Belajar adalah esensi dari eksistensi hidup manusia. Tiada hari, dalam hidup manusia, tanpa proses belajar.
Puasa mengajarkan nilai egaliter bagi kita semua. Siapa pun orangnya pasti akan merasakan lapar dan haus saat tidak makan dan minum dari waktu Subuh hingga Magrib. Pukul 10 hingga 12 menjadi waktu krusial bagi otang yang berpuasa: Saat rasa haus dan lapar mulai mendatangi. Sama dan egaliter.
Begitupun saat waktu berbuka puasa tiba. Segelas air putih, es teh manis, es degan, kopi pahit, atau aneka minuman lain terasa segar. Badan kembali bertenaga dan konsentrasi pulih. Puasa juga memberi tanda bahwa tidak butuh makan dan minum berlebih untuk mendapat energi bagi tubuh beraktivitas. Makan dan minum cukup, tidak berlebihan. Itu yang terbaik.
Puasa kita di Indonesia kurang lebih berlangsung 13-14 jam. Tidak sampai sehari penuh dua-puluh-empat jam. Durasi waktu itu saja sudah menunjukkan tubuh kita tidak berenergi untuk sekian waktu. Bayangkan jika tubuh kita tidak diberi energi dari makan dan minum selama sehari, sepekan, sebulan, dan bahkan setahun. Tentu tubuh akan lemas, tidak berenergi, kekurangan gizi, dan rusak.
Tubuh manusia normalnya membutuhkan makan dan minum untuk aktivitas dan pertumbuhan fisiknya. Gizi yang diperoleh dari makan dan minum adalah sumber kekuatan dan energi bagi aktivitas tubuh. Mustahil manusia dapat tumbuh, berkembang, dan hidup normal tanpanya.
Sebagaimana fisik manusia yang membutuhkan gizi dari makanan dan minuman, akal manusia juga sama. Akal manusia, menurut Kiai Dahlan, serupa biji pohon yang ditanamkan ke bumi. Supaya biji itu dapat tumbuh dan menjadi pohon besar jika terus disirami dan diberi makanan.
“Akal manusia,” kata Kiai Dahlan, “Tidak akan tumbuh dan berkembang dengan sempurna apabila tidak disirami dengan pengetahuan.” Akal manusia tidak akan tumbuh, berkembang, dan melaksanakn tugasnya dengan baik jika tidak mendapat energi dan gizi dari makanan dan minuman berupa ilmu pengetahuan.
Akal yang diberi gizi ilmu pengetahuan secara kontinyu dan bertahap akan tumbuh dengan baik. Akal yang bertumbuh dengan baik akan menegaskan sekaligus menguatkan kedudukan dan kemuliaan manusia sebagaimana kudrat penciptaannya: Makhluk terbaik.
Ilmu pengetahuan yang senantiasa dicari dan diupayakan adalah kunci yang dapat mengubah akal potensial manusia menjadi akal aktual. Akal potensial ini dimiliki setiap manusia yang lahir sebagai karunia Tuhan. Akal potensial ini akan menjadi berfungsi dan menajdi akal aktual yang memiliki daya guna dalam kehidupan manusia jika mendapat asupan ilmu pengetahuan yang cukup dan memadai.
Dengan demikian, meski Tuhan menganugerahi setiap manusia dengan akal, namun tidak semuanya memiliki kemampuan akal yang setara. Ketidaksetaraan itu disebabkan sebanyak, sebaik, dan sebagus asupan ilmu pengetahuan yang diberikan bagi akal.
Akal (aktual) adalah letak kedudukan mulia manusia, sementara ilmu pengetahuan adalah gizi penting bagi akal. Maka belajar adalah instrumen penting yang memungkinkan semuanya berjalan linier. Belajar, secara filosofis adalah untuk menjadi manusia sesuai kudratnya. Belajar adalah upaya untuk memberi ilmu pengetahuan bagi akal agar tumbuh berkembang sesuai kudratnya.
Belajar, oleh karena itu, adalah hidup itu sendiri. Hidup yang tidak dihidup-hidupi dengan giat dan semangat belajar, sejatinya telah “mati” sebelum maut menjemput. Belajar adalah esensi dari eksistensi hidup manusia. Tiada hari, dalam hidup manusia, tanpa proses belajar.
