Tidak hanya pelengkap administrasi dan kenangan saja. Arsip sangat dibutuhkan sebagai sumber primer penelitian sejarah. Meski, kebudayaan mengarsip belum kental di masyarakat.
Nabs, dalam konteks penelitian sejarah, arsip dikategorikan sebagai sumber primer. Disebut demikian karena arsip merupakan pengetahuan tangan pertama (firsthand knowledge) dan rekaman sezaman dari suatu kejadian maupun peristiwa.
Sebagai sumber primer dalam penelitian dan penulisan sejarah, arsip merupakan komponen utama. Besarnya peran arsip dalam penulisan sejarah, membawa pemahaman bahwa tanpa arsip, maka tidak ada sejarah (no document no history).
Meski, budaya mengarsip masih kurang familiar di kalangan masyarakat. Bukan hanya masyarakat, kantor pemerintahan pun masih kerap kelabakan dalam urusan menyimpan arsip.
Dari permasalahan di atas, bisa dilihat bahwa kesadaran untuk mengumpulkan, menyimpan, maupun menata berbagai arsip yang dinilai berharga belum banyak dilakukan.
Bahkan, jika dikaitkan dengan persoalan kultur, kegiatan mengarsip dan kepedulian terhadap pentingnya arsip di Indonesia masih harus ditingkatkan. Mengingat, arsip teramat penting sebagai sumber penelitian.
Bahkan, sudah menjadi semacam kewajiban bagi peneliti sejarah yang menulis desertasi, mau tidak mau, harus keluar ke negara lain untuk mencari berbagai dokumen mengenai Indonesia.
Sejumlah tempat seperti Perpustakaan Universitas Leiden dan KITLV (Pusat Penelitian Bahasa dan Antropologi) di Belanda, Perpustakaan milik Universitas Cornell di AS, dan sejumlah tempat lain dikenal memiliki dokumen yang tergolong lengkap tentang Indonesia.
Bagaimana Kondisi Arsip di Bojonegoro?
Sejarawan Muda Bojonegoro, Okky Wisnu Widodo menyatakan, kultur arsip di Bojonegoro sangat minim. Alumni Fakultas Sejarah Universitas Airlangga Surabaya tersebut mengatakan, arsip sebagai identitas kota. Sangat penting.
“Harus ada untuk sebuah keberadaan dan simbol lokasi tempat maupun teritorial,” kata Okky.
Arsip, kata Okky, mempunyai ciri khusus yang berbeda dengan bahan pustaka. Di antaranya, arsip harus autentik dan terpercaya sebagai alat bukti yang sah. Informasinya utuh. Dan berdasarkan asas asal usul (principle of provenance) dan aturan asli (principle oforiginal order).
Okky masih ingat, pada 2014 lalu, dirinya membikin skripsi tentang perkembangan Bojonegoro pada 1968 – 1983 — masa bupati awal orde baru sampai bupati ketiga orde baru.
Padahal, sumber primer adalah arsip. Dan itu sangat penting. Terutama untuk mengangkat kembali masa lalu. Memunculkan benda terkubur ke daratan, kata Okky, satu-satunya hanya melalui arsip sejarah.
Kendala paling utama memang arsip. Tidak hanya di Bojonegoro. Di beberapa kota di Jawa Timur, masih banyak yang belum sadar terhadap arsip. Orientasinya, arsip yang gak layak pakai dan pajang, akan ditelantarkan dan dibuang.
Di Bojonegoro, kata Okky, nasib arsip banyak yang terbengkalai. Paling tua usianya hanya 1980-an. Itu dia buktikan di sejumlah stakeholder. Sebab, masa tinjau untuk penulisan sejarah, yang benar-benar sohih, minimal 20 tahun dari sekarang.
Penulisan sejarah untuk skripsi misalnya, butuh 10-15 sumber primer berupa arsip dan dokumen. Tentu itu menunjukkan bahwa arsip begitu sangat penting. Karena itu, sebelum waktu berjalan terus, arsip harus disiapkan.
Okky berharap agar masyarakat maupun pemerintah bisa kembali meningkatkan dan membudayakan kultur menyimpan arsip. Terlebih, harus disiapkan sejak usia dini.