yang membuat kami tak sejalan. Namun itu wajar, karena setiap hubungan pasti ada permasalahan.
Waktu mengajarkan pada kita untuk semakin saling mencintai, dan waktu pula yang mengajarkan pada kita untuk saling melupa. Hal itu terjadi setelah aku diwisuda. Kisah yang telah dibangun selama ini, seketika hancur.
Apakah aku tak punya masa depan sehingga kau mengakhirinya? Sekarang aku tau arti dari keputusanmu, kau telah bersama lelaki yang lebih baik dari aku.
Janji yang terucap darimu, adalah omong kosong.
Apa aku marah? Tentu iya. Tapi kemarahan itu sekadar wasilah yang kelak mengantarku pada sikap dewasa dan bijaksana. Sebab, kini aku sudah selesai dengan kemarahan. Aku sudah selesai dengan kebencian. Dan aku sudah selesai dengan kekecewaan.
Dua tahun berlalu. Sekarang aku masih berada di organisasi yang sama, saat aku mengutarakan isi hatiku padamu. Namun bedanya, saat ini aku sudah berada di tingkatan cabang. Aku masih berproses dengan kesibukan-kesibukan yang ada. Ya, kini aku fokus pada masa depanku.
Di sini, di organisasi ini. Aku menjatuhkan hati untuk yang kedua kali. Pada seorang perempuan yang mengubah pandanganku tentang patah hati. Di hadapannya, patah hati yang kuderita selama 2 tahun, telah hilang dalam waktu 21 hari.
Patah hati selama 2 tahun, dihapus cukup dengan 21 hari. Ya, 21 memang angka keramat. Bukankah induk ayam mengerami telur selama 21 hari? Ya, bisa jadi, sudah waktunya hatiku menetas kembali.
Dua Satu hari. Awalnya aku janggal. Tapi sekarang tidak lagi. Sebab, dua satu hanya sebuah kiasan yang mungkin boleh diartikan: dua menuju satu.
Dia membuatku kembali bersemangat. Namun, aku masih tak berani menjadikannya sepotong hati yang baru. Sebab, bagi lelaki sepertiku, cinta adalah perbuatan dan pembuktian. Bukan lagi ucapan, apalagi pemikiran.
**
Ohya, aku adalah Joko Kuncoro (Jokun), lelaki yang pernah disengat luka cinta, tapi baik-baik saja.
Ape piye, we, Jok? ~