Negeri yang banyak gunung dan sungai-sungai; dapat dikata, tidak ada wilayah lain yang memiliki pengairan melebihinya. Jawa sangat unggul dalam jumlah aliran air. Ukuran pulau memang tidak memungkinkan terbentuknya sungai-sungai besar, namun paling tidak ada lima puluh sungai, yang pada musim hujan, dapat membawa rakit-rakit berisi kayu dan hasil bumi mentah lainnya, dan tak kurang dari lima atau enam kapal yang selalu dapat dinavigasi hingga jarak beberapa mil dari pantai. Akan sia-sia jika mencoba untuk menghitung jumlah anak sungai yang bermanfaat bagi petani; jumlahnya bisa ratusan, atau bahkan ribuan.
Sungai terbesar dan terpenting di pulau ini adalah sungai Solo. Atau diistilahkan oleh penduduk negeri dengan nama Bengawan Solo, yang ber-hulu di wilayah Kadawang, dan setelah menampung air dari perbukitan di sekitarnya, menjadi sungai dengan kedalaman dan lebar yang cukup besar di Sura-Kerta, yang selanjutnya menjadi semakin besar dengan air yang terkumpul dari kabupaten yang berdekatan.
Secara umum jalurnya adalah ke arah timur-utara-timur laut, hingga mengalir ke laut melalui dua muara, dekat Gresik dan Sidayu. Setelah meninggalkan kotaraja Mataram, alirannya melintasi provinsi Sukawati, Jagaraga, Madion, Jipang, Blora, Tuban, Sidayu, dan Gresik. Sungai ini sangat penting bagi perdagangan pedalaman provinsi wilayah timur.
Selama musim hujan, perahu-perahu berukuran besar mengangkut hasil bumi dari wilayah yang luas menuju ke laut; kecuali selama bulan Agustus, September, dan Oktober, dan pada musim-musim yang luar biasa kering, ia mengangkut perahu-perahu berukuran sedang atau kecil sepanjang tahun, dari jarak yang cukup jauh dari Sura-kerta.
Perahu-perahu yang digunakan untuk mengarungi sungai mempunyai ukuran yang berbeda-beda, dan dengan konstruksi yang khas, perahu-perahu itu sangat panjang dibanding dengan lebarnya, mempunyai dasar yang rata, dan mengambil sedikit kedalaman air.
Biasanya digunakan untuk mengantarkan hasil bumi dari satu desa ke desa lain di sekitar Sura-Kerta, hanya mengangkut beberapa ton, dan mempunyai penutup sementara dari tikar jerami, atau kojang. Yang lain, dibangun lebih teliti, memiliki atap papan dan ruangan kabin yang bisa ditutup, dan mengangkut sekitar lima puluh hingga seratus ton. Ini umumnya digunakan oleh seseorang dalam petualangan mereka ke Gresik dan Surabaya.
Yang terbesar, yang merupakan milik Pangeran Sura-Kerta, memuat total barang hampir dua ratus ton. Kapal ini dipekerjakan untuk mengangkut hasil bumi dari beberapa provinsi pedalaman, terutama Lada dan Kopi, ke Gresik, dan kembali dengan membawa garam dan barang dagangan mancanegara untuk dikonsumsi daerah pedalaman.
Kapal ini membutuhkan kedalaman air yang cukup, dan hanya bisa melintas saat Bengawan meluap karena hujan terus menerus. Kebanyakan dari mereka berangkat dari Sura-kerta pada bulan Januari. Perjalanan mereka menuruni
aliran sungai yang deras, sehingga tiba di Gresik dalam delapan hari, mereka hanya dapat melakukan satu pelayaran dalam satu musim, karena membutuhkan waktu hampir empat bulan melawan arus sungai untuk kembali.
Begitulah apa yang dikatakan Raffles, dalam bukunya; History of Java, ketika mengawali perjumpaannya mengunjungi pedalaman Jawa. Agaknya, 200 tahun yang lalu, Bengawan masih memiliki peran yang cukup dominan bagi masyarakat pedalaman Jawa Tengah-Selatan, sebagai “jalan tol”, antara Pegunungan dan Pesisir Jawa Timur.
Berita tentang Jawa ini, dan temuan-temuan berharga lainnya, yang kemudian terkabar ke seluruh penjuru Britain Raya, tak terkecuali India, tempat para sarjana dan cendekiawan Hindu-Budha, yang kelak mencoba menarasikan apa yang terjadi pada peradaban masa lalu Jawa, yang tentu dengan sudut pandang mereka sendiri.
Di sisi lain, Raffles tampak menyadari bahwa Bengawan (Solo) lebih dominan dibanding Brantas terkait kejayaan peradaban Islam tanah Jawa, jalur kapal-kapal dagang itu hampir seluruhnya dikuasai para Ulama yang independen dari seluruh Negeri, tak peduli Keturunan India, Cina, Arab, Bugis, Madura atau Jawa.
Peranan kapal bengawan yang penting dan independen ini terasa utamanya di wilayah Jipang, sebagai pewaris wangsa perahu yang terlindung hutan Jati, juga karena kedekatannya dengan “Kasepuhan” Pajang, yang masih memegang teguh tradisi suaka “BaleKambang”. Hubungan ini dipertegas ketika Pangeran Diponegoro muda, menikah dengan “Putri Teratai”, anak Bupati Jipang-Panolan sebagi orang yang paling mungkin menjadi pewaris Benawa.
Nihilnya catatan khusus dalam deskripsi Raffles menunjukkan bahwa ia telah mengetahui wilayah Jipang adalah mancanagari (bangwetan) Kasultanan yang telah lama di “anak-tiri” oleh Sura-Kerta pasca Giyanti (1755), bahwa Jipang menjadi sasaran “de vide et impera”. Sementara Dipanegara mulai menyusun langkah menyatukannya kembali.
Dan Kajoran-pun tahu bahwa ternyata ini bukan sebab utama, karena sebelumnya, ketika Mataram masih utuh, kekuatan Nagari Jipang yang dominan di era Trunajaya, penyebab kejatuhan Pleret, dan era Mas Garendi, penyebab kejatuhan Karta-Sura, harus disusut dari dalam.
Bahwa dari kenyataan ini yang menjadi sebab kepemimpinan Adipati Jipang harus rela dipecah pelan-pelan menjadi sub kabupaten kecil yang kemudian dicatat Raffles menjadi; Panolan, Padangan, Rajekwesi, Sekaran, Tinawun dan Bowerno, dan seluruhnya dibawah kendali Bupati Wedana Bangwetan yang berkedudukan di Madiun.