Pendidikan Akal
Allah Swt adalah sebaik-baik perencana. Rencana detail, dan terperinci. Termasuk detail terkait penciptaan manusia. Manusia diciptakan Allah Swt dengan maksud dan tujuan. “Sesungguhnya maksud dan tujuan semua makhluk itu,” terang Kiai Dahlan, “Pasti dapat dicapai apabila menurut jalan dan waktunya. Sebab semua keadaan dan kejadian itu adalah kehendak Allah. Dan Tuhan telah menyediakan segala keadaan yang dimaksudkan manusia.”
Sebelum menciptakan manusia, Allah Swt telah menyiapkan bumi dengan aneka fasilitas yang memungkinkan manusia hidup dengan baik dan tidak kekurangan.
Selain dengan fasilitas yang top-rated, Allah Swt juga memberi potensi akal bagi manusia untuk mengelola fasilitas istimewa itu untuk naik ke kehidupan yang lebih baik. Semua terencana dengan sangat baik.
Akal yang dimiliki oleh manusia merupakan bagian dari skenario Allah Swt. Pemanfaatan akal dengan optimal adalah tugas krusial manusia dalam keseluruhan kehidupannya. Pemanfaatan akal manusia menjadi domain manusia yang menjadi pembeda kondisi aktual manusia yang satu dengan lainnya.
Pemanfaatan akal yang paling pertama adalah dengan mendidik akal dengan baik. Mendidik akal artinya melatih dan mengenalkan akal pikiran dengan proses berpikir yang baik, sistematis, dan metodologis. Sederhananya, berpikir ilmiah, menurut ukuran dunia kiwari.
Akal yang telah dididik untuk berpikir dengan baik menurut ukuran-ukuran ilmiah, adalah kunci untuk memperoleh kebenaran. Kebenaran harus menjadi produk akhir yang dicapai oleh akal manusia. Akal yang mampu berpikir dengan baik akan mengantarkan pemiliknya kepada kebenaran.
“Akal yang sehat ialah akal yang tidak terkena bahaya. Adapun akal yang sehat itu ialah akal yang dapat memilih segala hal dengan cermat dan pertimbangan, kemudian memegang teguh hasil pilihannya tersebut,” pesan Kiai Ahmad Dahlan.
Pesan Kiai Dahlan di atas menegaskan pentingnya memiliki akal yang sehat dan berfungsi dengan baik. Akal yang sehat akan mampu mencari, menyelidik, dan menimbang-nimbang banyak hal untuk kemudian menyimpulkan suatu kebenaran. Mendidik akal untuk memiliki kemampuan berpikir dengan baik adalah keharusan.
Setelah manusia memperoleh kebenaran hasil dari olah pikir akalnya, manusia haruslah menetapi kebenaran tersebut. Hingga ujung akhirnya adalah menjadi pengamal kebenaran tersebut.
Kebenaran sebagai hasil olah pikir manusia akan menjadi sumber kebaikan saat dihadirkan di tengah manusia dengan amal perbuatan nyata. Akhirnya, kehidupan manusia dengan berlandaskan kebenaran dan kebaikan akan makin indah.
Manusia, akal, dan seluruh turunan produk akal berupa kebenaran-kebaikan-keindahan adalah ciptaan Allah Swt. Sehingga ujung pangkalnya adalah apa yang menjadi kehendak dan ketentuan Allah. “Bagaimanapun pengetahuan manusia itu hanya akan diperoleh jika mendapat petunjuk Allah yang Maha Mengetahui dan Bijaksana,” kata Kiai Dahlan.
Kiai Dahlan menegaskan bahwa manusia memiliki kewenangan untuk mendidik akal, menumbuh-kembangkan akal, menggunakan akal. Namun produk akhirnya haruslah membawa pemiliknya semakin mendekati dan menginsafi kedudukan Allah dalam bentuk leribadatan dan penghambaan.
Akal yang mengantarkan pemiliknya kepada ketundukan keada Tuhan adalah akal yang mendapat petunjuk. Untuk mencapainya, maka “Segala upaya untuk menyiram akal dengan pengetahuan harus sejalan dengan kehendak Allah Maha Kuasa,” pesan Kiai Dahlan.