Bagi gerakan feminisme liberal, kedudukan perempuan dalam dunia kerja yang demikian adanya ternyata dikarenakan oleh anggapan bahwa perempuan dianggap masalah bagi perekonomian modern.
Kebanyakan orang pasti setuju dengan puisi karya penyair Korea Selatan, Moon Chung Hee yang berjudul “Perempuan yang Membuat Air”, begini: putri, jangan pipis sembarangan apalagi berdiri/pipislah dengan anggun, jongkok di bawah pohon hijau/dengarlah air sungai yang lembut dari tubuh indahmu/mengalir dengan irama sejuk meresapi bumi/dengannya rumput di pekarangan menjadi subur/dan kau akan menjadi ibu bagi ibu pertiwi.
Puisi diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Chun Tai Hyun, dalam buku kumpulan puisi yang berjudul sama. Tersurat pesan bagi putri/perempuan untuk tidak berlaku cela, khususnya dengan bagian-bagian tubuh wanitanya. Dan mereka patut bangga lantaran hanya merekalah yang diberi anugerah melahirkan anak.
Dalam maksud yang lebih luas, segala yang tercipta dari perempuan adalah hal indah, memberi kehidupan baru bagi diri dan sekitarnya. Dalam puisi Korea, perempuan menjelma tokoh yang sakral, perannya tidak bisa digantikan laki-laki. Namun apakah dalam kehidupan nyata demikian?
Tampaknya dalam kenyataan peran perempuan di Korea Selatan dikebiri. Dalam puisi bolehlah perempuan menjadi ibu bagi ibu pertiwi, tetapi dalam kehidupan nyata, mohon maaf. Perempuan hanya dipandang sebelah mata, tugas mereka adalah melahirkan laki-laki yang kelak menjadi tumpuan keluarga. Setidaknya itu yang digambarkan Park Joon-hwa dalam serial drama Korea yang ia sutradarai: “Because This Is My First Life.”
Drama diawali dengan kisah masa kecil Yoon Ji-ho, gadis yang cukup menderita dengan hidup dikeluarga patriarki. Belum lagi ia harus kehilangan rumah yang ia kredit dan rawat lantaran ayahnya memberikan nama adik laki-lakinya dalam serifikat rumah tersebut.
Laki-laki mendominasi kehidupan Korea Selatan, mereka menganggap pundak laki-laki lebih mampu menopang beban keluarga kelak hingga memiliki anak laki-laki bagaikan memiliki aset yang tak ternilai. Sebagaimana barang berharga, perawatannya pun harus nomor satu sampai-sampai mengesampingkan anak perempuan. Anak perempuan harus rela mengalah demi hal konyol tersebut.
Bahkan kehidupan patriarki Korea Selatan terkisah haru dalam novel Cho Nam-joo yang berjudul Kim Ji-yeong Lahir Tahun 1982. Novel bercerita kehidupan seorang perempuan yang hidup ditengah dunia yang hanya memandang laki-laki.
Semasa kecil Ji-yeong yang merupakan anak kedua dari tiga bersaudara harus rela mengalah demi kepentingan adik laki-lakinya. Ia dan kakak perempuannya tak memiliki daya apapun, apalagi memiliki nenek yang menyanjung tinggi adik laki-laki yang belum bisa apa-apa itu.
Bahkan sesaat setelah Ji-yeong dilahirkan, sang Ibu meminta maaf karena Ji-yeong perempuan, bukan laki-laki seperti harapan neneknya. Belum lagi Ibu harus menggugurkan kandungan ketiganya karena janin tersebut diduga perempuan.
Pada masa itu aborsi dilegalkan karena alasan medis, dan “anak perempuan” termasuk dalam alasan medis. Belum lagi masalah ekonomi, untuk kelangsungan hidup, Ibu harus menjadi pekerja informal yang tidak jelas sistemnya.
Kebanyakan ibu rumah tangga menerima berapapun upah dari kerja informal hanya karena mereka membutuhkannya. Sungguh berat kehidupan menjadi perempuan di masa itu.
Ketika dewasa pun diskriminasi tampak jelas, sebutlah dalam hal pencarian pekerjaan, perempuan dinomorduakan karena tidak se-produktif laki-laki. Kebanyakan perusahaan percaya perempuan bakal keluar/resign setelah menikah, atau kinerjanya akan menurun karena kehamilan.
Alhasil, dalam penerimaan pegawai, perusahaan-perusahaan cenderung mempekerjakan laki-laki ketimbang perempuan bahkan jika skor/nilai mereka sama.
Pernah pada suatu kesempatan senior perempuan berprestasi di fakultas Kim Ji-yeong menanyakan perihal kriteria yang direkomendasikan fakultas ketika perusahaan meminta. Jawaban-jawaban yang diberikan para dosen sangat tidak masuk akal.
Namun ada satu jawaban yang paling membuatnya patah semangat, yaitu jawaban dari dekan. “Perusahaan akan merasa terbebani apabila seorang wanita terlalu pintar. Coba lihat sekarang, apakah kau tahu betapa mengintimidasinya dirimu?” (hal. 95).
