Menyambut kebahagiaan memang bisa dilakukan dengan ragam cara. Lebaran adalah kebahagiaan kolektif yang untuk merayakannya pun, tak harus sama.
Takbir sambil oklek menghiasi musala-masjid di pedesaan. Ada juga yang takbir di jalanan sambil memutar mp3 dengan sound system fantastis. Bila sudah lelah takbiran, pilihan takbir digital sebagai gantinya. Tinggal di-play “takbir, takbir, takbir” gadget, kemudian didekatkan kepada microphon musala-masjid.
Fenomena unik tersebut adalah fakta takbiran kekinian. Bentuk keunikan yang lain, malahan setiap yang mempunyai gadget, diputar video takbiran lalu didengarkan sendiri dengan niatan menghidupkan malam hari raya. Itu terjadi di warkop saat melihat status orang lain.
Potret memeriahkan takbir kekinian patut diapreasi. Mungkin dengan cara demikian mereka niat menghidupkan malam lebaran. Mungkin pula dengan alat kekinian, perangkat teknologinya juga dipaksa untuk ikut takbiran. Biar bila Tuhan mengasih “ganjaran” akan mengalir juga kepada pemiliknya.
Ada lagi yang viral malam lebaran, jagad medsos lagi banjir flayer ucapan hari lebaran. Dari lembaga pendidikan, ormas, perorangan dan lainnya nongol semua. Ini selain ada muatan viralisasi hadirnya lebaran, juga dalam rangka promosi terhadap institusi yang dinaungi. Apalagi hadirnya malam lebaran interes untuk melihat update status tinggi. Alhasil, status apapun yang sedang dipublis, akan memancing netizen untuk melihat dan mengomentarinya.
Lalu, jika kita tengok kepada penjahit, pada malam lebaran juga banjir orderan. Mulai dari menjadikan setelan baju, memotong bagi baju hasil berburu yang kepanjangan, hingga merampingkan bagi yang ukuran badannya slim fit.
Apalagi, saat lebaran datang, masyarakat kita masih identik dengan “baju baru”. Maka, cara para penjahit memeriahkan malam lebaran adalah dengan mendengarkan takbiran “digital” sambil menjahit. Dengan begitu, sentuhan digital “takbir, takbir, dan sekali lagi takbir” selian membuatnya semangat menuntaskan THR jahitan, juga agar nuansa merayakan lebaran memberkahinya sehingga orang kembali menjahitkan baju kepadanya.
Dari sisi ibu-ibu, juga tidak kalah heboh dalam memperingati malam lebaran. Dari yang membuat snack hidangan hari raya, hingga menyiapkannya di toples, lodong (baca: Jawa) hingga tertata rapi di meja. Tidak lupa, sekalian mengganti popok meja (baca: taplak) meja yang sudah usang dengan yang baru, sambil mendengarkan takbir yang bergema melalui spiker masjid-musala yang ditambah televisi juga.
Ada lagi bagi lembaga non-formal (baca: TPQ), kemerian mengisi malam lebaran adalah dengan mengadakan turing jalan kaki sambil memegangi oncor. Takbir pun sekali lagi dipekikkan hingga generasi D (baca: generasi dini) sudah dilatih untuk ikut memeriahkan pawai takbir keliling kampung ketika malam lebaran.
Bagi yang jomblo, juga tidak kalah ikut merayakan lebaran. Cukup keluar jalan-jalan ke kota sebagai bentuk gaulisme kekinian, untuk berdesak-deskan memasuki alun-alun kota melihat kemerihan malam lebaran. Targetnya, agar hilal “perempuan” siapa tahu juga tampak sebagai calon kenalan, lalu pasangan, hingga kemudian jadi beneran. Maka tidak ayal, cara memeriahkan malam lebaran adalah dengan mengupdate status “menikmati takbiran di perkotaan”.
Yang terakhir, agak lucu dan memboroskan pendapatan, yakni kaum yang “uangnya” berlebih dengan menyalakan mercon, kembang api, saat lebaran datang. Bagi meraka, itulah cara menyambut ramadan. Walau tidak secara verbal-tulis termanifestasi kalam “takbir”, tapi bunyi letupan mercon yang dinyalakan adalah wujud dia menyambut ramadan.
Semoga melalui aneka cara menyambut lebaran ini, kita tidak gumunan. Inti mereka semua adalah menyemarakkan datangnya malam ramadan. Kalau ada yang kurang pas, kita tinggal bilang, lebih baik begini cara kamu menyambut lebaran ya! Selamat malam lebaran, ini potret lucu-lucuan saja, tapi niatnya sama, menyambut lebaran. Alhamdulillah.
*penulis adalah Dosen PAI UNUGIRI Bojonegoro.