Diundangnya Pustaka Bergerak Indonesia (PBI) ke Istanbul Bienali 2021, memapar fakta menarik tentang sains, kebudayaan, hingga kekuatan partisipasi masyarakat awam.
Tahun 2020 belum berakhir ketika Dewan Kurator Istanbul Bienali, Turki, mengundang Pustaka Bergerak Indonesia berpartisipasi dalam sebuah pameran seni rupa kontemporer yang diadakan dua tahun sekali di Istanbul, Turki, tersebut.
Undangan pameran Internasional yang berlangsung pada 11 September hingga 14 November 2021 itu, tentu jadi kabar membahagiakan sekaligus bukti bahwa negara, sesungguhnya, bukanlah subjek tunggal perubahan dan peristiwa penting yang dialami masyarakat.
Nirwan Ahmad Arsuka, founder Pustaka Bergerak Indonesia menjelaskan, sejak 5 atau 6 tahun terakhir ini, Indonesia sering tampil di pentas internasional secara berturut-turut. Terutama dalam bidang literasi dan kebudayaan.
Pada 2015, misalnya, Indonesia diundang sebagai guest of honour (tamu kehormatan) di Frankfurt Bookfair. Ini, tentu menasbihkan Indonesia sebagai negara Asia Tenggara pertama yang diundang dalam helatan literasi berkelas raksasa di Eropa.
Berikutnya, pada 2017, Indonesia juga diundang sebagai tamu kehormatan khusus dalam Festival Europalia—festival budaya yang dilaksanakan di sejumlah negara-negara Eropa—untuk memamerkan sejumlah masterpiece budaya Indonesia.
Setelah itu, dua tahun kemudian atau pada 2019, kawan-kawan ruangrupa diminta jadi kurator dalam sebuah pagelaran seni documenta 15 di Kassel, Jerman. Kegiatan itu, bakal dilaksanakan pada 2022 mendatang.
“Dan sebelum pagelaran documenta 15 di Jerman itu berlangsung, sejumlah kurator ngobrol agar Pustaka Bergerak terlibat dalam Istanbul Bienali 2021.” Ucap Mas Nirwan.
Selain menarik, kata Mas Nirwan, kesempatan ini juga jadi momentum yang sangat luar biasa. Sebab, jika di Frankfurt Bookfair dan Festival Europalia yang terlibat adalah negara, sementara di Istanbul Bienali, yang terlibat justru masyarakat awam.
Dia mempertegas bahwa ada momentum menarik dalam undangan ini. Sebab selama puluhan tahun, kita dihantui pemahaman bahwa negara selalu jadi subjek terbesar dan utama sebuah perubahan. Kegiatan ini, di luar loby negara.
“Ini bukti bahwa masyarakat awam pun, bisa menggerakkan dan menyumbang sesuatu yang bisa membuka wacana baru. Membuka perspektif baru terhadap apa yang terjadi.” Tegasnya.
Hubungan Unik Indonesia dan Turki
Indonesia dan Turki mempunyai kemiripan yang unik. Terutama dalam khasanah budaya. Indonesia, kita tahu, adalah negara Islam yang masyhur berpegang pada budaya. Begitupun Turki. Dua negara ini, mampu mengemas Islam dengan kelenturan berbudaya nan humanis.
Dalam konteks lain, misalnya, Turki dikenal sebagai kawasan tempat lahirnya peradaban manusia paling awal. Ini bisa dilihat melalui tulisan memukau esais Elif Batuman dalam The Sanctuary, The world oldest temple and the dawn of civilization.
Sementara Indonesia, adalah tempat munculnya karya seni visual imajinatif tertua di bumi, yang jejaknya terlihat pada seni gua berumur 45.000 tahun di Maros, Sulawesi Selatan. Ini juga bisa dibaca dalam tulisan ultra menarik dari Jo Marchant berjudul A Journey to the Oldest Cave Painting in the World ini.
Catatan sejarah tentang peradaban tertua (di Turki) dan karya imajinatif tertua (di Indonesia) ini, kata Mas Nirwan, adalah salah satu alasan bagi PBI untuk ikut mendorong Turki membangun jaringan pustaka bergeraknya.
Menuju Turki dengan Membawa Misi
Mas Nirwan menjelaskan, selain menghadiri undangan dan menunjukan karakter kuat dari Pustaka Bergerak, undangan ini harus punya misi budaya yang jelas. Misalnya, perjuangan PBI yang tak hanya di ranah literasi. Tapi juga berkontribusi terhadap lingkungan dan gerakan edukasi.
Dalam kasus pandemi misalnya, warga praktis membantu pemerintah mengedukasi warga sambil menularkan solidaritas untuk ikut meringankan ekonomi, dengan membantu warga yang terdampak secara langsung.
“Unsur-unsur bahwa warga bisa bergerak secara mandiri dan berkontribusi ini sangat bagus ditonjolkan.” Ucap Mas Nirwan.
PBI, kata dia, diharap bisa memamerkan prakarsa masyarakat awam Indonesia dalam berjejaring dan bergerak mandiri, berbagi buku dan aneka pengetahuan. Bahan yang akan dipamerkan antara lain komik dan buku-buku, juga lagu bikinan para relawan.
PBI juga bakal memamerkan replika berbagai wahana bergerak yang digunakan para relawan, seperti kudapustaka, nokenpustaka, motorpustaka, onthelpustaka, pedatipustaka, perahupustaka, dll.
Selain itu, PBI juga bisa menulis ulang sejarah seni rupa. Sebab seperti yang kita ketahui bersama, sejarah seni rupa modern punya akar kuat hanya di Eropa. Peristiwa Istanbul Bienali, jelas Mas Nirwan, harus jadi momentum melihat kembali sejarah seni rupa dunia.
Saat ini, PBI bisa mengajukan temuan mutakhir ahli pra sejarah Indonesia dan sejarawan Australia: jejak tertua senirupa umat manusia, ternyata ada di Nusantara. Ini amat layak diajukan di dalam pameran di Istanbul Bienali.
“Kita kesana bukan hanya datang membawa setumpuk buku, komik dari relawan. Tapi kita punya kesempatan mengajukan pandangan dunia baru. Cara melihat dunia.” Imbuhnya.
Membangun Jaringan Pustaka Bergerak di Turki
Pameran PBI diharap bisa memicu pembentukan jaringan saudara (sister network) Pustaka Bergerak di Turki. Benih-benih jaringan Pustaka Bergerak Turki, menurut Pak Nirwan, sebenarnya sudah ada, tapi masih sporadis.
Kalau jaringan saudara ini bisa terbentuk, imbuhnya, gerakan PBI bisa jadi diplomasi kebudayaan yang mendorong gerakan literasi global yang diprakarsai warga biasa. Sebab selama ini, gerakan literasi didominasi negara dan organisasi antar-negara saja.
“Alangkah bagus jika kita bisa membangun sinergi yang produktif antara negara dan masyarakat untuk menyebar ilmu pengetahuan sedemokratis mungkin.” Ucapnya.