Benarkah pemecatan 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui tes wawasan kebangsaan menjadi polemik yang sedang dihadapi bangsa ini? Nabs, berikut uraiannya.
Di tengah gencarnya upaya pemberantasan korupsi, lembaga antirasuah ini justru menghadapi ‘ujian’ berupa pemecatan 75 pegawainya.
Meski pun pada akhirnya hanya terdapat 51 pegawai yang dipecat dengan alasan bahwa ‘sisanya’ masih dapat dibina dan diluruskan. Tentu, pemecatan 51 pegawai KPK menjadi suatu contradictio in terminis mengingat sebelumnya Presiden Joko Widodo menjelaskan bahwa adanya tes wawasan kebangsaan adalah upaya untuk mengevaluasi wawasan kebangsaan para pegawai KPK dan tidak berkaitan secara langsung dengan pemecatan pegawai KPK.
Dalam hal ini, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa jika terdapat pegawai KPK yang tidak memenuhi standar dari tes wawasan kebangsaan maka perlu adanya pembinaan dan pengarahan untuk meningkatkan pemahaman wawasan kebangsaan pegawai KPK.
Dengan demikian, maka sepatutnya tes wawasan kebangsaan menjadi sarana evalusasi dan bukan sebagai alat untuk mengeksekusi.
Pemecatan pegawai KPK di masyarakat menuai pro dan kontra. Hal ini disebabkan karena ada dugaan di masyarakat bahwa pemecatan pegawai KPK berkaitan dengan adanya upaya untuk melemahkan KPK sekaligus mengaburkan berbagai pengusutan tindak pidana korupsi.
Dugaan ini sejatinya wajar mengingat beberapa pegawai KPK yang dipecat merupakan pegawai senior di KPK yang kualitas, integritas, serta kredibelitasnya tidak diragukan lagi.
Oleh karena itu wacana publik bahwa pemecatan pegawai KPK melalui tes wawasan kebangsaan hanyalah siasat untuk melemahkan KPK sejatinya dapat dibenarkan.
Tes wawasan kebangsaan kepada pegawai KPK didasarkan pada Pasal 69C UU No. 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua UU KPK dan diatur lebih lanjut dalam Pasal 3 dan 4 PP No. 41 Tahun 2020 Tentang Alih Status Pegawai KPK.
Dalam UU No. 19 Tahun 2019 maupun dalam PP No. 41 Tahun 2020 sejatinya tidak secara expressive verbis dijelaskan adanya tes wawasan kebangsaan sebagai salah satu persyaratan dalam alih status pegawai KPK.
Tes wawasan kebangsaan justru secara tegas diatur dalam Pasal 5 ayat (4) Perkom KPK No. 1 Tahun 2020 sebagai pelaksana PP No. 41 Tahun 2020.
Jika mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 70/PUU-XVIII/2019 yang menegaskan bahwa alih status pegawai KPK harus mengedepankan pada aspek kepastian hukum serta tidak boleh merugikan hak pegawai KPK.
Jika dilihat dari spirit Putusan Mahkamah Konstitusi No. 70/PUU-XVIII/2019 tersebut, maka sejatinya adanya tes wawasan kebangsaan hanya berkaitan dengan evalusasi dan upaya pembinaan bagi pegawai KPK.
Tentunya, menjadikan tes wawasan kebangsaan sebagai syarat yang bersifat condition sine qua non dalam alih status pegawai KPK adalah tidak dapat dibenarkan, apalagi tes wawasan kebangsaan secara expressive verbis
tidak diatur dalam UU No. 19 Tahun 2019 maupun dalam PP No. 41 Tahun 2020 sehingga dapat dikatakan telah merugikan hak para pegawai KPK.
Selain bermasalah dalam memfungsikan tes wawasan kebangsaan, pelaksanaan tes wawasan kebangsaan juga menimbulkan polemik.
Apalagi dari berbagai pengakuan pegawai KPK yang dites wawasan kebangsaan menyatakan bahwa selain memasuki ranah privat pertanyaan dalam tes wawasan kebangsaan juga bersifat tidak logis dan proporsional sekaligus tidak berkaitan dengan tugas dan kewenangan KPK dalam pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi.
Pertanyaan yang berkaitan dengan ranah privat seperti, “Kalau pacaran apa aja yang dilakukan?”, “Sholat subuhnya pakai qunut atau tidak?” serta berbagai pertanyaan lainnya yang nota bene tidak berkaitan dengan tugas dan kewenangan KPK.
Terkait dengan praktik wawasan kebangsaan yang menyentuh aspek privat serta tidak berkaitan dengan tugas dan fungsi KPK, sejatinya dalam perspektif hak asasi manusia praktik wawasan kebangsaan tersebut dapat mereduksi jaminan hak asasi manusia.
Padahal, Pasal 28E ayat (2) UUD NRI 1945 menegaskan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya” dan juga dipertegas dalam Pasal 28G ayat (1) bahwa, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi” serta dalam Pasal 28G ayat (2) dijelaskan bahwa, “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”.
