Lailatul qadar bukan hanya sekadar malam yang lebih baik dari seribu bulan. Lebih dari itu, terkandung usaha dan do’a untuk meraihnya dan melakukan tadabur atas peristiwa tersebut.
Lailatul qadar, dalam teks-teks pelajaran di Madrasah Ibtidaiyah (MI) hingga Madrasah Aliyah (MA) ada kesamaan, yaitu malam yang lebih baik dari 1000 bulan. Itulah kalimat yang sering keluar dari guru-guru ketika menjelaskan malam yang konon harus dicari dan ditunggu-ditunggu itu, Nabs.
Bagi yang percaya, ya tidak apa-apa. Namun bagi orang-orang yang kurang percaya, mungkin menganggap lailatul qadar hanya sebatas dongeng yang terkandung unsur mitos di dalamnya. Pandangan seperti itu, biasanya diutarakan oleh beberapa orientalis yang konon mengedepankan rasio dalam hal apapun itu.
Bukan berarti anti orientalis. Mengedepankan rasio, berarti mensyukuri nikmat Tuhan berupa akal. Ketika manusia dikaruniai akal, namun tidak digunakan secara baik, manusia ibarat hewan, bahkan bisa lebih liar cum biadab dari pada hewan. Namun, segala sesuatu ada batasnya, bukan berarti terus nerimo ing pandum. Ada usaha dan do’a terlebih dahulu, baru sebagai abdul atau hamba, berserah. Itu menunjukkan bukan lemah plus bodoh, melainkan ada zat yang Maha Kuasa.
Nabs, masyhur di telinga, kalimat berpikirlah tentang ciptaannya, jangan berpikir tentang zat-nya. Tersirat sebuah batasan, Tuhan bisa didekonstruksi, namun dalam dekonstruksi yang terbatas. Begitupun dengaan lailatul qadar.
Lailatul Qadar, Sebuah Pengalaman Belajar
Lailatul qadar merupakan malam diturunkannya Al-Qur’an. Banyak pandangan tentang lailatul qadar, begitupun juga banyak pandangan tentang Al-Qur’an. Ketika duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah (MTs), guru mata pelajaran Al-Qur’an Hadis ‘Bu Alfi Zuhara’, menyuruh saya dan kawan-kawan untuk menghafal pengertian Al-Qur’an secara etimologi/bahasa dan terminologi/istilah. Hingga sekarang, masih teringat.
Dalam buku Al-Qur’an Hadis, disebutkan bahwa, secara etimologi atau bahasa, Al-Qur’an berasal dari kata qoro’a–yaqro’u–qur’anan yang artinya membaca (bacaan) kemudian secara terminologi atau istilah berarti, firman Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril yang berfungsi sebagai mushaf yang diturunkan secara mutawattir (berangsur-angsur) dan bernilai ibadah bagi orang yang membacanya.
Kalimat tersebut membekas dalam pikiran. Kemudian, ketika duduk di bangku Madrasah Aliyah (MA) dipertemukan dengan ‘H.Roli Abdurrahman’. Pak Roli, begitu biasanya saya dan kawan-kawan menyapa. Metode pengajaran Pak Roli, berbeda dengan guru-guru yang lain, ada maksud tersirat bahwa siswanya harus menjadi independent learner atau menjadi pembelajar yang mandiri.
Saya kurang tertarik kalau ada hafalan-hafalan. Namun, ketika disuruh mencari ayat Al-Qur’an tematik dan saban siswa disuruh menguraikan, bagi saya hal itu amat menyenangkan dari pada hafalan. Selain itu, ketika mata pelajaran Al-Qur’an Hadis yang diampu oleh Pak Roli, harus menulis dengan tulisan latin. Hal tersebut memberikan khazanah qur’ani dalam pikiran dan sebagai bekal untuk belajar di tingkatan lanjut.
