Baju baru “seakan-akan” jadi perangkat wajib Hari Raya. Menjelang pungkasan Ramadan, mall, toko baju, serta pasar, sesak diserbu pembeli. Bandrol harga yang selangit, kalah oleh tradisi baju baru yang harus dipenuhi.
Lebih menyesakkan lagi, baju baru yang dibeli pun lebih dari satu. Jadi, lebaran pertama pakai baju baru ini, dan seterusnya, hingga stok baju barunya terpakai semua. Yang kemudian terjadi adalah, pagelaran kontes baju baru muslim-muslimah saat anjang sana dan sini dari tetangga ke tetangga.
Dalam nu.or.id, Ahmad Muntaha menyebut, bila substansi memakai baju baru melenceng menjadi sarana pamer dan gagah-gahan dihadapan orang, itulah yang tidak diperbolehkan.
Perlu diketahui, potret budaya baju baru kala lebaran sungguh kuat sekali. Padahal jauh-jauh hari, Abdul Hamid al-Makki asy-Syafi’i dalam kitab “Kanzu an-Najah wa as-Surur”: 263, telah memberi info inspiratif, bahwa Idul Fitri itu bukan milik kita yang berbaju baru, melainkan bagi siapa saja yang takwanya baru, dan setiap hari tiada maksiat di dalamnya.
Info inspiratif tersebut ingin mengangkat saudara kita yang kurangan, tujuannya agar tradisi “baju baru” tidak menjadi penghalang dan menjadi pemberat mereka untuk ikut bahagia, ceria, merayakan Idul Fitri.
Pada porsi ini, kita dilatih betul-betul menjadi pribadi bijak. Meski kita sangat berkecukupan, tetapi suri tauladan yang terbaik harus menjadi laku kehidupan dan terpotret nyata.
Tidak sekadar egosentris dengan mementingkan kebutuhannya sendiri, tetapi secara sosiologis memiliki empati tinggi terhadap sesama. Yakni, terhadap yang kekurangan, agar walau tidak memiliki baju baru, mereka bisa ceria bersama-sama kita menikmati hadirnya hari raya Idul Fitri.
Terhadap karakter inspiratif di atas, sebagai umat yang empati aditif, dalam KBBI online diartikan sebagai proses penghayatan emosi dalam konteks empati, sudah seharusnya kita jadikan budaya.
Bukan malah berlomba-lomba menunjukkan glamorisme baju yang dipakai, hingga kemudian yang terjadi saling gibah bila bajunya wah, mewah, fantastis harganya, dan lain sebagainya.
Jangan sampai pula, karena baju baru, substansi silaturahim menjadi formalitas. Bertemu, lalu pulang, dan mengesampingkan sekadar tanya kabar, mencicipi hidangan sebagai bagian dari rasa hurmat kepada pemilik rumah.
Perlu diingat, hadis Nabi dalam riwayat Bukhari dan Muslim menyebut bila jamuan dari pemilik rumah adalah sedekah.
Bahkan secara komprehensif, dalam kitab “Ghido al-Albab Syarh Mandzumah al-Adab”: 117, Muhammad bin Ahmad bin Salim as-Safarini, memberi tauladan manakala kita bertamu, antara lain:
Pertama, menyantap makanan (yang dihidangkan), tak perlu beralasan sudah kenyang. Kedua, tidak bertanya pada tuan rumah tentang sesuatu di rumahnya kecuali arah kiblat dan toilet.
Ketiga, tidak mengintip ke arah tempat wanita. Keempat, tidak menolak ketika dipersilakan duduk di suatu tempat dan (tidak menolak) ketika diberi penghormatan. Kelima, membasuh kedua tangan (ketika hendak makan dengan tangan), dan keenam, ketika melihat tuan rumah bergerak untuk melakukan sesuatu, jangan mencegahnya.
Jika demikian adanya, semangat memperbaiki batin kita kepada sesama dengan membuka diri melalui cara bermaaf-maafan adalah benang merah menghiasi perayaan Idul Fitri. Adapun terhadap baju baru, Islam sendiri mengajurkan untuk memakai baju dengan kategori terbaik saja.
Karena bila kemudian dipaksakan “baru” artinya item berbusana mulai dari baju, kerudung, kopiah, sajadah, sarung, sandal, celana, dan sejenisnya harus kategori baru, bermerk, hingga ada kwajiban untuk dress code dengan pola sarimbit, couple, dan sebagainya menjadi kebutuhan yang harus terpenuhi.
Di sinilah pesan bijak ajaran Islam perlu kita pelajari, agar laku tradisi yang terjadi, tidak lalu menjadi sarana massif mempertontonkan matrealisme keduniaan. Sehingga kita lupa, kurang empatik kepada sesama yang tidak mampu membeli baju baru, untuk sekadar bersama-sama ikut menikmati keceriaan lebaran Idul Fitri.
Mari lihatlah kepada yang kekurangan, agar muncul asa syukur, bahwa kita ternyata sudah berkecukupan atau setidaknya lebih berada dari mereka. Senantiasalah bersyukur, agar Allah tambahkan nikmat, karena kita menjadi pribadi yang terampil bersyukur.
Penulis adalah Dosen PAI UNUGIRI Bojonegoro dan Pengurus PAC ISNU Balen.