Perusahaan rintisan atau startup mulai digandrungi banyak kalangan. Khususnya bagi generasi millenial. Tapi, tak sedikit dari startup itu justru sekadar bakar uang.
Merokok biasa distilahkan dengan membakar uang. Namun, jauh lebih besar lagi membangun perusahaan startup. Kebutuhan branding perusahaan perlu biaya besar. Ini memungkinkan untuk membakar suntikan dana dari investor.
Perlahan, kenyataan pahit mulai terlihat. Pembakaran uang investor harus segera disudahi. Pasalnya, tanpa strageti yang tepat,
Melansir Tirto, perusahaan berlabel unicorn asal India, Zomato memberhentikan 10 persen total karyawan belum lama ini. Startup lain asal New York, Uber juga melakukan langkah yang sama.
Unicorn asal Indonesia, Bukalapak juga sempat melakukannya. Sepertinya, fantasi tentang startup tidak sepenuhnya benar.
Lebih baru lagi, kabar Lippo Group melepas 70 persen sahan OVO muncul dipermukaan. Alasannya, Lippo tidak kuat lagi membakar uang.
Itu karena praktik pemasaran OVO yang memberi diskon besar-besaran. Sebenarnya, investor OVO tidak melepas saham miliknya. Sebagian besar saham tersebut dijual.
“Bukan melepas, adalah kita menjual sebagian besar. Sekarang tinggal sekitar 30-an persen atau satu pertiga, jadi dua pertiga kita jual,” kata Pendiri dan Chairman Lippo Group, Mochtar Riady dikutip dari CNBC Indonesia (28/11/2019).
Mochtar mengatakan, tidak kuat lagi jika terus membakar uang demi promosi. Strategi macam itu, kata dia, membebani keuangan perusahaan dan investor. Meski fundarising perusahaan rintisan dianggap kewajaran.
Kejadian seperti ini juga dialami media besar seperti Mojok. Kepala Suku Mojok.co, Puthut EA juga mengakui hal yang sama. Keberlangsungan investor adalah tantangan bagi setiap perusahaan startup.
“Tantangan terbesar Mojok di masa depan adalah investasi yang gede,” kata Puthut saat menghadiri Cangkruk Mathuk Bojonegoro (4/12/2019).
Perusahaan rintisan atau startup harus menentukan langkah baru. Butuh adanya strategi untuk mencari sumber pendapatan sendiri. Pelaku usahan rintisan memiliki basis pasar yang kuat dan valuasi besar.
Ini tentu untuk memonetisasi bisnis ke depan. Strategi tersebut demi menghindari resiko kegagalan fundarising yang baru.
Harapan startup mendapat label unicorn. Namun, tidak sedikit yang malah layu sebelum berkembang.
Melansir Good News From Indonesia (GNFI), menurut Nadiem, perkembangan startup bergantung pada tim. Anggota tim harus lebih handal dan pintar dibanding founder. Ini demi adanya transfer ilmu dan pengetahuan antara founder dan anggota tim.
Selain itu kepekaan dalam membaca momentum harus ada. Misalnya tahu kapan datangnya momentum yang bisa dimanfaatkan. Data dan informasi di era digital ini begitu berlimpah. Momentum yang terbaca akan mendorong strategi yang lebih maksimal.
Selain itu, butuh adanya sayap perusahaan dalam penggalangan dana. Misalnya yang bersifat offline. Basis pasar yang kuat dan tepat, termasuk valuasi bisnis akan meningkatkan startegi pemasaran. Terutama yang berorientasi pada perncarian solusi dari permasalahan masyarakat.
Dalam rangka mengulik potensi pendapatan, perlu adanya pengurangan terkait program ‘bakar uang’. Promosi tentu harus tepat sasaran serta efektifitas dan efisiensi. Membakar uang investor memang perlu dilakukan dalam promosi. Namun dengan strategi yang tepat sasaran.
Membangun startup membutuhkan waktu selama satu hingga lima tahun. Tentu itu bukan waktu yang lama. Karena itu, perusahaan rintisan harus menyiapkan peluang bagi investor baru. Dengan begitu, perusahaan rintisan akan mampu terus berkembang.