Namun, belajar Al-Qur’an, tidak bisa lepas dari peran ibu yang dulu mblajari ngaji setelah maghrib dan bapak yang mblajari ngaji (membaca) sebelum tidur. Dan juga guru-guru TPQ di Masjid Baitur Rahmat Desa Campurejo, guru-guru di Madrasah Ibtidaiyah (MI), dan lain sebagainya.
Ketika duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah (MI), ada sebuah sense ketika membahas Al-Qur’an wa bil khusus ketika Alm. Pak Udin melakukan tilawati qur’an surat Al-Qadr dan Al-Alaq. Karena, dulu ketika MI wa bil khusus pondok ramadhan, sebelum pembelajaran dimulai, sang maestro tilawati tersebut membaca surat-surat pendek melalui pengeras suara dan siswa-siswa melakukan tadabur ayat di kelas dengan juz ama.
Secara garis besar, dalam pengajaran materi Al-Qur’an di madrasah maupun sekolah-sekolah umum, dilakukan secara tekstual dan ada juga beberapa yang melakukan pembelajaran Al-Qur’an secara kontekstual. Namun, ada suatu yang absen alias tidak hadir yakni analisis kelas.
Qur’ani Bukan Hanya Sekadar Bil Hafali
Di tahun 1443 H atau dalam kalender China ada shio Macan. Banyak dijumpai orang-orang yang hafal al-qu’ran 30 juz dan sekolah model tahfidz banyak ditemukan di negara dalam kungkungan oligarki ini, dimana lagi kalau bukan di Indonesia. Hal tersebut patut diapresiasi. Namun juga perlu kritis ihwal niat untuk menghafal. Apakah niat ingsun ngapalke qur’an krono beasiswa, niat ingsun ngapalke qur’an kanggo oleh Laila, niat ingsun ngapalke qur’an kanggo melok lomba atau niat ingsun ngapalke qur’an krono Allah Ta’ala?
Fenomena lomba-lomba hafalan Qur’an jamak ditemui. Dari tingkat anak-anak hingga perguruan tinggi. Orang-orang yang hafal qur’an, bukan suatu fenomena yang baru. Karena ulama-ulama muslim pada masa kejayaan Islam juga sudah banyak yang hafal Al-Qur’an, hadis, dan kitab-kitab. Namun sekarang, apakah banyaknya orang yang hafal Al-Qur’an memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peradaban?
Banyak opini terhadap pertanyaan tersebut. Namun di era kiwari, tetap ada pengaruhnya, salah satu di antaranya meminimalisir kekacauan, namun belum begitu memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peradaban apabila dibandingkan dengan era Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Al-Khawarizmi, dan lain sebagainya. Karena dari karya-karya mereka, peradaban barat memperoleh pencerahan. Melalui proyek penerjemahan karya-karya klasik ulama Muslim, menjadikan bangsa Barat dari the dark age menuju abad pencerahan.
Kalau sekarang, mengapa ulama-ulama di era kiwari tidak bisa digdaya berkarya kalau dibandingkan dengan era keemasan Islam? Dalam buku karya Ahmet T. Kuru Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan (2021) diungkapkan secara ilmiah mengapa ulama-ulama kontemporer mengalami kemunduran peran ketika dibandingkan dengan ulama-ulama klasik.
Salah satu di antaranya kedekatan ulama’ dengan umara’. Seyogianya ulama’ memiliki suatu border agar independensinya tidak dicampuri cum senantiasa diganggu umara’. Fokus pada tugas keumatan dan literasi. Membaca, berdiskusi, menulis, dan pengejawantahan berupa aksi nyata, bisa melalui pengabdian secara indi di bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan lain sebagainya. Nampaknya konsep gusjigang ala Sunan Kudus perlu diterapkan.
Selain itu, politisasi kata ‘ulama’. Dan mungkin telah terjadi istilah ‘ulama’ yang membunuh ‘ulama’ itu sendiri. Menurut KBBI V daring, ulama’ adalah orang yang ahli dalam hal atau pengetahuan agama Islam. Mengapa pengetahuan agama Islam saja? Bukan pengetahuan sosial juga? Ada suatu yang absen dalam denyut nadi beberapa orang tentang ulama’. Dan seorang ulama yang sesungguhnya, bukan hanya ahli dalam bidang agama Islam, melainkan juga menguasai di bidang keilmuan yang lain seperti sosial, ekonomi, filsafat, tarikh, siyasah, dan lain sebagainya.
