Pak Pratikno, sang intelektual sweet-sixty yang penuh gagasan.
Prof. Pratikno merupakan Menteri Sekretaris Negara kedua yang berasal dari Bojonegoro setelah Prof. Abdoel Gaffar Pringgodigdo yang juga merupakan kelahiran Bojonegoro.
Tentu, diamanatkannya Prof. Pratikno sebagai Menteri Sekretaris Negara selama dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo bukan tanpa alasan. Prof. Pratikno pada awalnya berkiprah sebagai akademisi serta peneliti Ilmu Politik yang berfokus pada kajian “governance” serta NGO (Non-Governmental Organizations).
Dengan latar belakang tersebut, tampaknya tidak salah jika jabatan Menteri Sekretaris Negara diamanatkan kepada Prof. Pratikno.
Tulisan ini sebagai bentuk apresiasi serta “hadiah” ulang tahun untuk Prof. Pratikno sebagai “satu-satunya” cah Jonegoro yang menduduki kursi menteri di kabinet saat ini.
Intelektualitas “Sweet-Sixty”
Prof. Pratikno lahir di Bojonegoro pada tanggal 13 Februari 1962. Beliau hidup dan belajar di lingkungan desa tepatnya di Desa Dolokgede, Kecamatan Tambakrejo, Kabupaten Bojonegoro.
Kehidupan di lingkungan desa membuat beliau memahami serta mengalami sendiri bagaimana susahnya sebagai anak desa untuk mendapatkan fasilitas pembelajaran serta mengembangkan bakat dan minatnya.
Perlahan tapi pasti, setelah menamatkan pendidikan di SDN Dolokgede, selanjutnya beliau melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Padangan dan di SMPP Bojonegoro (sekarang SMA Negeri 2 Bojonegoro).
Prof. Pratikno juga bagian dari “Alumni Padangan” — sehimpun tokoh-tokoh yang pernah tumbuh dan belajar di Padangan, dan saat ini berada di pusat kota Jakarta.
Tamat dari SMPP Bojonegoro, beliau melanjutkan pendidikan S1 di Universitas Gadjah Mada dengan jurusan (departemen) Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik pada tahun 1985.
Selanjutnya, beliau melanjutkan S2 ke Birmingham University, UK, dengan mengambil fokus studi Development Administration pada tahun 1990. Pendidikan S3 beliau di Flinders University, Australia pada tahun 1997 dengan menekuni bidang Political Science (Ilmu Politik).
Berdasarkan fokus kajian yang beliau tekuni tersebut, pada tanggal 21 Desember 2009 beliau ditetapkan sebagai Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada dengan pidato pengukuhan berjudul, “Rekonsilidasi Reformasi Indonesia: Kontribusi Studi Politik dan Pemerintahan dalam Menopang Demokrasi dan Pemerintahan Efektif”.
Judul pidato pengukuhan tersebut dipilih dengan beberapa alasan, yaitu: pertama, terjadinya perubahan struktur politik dan pemerintahan Indonesia setelah mengalami perubahan yang drastis sejak tumbangnya “rezim” orde baru pada tahun 1998.
Kedua, dampak dari perubahan struktur politik dan pemerintahan Indonesia sejak tumbangnya “rezim” orde baru pada tahun 1998 “memaksa” berbagai bidang Ilmu Pengetahuan, khususnya Ilmu Poltik untuk memberikan kontribusi teoretis dan praksis bagi politik dan pemerintahan Indonesia setelah tahun 1998.
Nabs, berdasarkan kedua orientasi tersebut, maka Prof. Pratikno berupaya mengembangkan orientasi alternatif dalam studi politik Indonesia, serta sekaligus mendorong beberapa agenda riset dan memperkenalkan mata kuliah baru.
Selain pidato pengukuhan tersebut, gagasan Prof. Pratikno yang menarik lainnya diantaranya adalah karya artikel ilmiah dengan judul, “Good Governance dan Governability” yang dipublikasikan dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 8, Nomor 3, Maret 2005 (hal. 231 – 248).
Dalam gagasan beliau ini, Prof. Pratikno menekankan bahwa pengembangan kepemerintahan yang baik perlu dipadukan dengan konsep human governance yang mencakup good political, economic dan civic governance.
Gagasan Prof. Pratikno ini sejatinya menekankan pada ekstentifikasi pemahaman Good Governance yang saat ini masih menjadi “lip service” para pemangku kebijakan.
Good Governance lebih diterapkan sebagai jargon dibandingkan dengan makna dan realitanya.
