Kelangkaan pupuk jadi problem yang kian memberatkan petani. Sebab, tanpa pupuk langka pun, giat para petani sudah berat akibat pandemi.
Petani itu seorang yang berkeyakinan baik, orang yang bermoral tinggi, dan memiliki cinta pada kebebasan yang kokoh. Itu ungkapan tokoh revolusioner Kuba dan pimpinan gerilya Argentina 1928-1967, Che Guevara.
Petani adalah soko guru masyarakat. Kalau ini pemikiran Hatta yang sejalan dengan Soekarno dalam menyimpulkan Petani dalam karyanya yang berjudul, Nasionalisme, Sosialisme dan Pragmatisme. Yang ditulis oleh Dr. Dawam Rahardjo.
Tapi ungkapan itu justru berbanding terbalik dengan keadaan saat ini. Sudah jatuh tertimpa tangga itulah kenyataan yang dialami petani saat ini.
Di saat pandemic yang tak menentu seperti ini, banyak anggran-anggran dipangkas untuk penanganan virus, seperti halnya anggaran Pendidikan, KPK, Kepolisian, Kejaksaan Agung, hingga Mahkamah Agung, tak luput juga anggran pupuk subsidi untuk petani ikut jadi korban.
Petani merupakan pekerjaan yang sangat vital apalagi berkaitan tentang ketahanan pangan yang mengurus hajat hidup orang banyak.
Tetapi sangat disayangkan di era krisis seperti ini justru regulasi yang dikeluarkan adalah pemotongan anggaran pupuk subsidi sebesar 40% sesuai peraturan yang dikeluarkan pemerintah nomor 1 tahun 2020, melalui surat resmi yang ditandatangani oleh Komisi IV DPR RI pada 20 Januari 2020.
Hal ini menyebabkan kelangkaan pupuk. Pupuk yang semula Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi dengan merek Urea Rp. 1.800/kg. SP-36 Rp. 2000/kg, ZA Rp.1.400/kg, Organik Granul Rp. 800/kg, NPK Rp.2.300/kg, sejak dikeluarkannya peraturan Menteri Pertanian No 49 Tahun 2020 tertanggal 30 Desember 2020, pupuk jenis urea atau nitrogen mengalami kenaikan tertinggi mencapai Rp 450 per kg.
Dari HET semula Rp 1.800 per kg, naik menjadi Rp 2.250. Sedangkan pupuk ZA, naik Rp 300 per kg dari Rp 1.400 per kg menjadi Rp 1.700 per kg. Pupuk SP-36 atau yang biasa disebut pertani sebagai pupuk TS, naik Rp 400 per kg, dari Rp 2.000 menjadi 2.400 per kg.
Perlu diketahui Bersama bahwa alokasi pupuk bersubsidi di Jatim 2019 tercatat pupuk urea sebanyak 1.066.044 ton, pupuk SP-36 sebanyak 142.880 ton, pupuk ZA sebanyak 480.250 ton, pupuk NPK sebanyak 590.710 ton, dan organik sebanyak 506.400 ton.
Alokasi pupuk bersubsidi di Jatim 2020 mengalami penurunan signifikan yakni pupuk urea menjadi 553.546 ton, pupuk SP36 menjadi 66.123 ton, pupuk ZA menjadi 186.766 ton, pupuk NPK Phonska menjadi 437.809 ton, dan pupuk organik menjadi 105.350 ton.
Pada prakteknya tidak pernah kita jumpai kios menjual harga sesuai dengan HET. Selisih antara HET dengan harga yang tertuang di SPJB sangat kecil antara Rp. 2.300,00 – Rp. 2.500,00 per karung.
Urea misalnya, dalam aturan harus dijual Rp.90.000,00, tapi yang tertuang di SPJB antara kios dan distributor Rp.87.000,00. Tidak mungkin kios dengan modal Rp.87.000,00 bersedia mendapatkan keuntungan Rp. 2.300,00 per sak. Itu belum dikurangi biaya operasional kios (membuat laporan, uang pelicin, dll).
Akan lebih rugi lagi apabila si kios dengan modal yang di dapat dari pinjaman Bank.
Artinya HET mustahil diimplementasikan karena selisih yang sangat kecil antara HET dengan dengan biaya operasional yang besar, kecuali selisihnya di perlebar 10-15 ribu yang berarti pemerintah harus menambah subsidi bagi petani.