Berdasarkan apa yang telah dijamin dalam Pasal Pasal 28E ayat (2) serta Pasal 28G ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945 yang sejatinya harus dihormati (to respect), dilindungi (to protect), serta dipenuhi (to fulfill) oleh negara namun, adanya praktik wawasan kebangsaan yang cenderung mengintervensi serta mereduksi jaminan hak asasi manusia karena menyangkut ranah privat yang cenderung sensitif serta merendahkan hak asasi manusia para pegawai KPK.
Dengan demikian, selain tidak sesuai dengan substansi tugas dan kewenangan KPK, praktik tes wawasan kebangsaan juga menciderai hak asasi manusia yang seyogianya dijamin oleh negara sebagai amanat konstitusi.
Selain itu, Nabs, dapat dikatakan bahwa tes wawasan kebangsaan bagi pegawai KPK dalam praktiknya juga bersifat tidak logis dan tidak proporsional.
Hal ini karena terdapat beberapa pertanyaan yang memperbandingkan (dan kemudian menyuruh memilih salah satu) dua hal yang sejatinya tidak tepat dan tidak layak untuk diperbandingkan.
Perbandingan yang tidak tepat tersebut seperti membandingkan antara Pancasila dengan Al-Qur’an maupun perbandingan yang lain. Jika ditelaah lebih dalam maka membandingkan antara Pancasila dengan Al-Qur’an adalah tidak tepat dan cenderung memisahkan antara aspek keagamaan dan aspek kenegaraan.
Padahal, jika mengutip pendapat dari Jimly Asshidiqie bahwa Indonesia merupakan religious nation state yang menekankan bahwa Negara Indonesia bukanlah negara agama maupun negara yang memisahkan antara agama dan negara.
Negara Indonesia adalah negara yang menjadikan nilai dan ajaran agama sebagai pemandu sekaligus sebagai bingkai dalam kegiatan kenegaraan, tentunya disesuaikan dengan ajaran agama dan keyakinan masing-masing individu.
Dalam hal inilah maka relevansi Pancasila bukanlah untuk dibandingkan dengan agama, tetapi nilai-nilai Pancasila sejatinya merupakan nilai yang tak terpisahkan dari nilai-nilai agama yang diyakini oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, tidak tepat apabila Pancasila justru dibandingkan dengan agama tertentu maupun kitab suci dari ajaran agama tertentu.
Jika mengacu pada pendapat Thomas Aquinas yang menegaskan bahwa hukum merupakan “Quedam rationis ordinatio ad bonum commune, ab eo qui curam communitatis habet promulgata”.
Pendapat Thomas Aquinas terkait hukum tersebut sejatinya menegaskan bahwa hukum yang adil haruslah berdasarkan tiga aspek, yaitu: perintah yang masuk akal, ditujukan untuk kesejahteraan umum, serta dibuat oleh pejabat yang berwenang dengan berdasarkan atas prinsip-prinsip negara hukum.
Jika dianalisis berdasarkan pendapat dari Thomas Aquinas di atas, syarat pertama dari hukum adalah perintah yang masuk akal.
Dalam hal ini tes wawasan kebangsaan yang digunakan sebagai upaya untuk memecat pegawai KPK dalam praktiknya justru merupakan suatu hal yang tidak masuk akal dan bertentangan dengan akal sehat dan hak asasi manusia, Nabs. Terutama jika dikaitkan dengan pertanyaan dalam tes wawasan kebangsaan yang bersifat sensitif serta tidak berkaitan dengan tugas dan wewenang KPK dalam pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi.
Syarat kedua hukum sebagaimana pendapat dari Thomas Aquinas adalah ditujukan untuk kesejahteraan umum. Jika dilihat dalam tes wawasan kebangsaan bagi pegawai KPK, maka adanya pemecatan sebagai akibat dari tidak lolosnya pegawai KPK dalam tes wawasan kebangsaan merupakan hal yang berpotensi tidak mewujudkan kesejahteraan umum dikarenakan pemecatan pegawai KPK berpotensi memengaruhi kinerja KPK dalam melakukan pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi.
Syarat ketiga dari hukum sebagaimana disampaikan oleh Thomas Aquinas adalah dibuat oleh pejabat yang berwenang dengan berdasarkan atas prinsip-prinsip negara hukum, dalam hal ini tes wawasan kebangsaan dapat dikatakan bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum dikarenakan telah mengabaikan spirit Putusan Mahkamah Konstitusi No. 70/PUU-XVIII/2019 yang seyogianya tes wawasan kebangsaan hanyalah untuk evaluasi dan bukan untuk sarana eksekusi dan pemecatan bagi pegawai KPK.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tes wawasan kebangsaan yang bertujuan untuk memecat pegawai KPK adalah bertentangan dengan hukum karena tidak diatur secara expressive verbis dalam UU No. 19 Tahun 2019 maupun dalam PP No. 41 Tahun 2020, bertentangan dengan semangat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 70/PUU-XVIII/2019, serta tidak memenuhi esensi hukum sebagaimana yang disampaikan oleh Thomas Aquinas.








