Studi tentang egoisme psikologis menyatakan bahwa pada dasarnya, perbuatan baik atau sikap altruisme manusia, selalu dilandasi kepentingan diri sendiri.
Dalam sebuah perjalanan kereta, Abraham Lincoln bercerita pada temannya, bahwa semua orang didorong sikap egois dalam perbuatan baiknya, agar bisa mendapat apa yang diinginkan.
Lalu temannya itu membantah argumennya.
Ketika kereta menyeberangi sebuah jembatan kayu yang melintas sepanjang rawa, mereka melihat seekor induk babi hutan yang berteriak cukup kencang. Ternyata anak anaknya jatuh ke dalam rawa dan terancam tenggelam.
Lincoln menunggu hingga kereta berada di sisi lain jembatan dan berteriak kepada masinis, “Masinis bisakah anda berhenti sejenak?” Lincoln melompat dari gerbong keretanya dan berlari menyelamatkan beberapa anak babi kecil itu keluar dari rawa yang penuh lumpur, dan menaikkannya ke tebing tempat di mana induknya berteriak.
Teman duduknya bercelatuk ketika Lincoln kembali ke tempat duduknya, “Nah, Abe (sapaan akrab Lincoln), di mana letak sikap egois yang kamu bicarakan tadi dari peristiwa yang kamu alami ini?”
Dia menjawab, “Syukurlah Ed, itulah hakikat dari sikap egois, hatiku tidak akan merasa tenang sepanjang hari andai saja aku meninggalkan induk babi hutan yang terancam kehilangan anak-anaknya itu. Aku mendapatkan ketenangan hati, bukan begitu?”
Peristiwa Lincoln tersebut pada dasarnya memberi pelajaran yang cukup menarik bahwa memang pada dasarnya setiap orang memiliki sikap egoisme untuk mementingkan dirinya di atas segala macam hal yang pernah dia ketahui. Yakni untuk menambah kesenangan dan mengurangi (bahkan menghilangkan) beban rasa sakit.
Sikap seperti itu memiliki implementasi yang sangat beragam. Contoh mudahnya seorang yang kaya agar bisa mendapatkan hati seorang perempuan maka dia akan bersikap altruistik dengan menggunakan hartanya atau seorang yang maskulin dengan kejantanannya. Pamrihnya tetap sama, yakni mereka ingin mendapatkan perempuan itu.
Hal tersebut bukanlah sikap yang memalukan, tetapi tak lebih dari pada perhitungan matematika sederhana. Apabila saya melakukan ini, maka itu yang akan saya dapatkan. Persis seperti kisah Lincoln di atas.
Lincoln melakukan hal itu, bukan lantas karena dia ingin mendapatkan balasan dari induk babi hutan. Namun dia mengharap ketenangan hati, ketika melakukan hal baik tersebut.
Karena itu, sikap altruistik, secara praktis dapat digunakan untuk memberikan penilaian pada seseorang atas perbuatannya. Apakah tindakannya dilandasi dasar nilai yang dibawa, atau hanya keinginan praktis yang ingin diraih.
Dengan mengetahui hal tersebut, kita bisa memetakan seseorang tentang bagaimana cara menyikapi perbuatannya, dan kita tempatkan di mana mereka dalam kehidupan sosial kita.
** **
Studi tentang egoisme psikologis menyatakan bahwa pada dasarnya, perbuatan baik atau sikap altruisme manusia, selalu dilandasi kepentingan diri sendiri.
Setidaknya untuk memberi kepuasan berupa timbal balik agar menambah kesenangan dan mengurangi rasa sakit (beban psikis) yang sedang dirasakan.
Sehingga pada akhirnya, perbuatan baik yang dilakukan tak ubahnya sebuah pengharapan agar dapat dibalas sesuai dengan keinginan yang telah dirangkai sedemikian rupa.
“Balasan”, dalam hal ini tak melulu soal materi atau keuntungan dengan bermacam variabelnya. Tapi juga ketenangan batin dan hilangnya beban psikis.
David Hume pernah menulis bahwa seorang ibu yang penuh kasih sayang, rela kehilangan kesehatannya demi merawat anaknya yang sakit. Dia merana dan terlarut dalam kesedihannya, ketika dia “dibebaskan” dari penderitaan itu dengan meninggalnya sang anak.
Dalam contoh di atas, sepertinya kurang tepat jika tindakan seorang ibu itu digambarkan sebagai tindakan untuk mementingkan dirinya sendiri.