Bahwasanya, agama Islam merupakan agama yang progresif. Karena, kalau orang itu sungguh-sungguh belajar kitab kuning, misalnya fathul qorib, dan memperoleh sanad keilmuan yang sahih, ilmu tentang salat, wudlu, bersuci, dan lain sebagainya akan diperoleh.
Karena dalam khazanah kitab kuning, dalam satu kitab terdapat bagian-bagian atau cabang keilmuan lain. Misalnya, bahasan tentang filsafat, juga ada bahasan tentang tarikh, siyasah, dan lain sebagainya. Apabila ulama’ jauh dari khazanah kitab kuning, mungkin perlu dipertanyakan ke-ulama’an-nya.
Dan ulama’ yang sesungguhnya adalah ulama’ yang bisa melahirkan ulama’-ulama’ baru terlebih dari kalangan orang-orang biasa. Misalnya Syekh Nawawi Al-Jawi Al-Bantani (dikutip dari tirto.id, Syekh Nawawi ulama progresif dari Banten dan muridnya terlibat dalam pemberontakan petani di Banten), melahirkan ulama’: Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Ahmad Dahlan. Nah, itu jelas keulamaannya.
Yang perlu di garis bawahi, ulama’ tidak pernah mendeklarasikan dirinya sebagai ulama’ secara vulgar, namun umatlah yang sebanarnya tahu ihwal keulamaan itu. Dan ulama’ bukan hanya sekadar mengejawantahkan qur’ani bil hafali melainkan sudah pada tahapan qur’ani bil amali.
Pentingnya Analisis Kelas
Seorang ulama’ atau orang-orang yang suka berdakwah dengan mic cum bertarif, harus rajin-rajin membaca kitab-kitab merah yang terkandung analisis kelas di dalamnya. Jangan alergi. Karena melakukan pengamatan berdasar materialisme, dialektika, dan historis itu penting.
Agar tahu posisi, siapa yang dibela? Penguasa yang terkadang banyak zalimnya atau orang-orang jelata yang teraniaya?
Wacana lailatul qadar yang menggebu-gebu, mungkin bagi buruh-buruh, petani yang berpikiran besok bisa makan merupakan suatu anugerah luar biasa dan ibarat berangkat haji ke Makkah, itu lebih diangan-angan dari pada wacana lailatul qadar, apalagi wacana lailatul qadar yang disampaikan dengan gaya-gaya bucin yang overdosis, gak masuk blas.
Tukang becak, apakah masuk kalau diberi pemahaman ihwal lailatul qadar dengan gaya seperi itu? Apalagi keagamaan gincu, yang hanya mementingkan Islam dalam hal berpakaian. Tukang becak, buruh, dan petani-petani, pasti ada perasaan grogi ketika misalnya mengikuti pengajian atau dakwah dengan pola-pola seperti itu.
Dan sitem tersebut bukan semata-mata qadarullah, melainkan ada sistem yang melahirkan pola-pola dalam kehidupan. Yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin dimiskinkan. Pernahkah Anda menjumpai ulama’, pendakwah, atau ahli agama di daerah-daerah konflik agraria? Atau di daerah konflik SARA?
Nabs, maka dari itu, perintah yang pertama kali turun dalam Al-Qur’an adalah perintah untuk membaca (iqra’). Bacalah dengan menyebut nama Tuhan…, membaca fenomena alam wa bil khusus fenomena sosial, merupakan tugas semua orang, dan khususnya orang-orang yang mendaku diri sebagai pemuka agama (Islam). Karena sejatinya, Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis, merupakan agama yang progresif dan rahmatan lil alamin. Bukan hanya sekadar rahmatan lil nahdliyin atau rahmatan lil muhammadliyin. Wallahu a’lam bishawab.