Selain mengajarkan konsep berbasis karakter, Madin juga mengajarkan keteladanan secara langsung. Ini alasan lembaga pendidikan non formal tersebut bisa bertahan di tataran sosial masyarakat kelas rendah maupun menengah.
Tentu tak heran ketika menemui lembaga Madin yang mulai banyak berdiri di tiap daerah. Seperti Madrasah Diniyah Roudhotul Mubtadi’in Sugihwaras Kabupaten Bojonegoro yang berdiri puluhan tahun dan masih bertahan hinga hari ini.
Akhir-akhir ini kebudayaan dan kultur keagamaan di tataran sosial masyarakat mulai terkikis dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, pasti ada beberapa faktor yang mempengaruhi dari setiap perubahan prilaku dan moral manusia didominasi oleh perkembangan dunia.
Perlu kita ketahui bahwa Modernisasi menjadi subjek faktual bahwa kehidupan sosial masyarakat mudah terbawa arus perkembangan zaman, seperti merambatnya gadged yang sudah dimiliki dari setiap anak didik disekolah formal maupun non-formal, ditambah lagi akses internet yang bisa djangkau disegala pelosok desa.
Kebudayaan dan kultur masyarakat yang ada kaitanya dengan keagamaan seperti mengaji di Mushola/Masjid yang sudah menjadi tradisi orang-orang terdahulu hari-hari ini mulai hilang.
Dengan demikian Madin Roudhatul Mubtadi’in memiliki peran penting dalam menetralisasi arus perkembangan modern terhadap santri-santri putra-putri. Kehadiran Madin menjadi solusi terbaik bagi masyarakat sekitar untuk menempa pendidikan baru dengan kitab-kitab klasik yang dipelajari oleh orang-orang terdahulu. Misalnya melatih mental santri dengan pelatihan Muhadoroh setiap se-minggu sekaligus hadrah.
Sementara itu karakter, secara bahasa, kata karakter berasal dari bahasa Yunani “chsrassein”, yang berati barang atau alat untuk menggores, yang dikemudian hari dipahami sebagai stempel/cap. Jadi, watak itu stempel atau cap, sifat-sifat yang melekat pada seseorang.
Watak sebagai sikap seseorang dapat dibentuk, artinya watak seseorang berubah, kendati watak mengandung unsur bawaan (potensi internal), yang setiap orang berbeda namun, watak amat sangat dipengaruhi faktor eksternal yaitu keluarga, sekolah, masyarakat, lingkungan pergaulan dan lain-lain.
Secara harfiyah karakter artinya kualitas mental atau moral, kekuatan moral, nama atau reputasi dalam kamus psikologi di nyatakan bahwa, karakter adalah kepribadian di tinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang yang biasanya mempunyai kaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan nilai-nilai prilaku manusia ysng berhubungan dengan Tuhan yang Maha Esa, diri sendiri sesama manusia, lingkungan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum,tata krama, budaya dan adat istiadat.
Oleh sebab itu, Madin Roudhotul Mubtadi’in menerapkan tiga metodologi dalam membentuk karakter Islam, antara lain; Mengajarkan pemahaman konseptual tetap membutuhkan sebagai bekal konsep-konsep nilai ke-islaman yang kemudian menjadi rujukan bagi perwujudan karakter tertentu.
Mengajarkan karakter berarti memberikan pemahaman pada peserta didik tentang struktur nilai tertentu, keutamaan (bila dilaksanakan), dan maslahatnya (bila tidak dilaksanakan).
Mengajarkan nilai memiliki dua faedah, pertama memberikan pengetahuan konseptual baru, kedua menjadi pembanding atas pengatahuan yang dimiliki oleh peserta didik. Karena itu, maka proses mengajarkan tidaklah monolog, melainkan melibatkan peran serta peserta didik.
Kedua Keteladanan; menempati posisi yang sangat penting. Guru Ngaji harus terlebih dahulu memiliki karakter yang diajarkan. Guru adalah sosok yang digugu dan ditiru, peserta didik akan meniru apa yang dilakukangurunya ketimbang apa yang dilaksanakan sang guru.
Bahkan, sebuah pepatah kuno memberi suatu peringatan pada para guru bahwa peserta didik akan meniru karakter negatif secara lebih ekstrem ketimbang gurunya “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”.
Keteladanan tidak hanya bersumber dari guru, melainkan juga dari seluruh manusia yang ada di lembaga pendidikan tersebut, dan juga bersumber dari orang tua, karib kerabat, dan siapapun yang sering berhubungan dengan peserta didik. Pada titik ini, pendidikan karakter membutuhkan lingkungan pendidikan yang utuh, saling mengajarkan karakter.
Menentukan skala prioritas; Penentuan prioritas yang jelas harus ditentukan agar suatu proses evaluasi atas berhasil tidaknya pendidikan karakter dapat menjadi jelas. Tanpa prioritas, pendidikan karakter tidak dapat terfokus, sehingga tidak dapat dinilai berhasil atau tidak berhasil.
Pendidikan karakter menghimpun kumpulan nilai yang dianggap penting bagi pelaksanaan dan realisasi visi lembaga. Oleh karena itu, lembaga pendidikan memiliki beberapa kewajiban:
Dengan standarisasi metodologi itulah dirasa cukup dalam meunjang kapasitas dan potensi santri dalam menetralisasi arus perkembangan, karena konsep menghafal saja tidak akan mebentuk pada pola berpikir santri jika tidak ada pemahamanan yang signifkan, lebih lagi pada taraf keteladanan Guru dan beberapa skala prioritas yang lebih utama diberikan kepada santri-santri supaya bisa menelaah dari setiap kehidupan lingkungan yang ada disekitar.
Lailatus Shuima merupakan Mahasiswi Institut Agama Islam Kabupaten Ngawi Provinsi Jawa Timur. Tulisan ini sebagai pemenuhan tugas PPM/DR (Pratikum Pengabdian Masyarakat Dari Rumah).