Dalam pekerjaan, perempuan dikesampingkan, mereka dianggap kalah bersaing dengan laki-laki. Sekarang apa yang terbesit di benak kalian ketika mendengar kata ART, Asisten Rumah Tangga. Perempuan, ke-ibu-an, pandai masak, cakap beberes rumah, dan sebagainya.
Kemudian apa yang terbesit ketika mendengar kata teknisi. Laki-laki, cakap dalam memperbaiki peralatan, kuat, dsb. Pertanyaannya adalah: mengapa? Mengapa kita terbiasa memosisikan perempuan di belakang laki-laki?
Bagi gerakan feminisme liberal, kedudukan perempuan dalam dunia kerja yang demikian adanya ternyata dikarenakan oleh anggapan bahwa perempuan dianggap masalah bagi perekonomian modern.
Menurut mereka, keterbelakangan kaum perempuan selain akibat dari sikap irasional yang berpegang teguh pada nilai tradisional, juga karena perempuan tidak berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Untuk itu solusi dari Mansour Fakih, untuk melibatkan perempuan dalam industrialisasi kiranya bisa meningkatkan status perempuan.
Tapi perlu diperhatikan pula hak-hak pekerja perempuan, jangan sampai terjadi peristiwa buruh pabrik es krim Aice. Pekerja perempuan tidak mendapat jatah cuti hamil, bahkan kandungan seorang pekerja gugur karena terlampau keras dalam bekerja. Kurasa kasus ini tidak akan mencapai titik temu apabila pemerintah tidak turun tangan menanganinya.
Pasalnya para pekerja perempuan terpaksa bekerja untuk menutupi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Sedangkan pihak pabrik ingin menggenjot produktivitasnya karena pasaran es krim murah tersebut laku keras. Para perempuan dipekerjakan pihak pabrik karena murah.
Para perempuan karena berpendidikan pas-pasan menganggap tidak memiliki pilihan lain selain menerima tawaran pekerjaan itu, “ada keluarga yang harus dibantu”, pikir mereka. Apapun risikonya mereka pasti terima karena “butuh.”
Maka bagiku ini semua hanya ketidakbecusan pemerintah dalam menyejahterakan rakyatnya. Mereka hanya mampu menyejahterakan wakil dari rakyatnya. Jika banyak yang berpikir kasus ini menyangkut feminisme, mungkin kalian salah, kalian hanya membela hak pekerja perempuan.
Menuntut supaya hak-hak pekerja perempuan dipenuhi. Dan ketika hak sudah terpenuhi, masih banyak keluarga-keluarga yang jauh dari kata cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Akhirnya perempuan dalam keluarga (ibu) terpaksa bekerja. Kalian hanya mementingkan hak dan cenderung abai dengan masalah kesejahteraan rakyat.
Berbicara hak, dari dulu juga perempuan dikesampingkan hak-haknya, bahkan sudah mengakar semenjak epos Mahabharata didaraskan. Barangkali kalian mengambil simbol Srikandi sebagai perempuan yang gagah berani dan perlawanan.
Tapi kurasa kalian hanya mendengar bisis-bisik kisah Mahabharata, atau hanya menerima satu cerita Mahabharata. Srikandi memang mampu menumbangkan seorang Senapati (panglima perang), tapi bukan Srikandi perempuan. Srikandi, atas kehendak Yang Maha Kuasa mewujud sebagai laki-laki.
Ditambah lagi sang Senapati tidak melawan, ia menerima setiap anak panah yang diluncurkan gendewa Srikandi. Simbol perlawanan dari manakah Srikandi?
Namun itu adalah dongeng, dan dongeng dibuat untuk mengontrol tindak-tanduk pendengarnya. Masih jelas ketakutan society dengan dongeng yang bermula ketika negeri ini bernama Hindia Belanda. Ya, komunisme.
Komunisme mengancam kekuasaan Hindia Belanda dengan ajaran-ajakan untuk merdeka diri. Untuk itu penangkapan, penyiksaan, pembunuhan langsung kepada yang mereka anggap komunis menjadi pelajaran bagi society supaya menjauhinya. Komunisme dianggap ampuh untuk menekan society hingga kata yang paling tidak ingin ia dengar adalah komunisme.
Begitu pula dengan dongeng mengenai Srikandi, seolah-olah dibuat supaya perempuan janganlah ikut bertempur. Dan dongeng tersebut memang ampuh dalam mengontrol society kita. Apalagi jika akrab dengan keengganan belajar dan membaca. Society kita memang bobrok, hingga Eddie Vedder mengumpatnya dengan lagu berjudul “Society.” Begini, society, you’re crazy breed/hope you not lonely without me.
Lagu menjadi makin hidup ketika menjadi pengiring film “Into The Wild.” Berkisah seorang pemuda bernama Christopher McCandless yang lelah dengan society dan memutuskan hidup di alam bebas karena melihat kebobrokan nyata society.
Namun ia tewas mengenaskan dicabik pikirannya sendiri, di penghujung hayatnya ia menemukan secercah harap, society yang ia tinggali tidak bobrok-bobrok amat, ia mati menyesali jalan yang ia pilih. Society kita memang bobrok tapi sebisa mungkin kita tidak tertular kebobrokannya.