Jago merah? Tidak asing bukan? Jangan berpikir bahwa itu ayam jago. Ia adalah api merah yang membara. Nah, ini wujud dari duet maut yang sesungguhnya, antara sampah plastik dan si jago merah.
Pembakaran sampah terbuka, mungkin terlihat seperti hal yang sepele dan sudah menjadi hal yang lumrah dilakukan oleh masyarakat terutama ibu rumah tangga, tapi tahukah bunda banyak sekali bahaya yang terjadi dibuatnya.
Pengelolaan sampah plastik memang sudah sejak lama menjadi PR besar bagi Indonesia bahkan seluruh negara di dunia. Berdampingan dengan kegunaannya, plastik juga bisa menjadi bahaya bagi kehidupan makhluk bumi jika tidak dikelola dengan baik.
Menurut data yang dilansir dari Waste4Change, Indonesia menghasilkan sampah sebanyak 175.000 ton per harinya, namun hanya 7,5% saja yang mampu di daur ulang dan dijadikan kompos.
Sisanya, sebanyak 10% sampah ditimbun, 5% dibakar dan 8,5% tidak terkelola. Ditambah lagi dengan tren belanja online dan sampah medis pada masa pandemi covid-19 yang masih belum bisa terkelola dengan baik.
Data dari SUSENAS, modul ketahanan sosial pada tahun 2017 juga menyatakan bahwa 7 dari 10 keluarga di Indonesia lebih memilih untuk membakar sampah yang menumpuk di rumahnya karena dinilai lebih praktis, cepat, dan murah.
Namun, pada kenyataannya pembakaran terbuka ini sangatlah berbahaya baik bagi manusia, hewan, maupun alam sekitar.
Selain dari emisi gas rumah kaca, duet maut antara sampah plastik dengan si jago merah juga sangat berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Asap dari pembakaran sampah plastik 350 kali lebih berbahaya daripada asap rokok.
Karena, saat membakar plastik tanpa kita sadari terjadi pelepasan zat berbahaya ke udara seperti karbonmonoksida yang menyebabkan pusing dan sakit kepala, karbon dioksida yang mengganggu alat pernapasan juga mengurangi lapisan ozon.
Selain itu, zat kimia furan dan doksin yang berpotensi menghasilkan penyakit kanker dan apabila terhirup ibu hamil dapat menyebabkan kecacatan janin, volatil yang menyebabkan gangguan pernapasan seperti iritasi pada saluran nafas, asma hingga penyakit paru-paru kronis.
Belum lagi kandungan PM 2,5 yaitu partikel kecil berbaya yang tak kasat mata dan dapat menembus masker dengan mudahnya. Dan yang lebih parahnya lagi semua zat berbahaya itu bertravelling dengan bebasnya di udara karena tertiup angin.
Setelah itu terhirup oleh kita atau bahkan menempel pada makanan yang pada akhirnya kita makan.
Semenyeramkan itu kan, bunda?
Terlebih lagi pada masa pandemi ini, ibarat bensin asap pembakaran juga dapat memicu cepatnya penyebaran covid-19. Oleh karena itu bunda, ayo kita kelola dengan baik demi kesehatan keluarga, lingkungan dan sesama.
Lalu sampahnya dikemanakan? Dikubur? Dibuang ke sungai? Atau dibuang ke laut? Tentu tidak bunda. Itu bukanlah jalan lain, melainkan jalan menuju bahaya lain.
Caranya adalah dengan mengurangi produksi sampah rumah tangga, dengan mengatur dan mendata segala kebutuhan yang diperlukan dan dibeli secara bersamaan sehingga mengurangi sampah yang masuk ke rumah.
Lalu pilah sampah sesuai jenisnya secara mandiri, jika belum mengetahui cara untuk mendaur ulangnya, maka serahkanlah sampah tersebut kepada perusahaan pengelola sampah agar tidak menumpuk.
Cara ini memang bukan hal praktis seperti membakar dan sekedar membuang, namun dengan cara inilah kita dapat melindungi bumi, seluruh makhluk hidup dan mewujudkan Indonesia yang sehat.
Penulis lahir di Sumedang. Saat ini menjadi mahasiswa Universitas Padjajaran di fakultas Ilmu Budaya jurusan Sastra Arab angkatan 2021.