Oleh karena itu, Good Governance harus dimaknai secara luas yang juga meliputi Human governance. Dalam Human Governance tersebut, Good Governance termanifestasi dalam good political, economic dan civic governance. Dengan demikian, sejatinya gagasan Prof. Pratikno sejalan dengan gagasan Sukarno yang menekankan ‘politiek economische democratie’ serta gagasan Moh. Hatta berkaaitan dengan negara pengurus.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Ilmu Politik seyogianya tidak berkaitan dengan pembahasan “sempit” berupa kekuasaan (saling menguasai, saling mempengaruhi) tetapi termasuk juga bagaimana landasan teoretis dan praktis Ilmu Politik dapat mewujudkan terpenuhinya hak warga negara secara presisi dan proporsional.
Selanjutnya, gagasan Prof. Pratikno yang juga menarik adalah gagasan beliau dengan judul, “Manajemen Jaringan dalam Perspektif Strukturasi” yang dipublikasikan dalam Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik Volume 12, No. 1 Tahun 2008 (hal. 1-19).
Gagasan Prof. Pratikno tersebut menekankan pada aspek Teori Organisasi Inter-Organisasional yang berorientasi pada: informasi sebagai sumber kekuasaan, pentingnya pertukaran sumber daya antarorganisasi, serta hubungan antarorganisasi dijalankan dalam relasi fungsional yang bersifat setara (horizontal).
Jika melihat pada gagasan Prof. Pratikno tersebut, sejatinya tiga aspek dalam Teori Organisasi Inter-Organisasional merupakan hal yang bersifat conditio sine qua non pada saat ini. Aspek informasi sebagai sumber kekuasaan misalnya saat ini terbukti bahwa dalam realitas politik, bisnis, maupun bidang-bidang lain membutuhkan peran penting informasi sebagai ‘kekuatan utama’.
Maka tak heran ketika ada beberapa analisis yang menegaskan bahwa Perang Dunia Ketiga senjata mematikan yang bersifat massal adalah disrupsi informasi berupa hoax dan sejenisnya, sehingga senjata mematikan seperti nuklir dan bom atom justru ditempatkan sebagai senjata kedua setelah disrupsi informasi.
Aspek pertukaran sumber daya antarorganisasi juga menjadi penting pada saat ini mengingat hubungan relasional bersifat reciprocal menjadi hal yang penting dibandingkan dengan hubungan yang bersifat otoritas dan hierarkis.
Dalam konteks di Bojonegoro, adanya hubungan relasional antarorganisasi Mahasiswa Daerah (Ormada) juga menjadi hal yang harus diapresiasi atas fasilitas dari Pemkab Bojonegoro.
Selain itu, mulai riuhnya organisasi non-pemerintahan (NGO) di Kabupaten Bojonegoro bisa menjadi “angin segar” bagi tumbuhnya iklim demokratis serta peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat.
Aspek hubungan antarorganisasi dijalankan dalam relasi fungsional yang bersifat setara (horizontal) juga menjadi hal terpenting ketika negara (termasuk Pemprov dan Pemkab) harus menempatkan diri sebagai “mitra” dan pengayom masyarakat.
Pandangan lama yang mengidentikkan pemerintah sebagai “tukang perintah” harus diubah. Memandang pemerintah sebagai “tukang perintah” sama saja dengan melanggengkan konsepsi “pangreh praja” yang harus dilayani.
Konsepsi “pangreh praja” merupakan peninggalan dan warisan feodalisme yang masih berakar dan berurat di masyarakat, sehingga perlu membuat lingkungan yang demokratis, responsif, serta kompetitif untuk secara pelan-pelan dalam mengubahnya.
Padahal, di era saat ini, pemerintah harus menempatkan diri sebagai “pamong praja” yang melayani. Tugas seorang “pamong praja” (dalam arti luas: pejabat negara) adalah untuk memberi teladan, pelayanan, dan bahkan dalam kondisi tertentu harus berkorban demi masyarakat dan kepentingan umum.
Hal ini menuntut mentalitas “pamong praja” sebagai “pamong” yang mengurus, merawat, memfasilitasi, serta menjaga iklim demokrasi masyarakat.
Dengan demikian, gagasan Prof. Pratikno berorientasi pada hubungan antara negara dan masyarakat sebagai hubungan “mesra” dan hubungan “mitra”.
Hubungan mesra menegaskan bahwa masyarakat harus mencintai negara begitu pula sebaliknya negara harus mencintai masyarakat melalui perilaku aparatur negara, kebijakan, serta penjaminan HAM dan hak warga negara.
Hubungan mitra menegaskan bahwa negara harus memfasilitasi berbagai kehendak dan keinginan masyarakat.
Bahkan, jika terdapat keinginan masyarakat yang bertentangan dengan Pancasila dan hukum pun, negara harus mengutamakan pendekatan preventif dan jika tidak bisa baru pendekatan represif dapat dilakukan.
Oleh karena itu, negara sebagai “mitra” harus menjamin hubungan “mesra” dengan masyarakat, sehingga masyarakat merasa “tidak ada jarak dan dusta diantara kita (negara dan masyarakat)”.
