Semakin kita melihat sesuatu di ladang berita kita, semakin sering kita menganggapnya benar sekalipun awalnya kita skeptis terhadap kebenarannya.
Segala yang banyak dan jadi pusat perhatian, selalu memicu hadirnya kepalsuan. Maksudnya, produk imitasi. Atau produk yang mirip tapi tidak sama. Kita biasanya mengistilahkan sebagai KW entah berapa, yang sialnya, kita juga kagum dan mempercayainya.
Kita tentu tahu, ada banyak sekali jersey maupun sepatu KW— 1, 2 dan seterusnya — hingga sparepart ponsel maupun motor kelas dua, tiga dan seterusnya.
Banyaknya produk imitasi, disadari atau tidak, disebab karena ada konsep “membangun pasar” yang seolah-olah barang itu dibutuhkan. Meski awalnya tak terlalu dibutuhkan, menjadi dibutuhkan.
Konsep sintesis atau imitasi, tak hanya terjadi pada sepatu, pakaian, asesoris atau bahkan rumput. Asal barang atau apapun itu awalnya dibutuhkan, pasti akan hadir bentuk palsunya.
Tak terkecuali, sebuah komoditas bernama informasi — yang awalnya dibutuhkan tapi karena surplus, kini kayaknya kok sudah tidak lagi.
Banyaknya informasi yang “seolah dibutuhkan” manusia, memicu diproduksinya bermacam informasi turunan yang kadang melenceng jauh dari substansi informasi itu sendiri.
Soal virus Corona, misalnya. Hari ini kita tentu bisa menyaksikan betapa banyak sugesti dan rekomendasi perihal penanganan dan pencegahan virus tersebut.
Mulai dari sugesti yang berkesan konspiratif hingga yang sekadar imitatif dari informasi-informasi sebelumnya. Padahal, sugesti ngawur itu meningkatkan perilaku beresiko dan bisa memperburuk krisis.
Hari ini, misalnya, dari bermacam ladang informasi, kita kerap temukan informasi ngawur mencakup soal penyebab wabah hingga cara pencegahan dari penyakit tersebut.
Contohnya, dengan minum alkohol bisa mencegah virus Corona. Tentu saja itu ngawur sekali. Alhasil; dalam sebuah laporan BBC, di sebuah provinsi di Iran, banyak orang meninggal akibat minum alkohol demi menghindari virus Corona.
Memang sih, berita palsu semacam itu bisa memberi perasaan aman palsu dan membuat kita abai pada panduan ilmiah dari pemerintah. Bahkan mengikis kepercayaan terhadap petugas kesehatan.
Hebatnya nih, Nabs. Ada bukti autentik bahwa ide yang termaktub di tiap berita-berita atau sugesti palsu, justru lekat di benak kita, para pembacanya. Hmm
Sebuah survey dari YouGov dan The Economist pada Maret 2020 memperlihatkan, 13% orang Amerika percaya bahwa Covid-19 adalah hoaks, sedang 49% percaya pandemi ini sesungguhnya buatan manusia.
Sialnya, tak sedikit orang berpendidikan yang justru mempercayai hal-hal semacam itu. Lalu, apa penyebabnya?
Berlimpahnya Informasi
Ya, seperti yang kita singgung di awal paragraf. Segala yang banyak dan jadi pusat perhatian, selalu memicu hadirnya konsep imitasi dengan kualitas lebih buruk yang, sialnya, kita juga mempercayainya.
Kini, kita mendapat informasi setiap hari. Lalu, hanya bermodal intuisi, kita tentukan informasi itu benar atau salah. Sehingga, para penyebar informasi ngawur bisa membuat berita mereka terasa “ada benarnya” melalui akal-akalan sederhana yang membuat kita tak berpikir kritis.
Eryn Newman dari Australian National University, memperlihatkan adanya foto yang mengiringi pernyataan tertentu akan meningkatkan kepercayaan terhadap akurasi pernyataan tersebut, sekalipun foto itu nyaris tak berhubungan.
Foto dan caption, memang jadi senjata marketing paling mujarab di tengah masyarakat yang penuh kebergegasan. Yang kemujarabannya, konon lebih hebat dibanding sebuah buku manual produk.
Emm… Jadi ingat sebuah informasi tentang seorang dokter bertubuh tegap dari Amerika yang berbicara soal virus Corona kah? Padahal sosok dalam foto itu adalah seorang bintang film porno.
Foto generik virus yang mengiringi klaim tentang cara pengobatan baru, misalnya, tentu tidak akan membuktikan kebenaran klaim itu, tetapi membantu kita memvisualisasinya.
Adanya foto memperlancar proses pemahaman sekaligus mempertipis sikap skeptis yang pada akhirnya membuat kita berpikir bahwa berita tersebut benar adanya.
Karena alasan serupa, informasi palsu bisa menyertakan bahasa deskriptif dan kisah personal. Kadang ditampilkan fakta atau tokoh agar membuat kebohongan itu meyakinkan.
Pernyataan sederhana yang diulang-ulang, baik dengan teks yang sama atau diubah, bisa meningkatkan “kebenaran” melalui meningkatnya perasaan akrab terhadap informasi tersebut. Lalu kita kerap keliru menganggapnya sebagai kebenaran faktual.
Maka semakin kita melihat sesuatu di ladang berita kita, semakin sering kita menganggapnya benar sekalipun awalnya kita skeptis terhadap kebenarannya.
Lalu, apa yang harus kita lakukan?
Di tengah pandemi dan tsunami informasi saat ini, tak ada jalan lain selain mengelola rasa penasaran kita pada sebuah informasi. Istilahnya, informasi harus kita kendalikan. Dan jangan pernah dikendalikan olehnya.
Karena pemerintah dan para ahli meminta kita untuk bersantai di rumah, ya cukup kita lakukan itu saja. Sambil tentu saja, tak keranjingan pada derasnya arus informasi. Hanya dengan itu, kita tetap merasa tenang di tengah ketidakpastian pandemi.