Kouta pupuk terus mengalami penurunan, subsidi pupuk yang di berikan pemerintah di tahun 2019 yakni 9,5 Juta Ton (29,6 Triliun), dan di tahun 2020 yakni 7,94 Juta Ton (26,6 Triliun).
Proyeksi di tahun 2021, dalam RAPBN pemerintah kembali mengurangi subsidi pupuk untuk petani menjadi 23-24 Triliun. Tetapi dengan jumlah produksi pupuk yang lebih besar, yaitu sebesar 9,2 Juta Ton.
Dari temuan diatas berpotensi besar mengakibatkan petani sulit mengakses pupuk subsidi sehingga berakibat gagal menggarap lahannya apalagi keadaan pandemic memperparah krisis, baik krisis secara sosial maupun ekonomi.
Hal ini sangat disayangkan, Nabs. Karena petani merupakan garda terdepan diranah ketahanan pangan.
Sebaiknya pemerintah segera bertindak cepat agar permasalahan ini seperti halnya menaikan anggaran pupuk, agar permasalahan seperti ini dapat teratasi sehingga petani mudah mengakses pupuk bersubsidi.
Selain itu sebelum ada regulasi ini petani juga di hadapkan dengan regulasi terbaru dari pemerintah yakni tentang penggunaan kartu tani. Diberlakukannya regulasi ini didasari beberapa landasan hukum yakni Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2005 tentang Penetapan Pupuk Bersubsidi Sebagai Barang Dalam Pengawasan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden RI No. 15 Tahun 2011.
Selain itu, Peraturan Menteri Pertanian No. 69
Permentan/SR.310/12/2016 tentang Alokasi dan HET Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian TA 2017.
Serta Peraturan Menteri Perdagangan No. 15/M- Dag/Per/4/2013 tentang Pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian.
Kartu ini tidak dapat diakses para petani jika petani tersebut tidak masuk dan tergabung dalam Kelompok Tani (Poktan) atau Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan).
Disamping itu ada beberapa syarat yang harus dipenuhi di antaranya petani harus mempunyai lahan dan bukti setoran pajak tanah.
Sedangkan petani yang menyewa lahan atau yang tidak punya lahan (tunakisma) tidak akan mendapatkan kartu tani untuk mengakses pupuk subsidi karena salah satu syaratnya tidak terpenuhi.
Selain itu adanya kartu tani seperti ini akan menguatkan posisi bank yang ditunjuk pemerintah sebagai mitra kartu tani. Karena bank dapat mengumpulkan uang dari petani sehingga dominasi bank semain kuat.
Jika kita melihat praktek di lapangan, alangkah baiknya regulasi tentang kartu tani dihilangkan karena tidak menyelesaikan permasalahan yang justru malah menambah permasalahan di dunia pertanian. Seperti halnya mayoritas penduduk Indonesia 60% berprofesi sebagai petani, dan 20 juta petani yang tidak memiliki tanah (KPA, 2016).
Jika regulasi ini tetap dipaksakan maka ada 20 juta petani yang kesusahan mendapat subsidi pupuk lewat kartu tani.
Selain problem akses pertanian, petani sebenarnya mempunyai problem yang lebih serius yakni monopoli tanah, di mana ketimpangan tanah di Indonesia sangat tinggi, berdasarkan catatan AGRA, 84% dari daratan Indonesia di kuasai BUMN berupa Perhutani, PTPN, dan lain-lain.
Sementara Perusahaan swasta seperti Sinar Mas, Backrie Land, dll. Menguasai 6,3% dari daratan Indonesia, padahal tanah merupakan kebutuhan pokok bagi petani untuk berproduksi akan tetapi negara justru menjadi penguasa tanah itu sendiri, padahal di pasal 33 UUD 1945 di jelaskan bahwasanya bumi, air dan segala yang terkandung didalamnya harus di pergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa problematika pertanian sangatlah kompleks mulai dari pupuk, regulasi, kepemilikan tanah, hingga monopoli tanah yang kian hari semakin merugikan petani.
Sebaiknya pemerintah memiliki sikap tegas dengan membuat regulasi baru yang nantinya menjadi problem solving di ranah pertanian atau juga dapat mewujudkan reforma agraria dengan mengimplementasikan UUPA 1960 dengan baik sehingga dapat menjawab permasalahan ini.