Apa yang akan terjadi ketika jari telunjuk dibiarkan mengacung dan mengarah ke depan? Oh, tentu saja akan menjadikan empat jemari lainnya menunjuk ke arah diri-sendiri.
Pengetahuan seperti itu saya dapatkan di usia menjelang remaja. Dan teman-teman begitu antusias menjelaskan filosofi sederhana tersebut kepada saya, ketika saya masih berbahagia menikmati layanan 0.facebook.com.
Teman saya memperjelasnya dengan kalimat yang bagus, “Hal itu berarti ketika seseorang dengan mudah menyalahkan orang lain, sebenarnya tidak lain ia sedang menuding dirinya sendiri. Bahkan dengan penekanan yang berlipat-lipat”.
Sejatinya informasi tersebut telah tersimpan rapi dalam kotak kenangan masa silam, tetapi maraknya kejadian akhir-akhir ini memaksa saya mengingatnya lagi.
Pada 14 Oktober kemarin, lautan kesedihan tengah membasahi lini masa media kita. Sulli, mantan personel girl group f(x) ditemukan meninggal dunia di kediamannya, Seongnam, Korea Selatan.
Perempuan yang bernama asli Choi Jin-ri itu diduga kuat—meski penyelidikan dari polisi belum tuntas—meninggal karena bunuh diri. Hal itu disinyalir akibat terlalu banyak netizen yang mempersekusi, membully, hingga menyerang sisi personalnya.
Ketika peristiwa itu terjadi, nama Sulli menjadi perbincangan masyarakat dunia. Ia memuncaki trending topic di twitter.
Siapa saja yang entah kenal atau tidak, rata-rata membahasnya dan memberi kesimpulan berharga: masalah depresi bukanlah perkara sepele, dan mudah menghakimi seseorang rentan memicu tekanan mental.
Jika bisa melihat lebih jeli, rentetan kasus ini sejatinya bukanlah suatu yang ekslusif. Dengan kata lain, kejadian seperti ini marak terjadi di keseharian, dan apa yang menimpa Sulli pada akhirnya adalah fenomena gunung es. Yang berarti, di tingkatan lereng pengetahuan kita, masih berlimpah jumlahnya.
Saya kira, ini tidak lepas dari budaya kita yang menganggap lazim perkara menyalahkan. Terutama terkait sikap atau pilihan seseorang yang pada taraf tertentu, kerap diiringi dengan makian yang lumayan membikin daun telinga berubah warna merah menyala.
Sebut saja detik-detik Pemilu kemarin. Seseorang akan mudah dipanggil Cebong (oh izinkan saya membuatnya lebih lucu dengan menggantinya “cheby”) ketika memilih Joko Widodo, dan dengan gampang pula disebut Kampret (maaf, untuk ini saya juga meminta izin untuk menggantinya supaya terdengar menggemaskan dengan “prety”) ketika dalam barisan pendukung Prabowo Subianto.
Fenomena Cheby dan Prety menjadikan perdebatan sendi-sendi hidup kian mengkhawatirkan. Seseorang bisa lebih mudah mendapat penghakiman berkali-kali. Dan yang patut membuat kita waspada, inovasi menyalahkan manusia kian ditunjang dengan penggunaan mesin boot di media sosial.
Ananda Badudu, Eks Vokalis Banda Neira mencuit di Twitter baru-baru ini. Ia mengaku kesulitan mengakomodir mesin-mesin boot yang menyerangnya.
“Capai juga lama-lama ngeblok-ngeblokin boot yang hobinya doxing dan kirim reply pesan ‘anjing goblog mati aja lu’…” tulis Nanda.
Sebagai konteks, akun twitter Nanda mulai terlihat diserang “tentara cyber” itu sejak ia membantu logistik dan kesehatan aksi demonstrasi September lalu. Dan sejak itu, umpatan makian bernada menyalahkan hinggap di akunnya.
Sayangnya, kita tidak bisa memastikan kejadian yang menimpa Sulli dan Nanda akan dapat selesai dalam beberapa pekan saja. Malahan dari gelagat yang ada, inovasi macam itu berpotensi terus lahir berlipat-lipat.
Hanya saja, di antara sedikit yang bisa kita lakukan, saya kira kita bisa dimulai dari diri sendiri. Caranya, sebelum menuding orang lain satu kali, ada baiknya kita menanyakan diri-sendiri empat kali.
Bisakah kita melakukannya? *