Nabs, Beberapa problematika dalam RUU KUHP seharusnya tidak menjadikan kita pesimis terhadap pembaruan hukum pidana melalui pengesahan RUU KUHP.
Harus diakui dan diapresiasi kinerja perumus RUU KUHP karena diantara segelintir problem dalam RUU KUHP, lebih dari 80% merupakan substansi yang bagus dan berisi penyempurnaan atas KUHP yang berlaku saat ini.
Tentu, berkaitan dengan berbagai problematika dalam RUU KUHP, Pemerintah dan DPR perlu mengadakan uji publik secepatnya tentunya dengan melibatkan perguruan tinggi, ormas, maupun organisasi masyarakat sipil selama 2 hingga 3 kali.
Jika uji publik dirasa sudah memuaskan maka perlu untuk selanjutnya RUU KUHP disahkan menjadi Undang-Undang.
Uji publik selama 2 hingga 3 kali harus dimaknai bukan hanya sekadar “uji publik tanpa makna” tetapi harus juga memerhatikan saran serta masukan dari hasil uji publik tersebut.
Jika sudah secara optimal dan maksimal dilakukan maka tidak ada keraguan untuk mengesahkan RUU KUHP menjadi Undang-Undang.
Jika masih terdapat ketidakpuasan pasca disahkannya RUU KUHP menjadi Undang-Undang tentu masih ada ruang bagi masyarakat untuk melakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi.
Tentu, bagi penulis yang perlu diutamakan adalah aspek uji publik serta penggalian harapan masyarakat dari RUU KUHP yang harus mendapatkan perhatian dari tim perumus RUU KUHP.
Undang-Undang sejatinya merupakan “bagian kecil” dari hukum dan bahkan setiap Undang-Undang belum tentu merupakan hukum.
Khususnya hukum pidana harus didasarkan pada adagium hukum, “Lex ratio summa insita in natura, quae juber ea, quae facienda sunt, prohibitique contraria” yang artinya bahwa hukum merupakan nalar tertinggi yang melekat dengan alam, yang memerintahkan apa yang harus dilakukan dan melarang apa yang sebaliknya.
Selain itu, hukum juga harus mendasarkan pada adagium, “Lex non hominum ingeniis excogitate yang bermakna hukum bukanlah hanya penalaran atas daya pikir manusia, tetapi juga memancarkan nilai-nilai ketuhanan.
Dengan demikian, hukum yang baik adalah hukum yang memancarkan moralitas di dalamnya sehingga nilai-nilai ketuhanan yang bersifat universal perlu diperhatikan sebagai bagian dari pembangun suatu hukum, Nabs.
Dalam konteks Undang-Undang, selain wajib melihat nilai ketuhanan serta moralitas, partisipasi serta pertimbangan publik harus menjadi salah satu aspek terpenting dalam perumusan dan pengesahan suatu Undang-Undang, tak terkecuali pada RUU KUHP.