Gagasan Prof. Pratikno selanjutnya yang menarik untuk dikaji adalah yang terdapat dalam buku yang didedikasikan untuk Prof. Cornelis Lay dengan judul “Intelektual Jalan Ketiga: Pemikiran Cornelis Lay tentang Demokrasi, Desentralisasi, Nasionalisme, dan Reformasi Keamanan”.
Dalam buku tersebut, Prof. Pratikno menceritakan perjuangan Prof. Cornelis Lay yang juga merupakan “anak desa” di NTT untuk mengejar mimpi melalui belajar di Perguruan Tinggi. Apa yang dialami oleh Prof. Cornelis Lay sejatinya “satu tarikan napas” dengan apa yang diamali oleh Prof. Pratikno.
Sebagai “sesama” anak desa tentu beliau berdua memahami bahwa jalan intelektualitas di Perguruan Tinggi tidak bisa berhenti dengan hanya bukti berupa skripsi, thesis, maupun disertasi.
Jalan intelektualitas adalah jalan untuk selalu “gelisah” dengan keadaan.
Kegelisahan tersebut yang menuntut didayagunakannya pemikiran dan kreativitas untuk kemudian diabdikan dan diberdayakan kepada seluruh masyarakat, khususnya masyarakat yang kurang beruntung.
Hal inilah yang sejatinya menjadi “peta pemandu” bagi seorang yang sedang menempuh perjalanan intelektual.
Selain itu, gagasan Intelektual Jalan Ketiga juga menuntut sikap kaum intelektual untuk bersikap idealis serta realistis sekaligus.
Dalam hal ini, intelektual tidak selalu terindikasi sebagai lawan (vis-à-vis) dengan kekuasaan. Inteketual bisa menjadi penyeimbang kekuasaan, bisa juga menjadi bagian dari kekuasaan yang semuanya didasarkan atas keilmuan dan keahlian.
Dalam hal ini, intelektual jalan ketiga mengamanatkan konsistensi seorang ilmuan untuk menjadi “cahaya kebenaran” baik di lingkup kekuasaan maupun di luar kekuasaan.
Dengan berada di lingkup kekuasaan, seorang ilmuan bisa memberikan sumbangsih sekaligus mengawasi kekuasaan dari dalam. Di dalam dan di luar kekuasaan hanyalah sikap seorang intelektual, tak perlu dipermasalahkan apalagi diperdebatkan secara berlarut-larut.
Yang perlu dipermasalahkan adalah mereka yang mengaku intelektual tetapi menjual “kehormatan” seorang intelektual hanya demi sebuah jabatan dan kedudukan tertentu.
Pihak yang melakukan hal itu layak dijuluki sebagai “pelacur intelektual”.
Jika dikaitkan dengan kiprah Prof. Pratikno dari akademisi, pimpinan perguruan tinggi, hingga menjadi menteri beliau tetap konsisten dalam intelektual jalan ketiga.
Di dalam pemerintahan, beliau tetap mengamalkan setiap ilmu, teori, dan konsep untuk mengevaluasi serta memberikan konstribusi bagi pemerintahan supaya dapat sepenuhnya menjalankan amanat rakyat.
Dengan demikian, secercah gagasan Prof. Pratikno tersebut sejatinya telah menegaskan konsistensi beliau sebagai intelektual yang secara teoretis dan praktis telah mengamalkan keilmuan beliau di lingkup pemerintahan. Ulang tahun beliau ke-60 menjadi pertanda bahwa beliau masih menjadi ilmuan yang “sweet-sixty”.
Jika remaja mengidentikkan usia istimewa sebagai usia 17 tahun yang lazim disebut sebagai “sweet-seventeen”, maka tak salah jika usia 60 tahun bagi Prof. Pratikno dan ilmuan secara umum menjadi usia emas untuk mencapai kematangan intelektualitas.
*Pengabdian untuk Negeri*
Latar belakang sebagai orang desa terkhususnya sebagai “Cah Jonegoro” membuat Prof. Pratikno memiliki orientasi untuk memajukan masyarakat desa.
Tugas sebagai akademisi, tidak beliau laksanakan sebatas formalitas, tetapi beliau juga menginisasi terbentuknya lembaga swadaya masyarakat Ademos (Asosiasi untuk Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial) yang telah aktif sejak tahun 2004 dengan melibatkan sekelompok generasi muda pedesaan.
Inisiasi beliau ini cukup menarik mengingat sebagai seorang intelektual beliau tidak hanya berkecimpung pada aspek akademis, tetapi juga pada aspek praktis.
Dengan inisiasi dan kerja keras beliau tidak salah jika sebuah “mimpi kecil dari gubug reot di desa” jika dilaksanakan secara tulus, ikhlas, serta konsisten maka akan melahirkan “perubahan yang bukan hanya untuk desa, tetapi juga untuk negara, dunia, dan peradaban pada umumnya”. Selamat Ulang Tahun ke-60 Prof. Pratikno, selamat intelektual Sweet-Sixty.