Daripada Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berkenaan (SILPA) APBD Bojonegoro kerap masih banyak sisa, gimana kalau Pemkab invest bikin lapangan bola saja?
Para pesepakbola suka-suka kini mulai marak bermunculan. Dari tim bentukan desa, instansi kantor, bahkan perkumpulan di warung kopi mulai membuat tim sepakbola berbasis senang-senang.
Nabs, sebagai orang yang suka berhitung dan membaca, saya bisa membaca peluang investasi. Ya, potensi investasi sudah bisa terdeteksi di sini, karena tidak dipungkiri para tim bentukan baru ini selalu kebingungan untuk mencari lapangan yang fasilitasnya mumpuni.
Sebenarnya permasing-masing desa sudah banyak lapangan sepakbola, cuman ya begitu sih kondisinya. Masih banyak yang geronjal-geronjal.
Bayangkan jika lapangan sepakbola milik desa ini diperbaiki, keuntungan pendapatan desa akan ikut terbantu. Ya, minimal dibuat layak dulu aja untuk bisa dipakai bersepakbola. Dari mulai yang lubang-lubang bisa ditutup, kemudian rumputnya juga dipotongi.
Dari mulai hal kecil itu aja minimal sudah bisa dipakai hiburan untuk warga desa yang ingin latihan sepakbola. Pasti ada dong di setiap desa yang main bola, masak cuma mainin hati si dia. Eh ~
Yang harus diketahui oleh masyarakat dunia, tiap lelaki yang lahir di Bojonegoro, ditakdir suka dan setidaknya mengenal sepakbola.
Okedeh coba sekarang kita itung-itungan untung. Misalkan setiap desa punya satu aja lapangan yang layak pakai itu bisa disewakan dengan harga Rp 200 – 250 ribu per 3 jam atau sebanding dengan 1 kali pertandingan dalam 180 menit.
Jika ada setiap tim yang bermain di lapangan itu, maka kita itung 250.000×30 hari untuk sore hari + Sabtu-Minggu pagi 250.000×8 hari. Rp 7.500.000 + 2.000.000 = Rp 9.500.000 – 1.500.000 maintenance (bayar tukang bersih+potong rumput) = Rp 8.000.000.
Nah, itu keuntungan desa setiap bulan jika dihitung full. Ya, Desa bisa menghasilkan Rp 96.000.000 per-tahun.
Lalu pertanyaannya, apakah Rp 250 ribu bagi tim sepakbola tergolong mahal? Tentu tidak. Buat tim yang banyaknya minimal ada 22 orang, itu sangat murah. Coba kalau kita bagi, akan ketemu Rp 12 ribu setiap orangnya.
Itungan tadi adalah yang paling murah dan dibawah standar nasional. Jika kita bandingkan dengan hitungan lapangan standar nasional seperti di Boyolali. Harga sewa lapangan per pertandingan bisa mencapai Rp. 4 juta. Luar biasa bukan?
Ya tapi harus standar internasional. Dari rumputnya impor, tekstur tanah, fasilitas seperti toilet dan ruang ganti, tempat duduk pemain semua fasilitas sudah lengkap disana.
Bahkan jika harus main disana harus boking 2 bulan sebelum pertandingan, saking full boking lapangan. Dan yang main disana tidak hanya warga Boyolali, lebih banyak yang dari luar kota. Banyak yang saling berebut mencari lapangan disana.
Satu lapangan saja sudah bisa menghasilkan Rp 4 juta, dan jika dikalikan perbulan bisa mendapatkan 120juta. Bagaimana jika mereka punya 5 lapangan di setiap daerah seperti Boyolali.
Kita kalikan yuk.. 120 juta × 5 lapangan = Rp 600 juta per bulan. Kalau setahunnya berapa Nabs? 7,2 Miliar pertahun. Mantab gak tuh, Nabs..
Terus untuk operasional dan maintenance bagaimana? Yaudah kita potong dari 20% aja, akan ketemu 5,7 Miliar lo bersihnya.
Tidak hanya untung uang, ketika Boyolali terkenal dengan lapangan sepakbolanya yang bagus secara otomatis branding kota juga akan terbentuk. Aktivitas ekonomi juga pasti akan ikut naik.
Nah Bojonegoro bagaimana nih, tertarik gak tuh untuk investasi lapangan? Daripada SILPA masih sisa banyak, yuk bikin lapangan sepakbola.
Kalau menurut hitungan pembuatan lapangan yang standar nasional biayanya mencapai Rp 500 – 800 juta. Hmm.. bisalah kalau untuk APBD 6,7 Trilliun. xixixi
Tapi, Nabs, lha wong mau main bola di stadion Letjend H. Soedirman yang nyata-nyata sudah ada saja, birokrasinya sesulit mau bikin KTP kok, masak Pemkab yang budiman ini mau invest lapangan bola.
Tapi, lagi-lagi, segala hal di dunia ini bisa terjadi. Bahkan jika itu amat mustahil. Bukan begitu, Nabskuuuh ~